Kuliah berlangsung dengan tenang. Yuki mengikuti materi dengan serius. Namun, tidak dengan Queensya yang sesekali mengusapkan bedak ke wajah, atau malah selfie saat tak terlihat oleh dosen.
Hal itu tak mengganggu Yuki, dia cuek dengan apa yang dilakukan Queensya. Bukan urusannya.
Usai kuliah, dosen yang belakangan diketahui bernama Pak Hari itu segera meninggalkan ruang kuliah. Yuki beranjak dari tempat duduknya, lalu mengikuti pria itu ke kantor.
Tak ... tak ... tak.
Gadis itu mengikuti irama sepatu pantofel Pak Hari menuju ke kantor.
"Namamu Kiki?" tanya Pak Hari sambil berjalan di depan Yuki.
"Iya, Pak."
"Ayo, masuklah ke ruangan saya."
Yuki membaca papan nama di atas pintu.
"Dekan Fakultas ...." gumamnya.
Oh, jadi Pak Hari Prasetya ini adalah Dekan di sini.
"Duduklah, Yuki," suruhnya.
"Terima kasih, Pak ... Eh, Bapak panggil saya siapa??" ujarnya membelalak ketika dosen itu memanggilnya dengan nama asli.
Pak Hari tertawa.
"Yuki, benar kan namamu Yuki? Aku Om Hari. Ingat nggak?" tanya Pak Hari.
Yuki masih terdiam, dia mengernyitkan dahi memandangi Pak Hari, mencoba mengingat-ingat pria di depannya itu.
"Ah, kamu ini, masa lupa sama Om. Sahabat papimu. Dulu Om ke rumahmu, kamu masih duduk di bangku SMP saat kamu home schooling, kan?"
Yuki menutup wajahnya tak percaya. Namun, rasanya lega juga. Dia menghela napasnya. Ingin sekali dia berteriak sepuasnya karena senang, karena tak ayal dia takut juga saat menemui pria itu karena fitnah dari Queensya.
"Maaf, Om. Udah lama kita nggak ketemu. Jadi Yuki pangling!" ujarnya.
Gadis itu mulai bisa agak tenang. Setidaknya ada orang yang melindunginya di kampus dalam misinya.
"Yuki, papi kamu mengkuliahkan kamu di sini karena ada aku, Om Hari. Dia tidak melepasmu begitu saja. Ada pengawasan juga di universitas."
"Jadi, Om tau apa tugas Yuki?" tanya gadis itu.
"Tau lah, tiga puluh juta, 'kan?"
Pria itu tertawa setelah mengatakannya.
"Sulit nggak mendapatkannya setelah keluar dari rumah tanpa apa-apa?" ejek Pak Hari.
"Iya. Ternyata sulit sekali mendapat uang segitu. Biasanya nominal itu hanya tinggal gesek saja. Fyuh!" Gadis itu menghela napas sekali lagi.
"Om, bisa pinjami Yuki uang segitu, nggak?" pinta Yuki memelas.
"Huh, jiwamu itu! Menggampangkan sesuatu. Berusahalah!" Pak Hari berubah galak.
"Ah, bercanda, Om!" serunya.
"Yuki terpaksa kerja di rumah ibu-ibu galak. Disuruh ini-itu. Kejamnya ...." curhat Yuki.
"Begitulah hidup. Jika kamu tak kuat menjalani tekanan, habislah perusahaan papimu nanti di tanganmu! Tujuan papimu itu agar kamu bisa mencapai sebuah tujuan dengan mengatasi segala kesulitan hidup!"
"Iya, Om."
"Lalu, tekanan apa tadi yang menimpamu di ruang kuliah?"
"Itu Om, urusan remaja. Dia hanya menginjak harga diri Yuki. Namun, Yuki bisa kok mengatasinya. Om nggak perlu turun tangan."
Gadis itu terlihat yakin.
"Bagus," ujar Pak Hari sambil menjalin jemarinya di atas meja.
"Sebenarnya tadi bukan aku yang mendorong kursinya, tapi kebalikannya, Om. Namun, udahlah Om, bukan hal yang besar juga."
"Baik, Nona Muda."
"Hahaha! Aku bukan Nona Muda Om! Oh ya, Om, siapa lagi yang tau mengenai identitas Yuki?" tanya gadis itu.
"Ini rahasia antara Om dan papimu saja di sini. Nggak ada yang mengetahuinya lagi. Berjuang ya, seperti yang tadi Om katakan padamu."
"Oh, baiklah, Om. Yuki akan belajar dalam kehidupan yang sebenarnya!" tekad gadis itu.
"Ya, tugasmu sekarang hanya berjuang untuk hidup dan kuliahmu."
"Siap, Om!"
*
Sementara itu di kantin kampus, Queensya dan geng sedang makan di sana.
"Kurang ajar tadi si miskin itu berani menamparku!!" umpat Queensya kesal.
"Apa?? Miss Queen? Kamu kan itu Queensya?" tanya Rachel, salah satu pengikutnya yang agak oon.
"Miskin!" seru Wenny, pengikut kedua.
"Kere maksudnya!" tambah Anggi, pengikut ketiga yang sering berlaku kasar.
"Ooh, kirain istilah yang trend saat ini kan ya? Secara aku pinter ...." ujar Rachel.
"Ah, udah! Udah! Eh, kira-kira diapain ya dia sama dosen?? Hahaha pasti kena skors!" tukas Queensya tergelak.
"Pastinyaaa ...." Ketiga gadis itu menyambut kata-kata ketua mereka.
"Hahaha karena aku senang, hari ini aku traktir! Kalian mau makan apa aja, kubayar!" ujar Queensya.
"Asyeeeekk ... Queensya yang terbaikk!!" seru mereka senang.
Ketiga gadis itu segers memesan makanan yang ingin mereka makan. Perut udah meminta jatah makan saat itu.
Sambil menunggu jam kuliah selanjutnya, mereka berempat makan dan bercanda dengan tawa kencang sepuasnya.
"Eh guys, ternyata si Kiki itu kerja jadi pembantu di rumah ibu-ibu di belakang kampus ini! Pantes lah dia ke kampus jalan kaki! Kemarin aku sama Putra bener-bener nge-check. Iya lho, dia cuma asisten rumah tangga di rumah itu. Putra langsung deh jatuh malu di hadapanku. Dia jadian sama aku trus langsung mutusin Kiki di depanku!"
"Nggak level sama kita-kita!" ujar Wenny yang bertubuh gemuk.
Saat asyik-asyik makan, tiba-tiba seseorang datang.
"Queensya! Anggi! Kalian dipanggil Dekan ke ruangannya!" seru seorang mahasiswa berlari ke arah gadis-gadis sombong itu.
"Hahaha pasti kita jadi saksi untuk si miskin itu. Siapa sih yang nggak kenal ayahku??" ujar Queensya.
Gadis itu menepuk dadanya, lalu beranjak dari duduknya diiringi acungan jempol ketiga sahabatnya.
Dia berjalan menuju ke ruang dekan. Ketiga pengikut mengikuti langkahnya.
"Kudukung pokoknya!" ujar Rachel mengepalkan tangannya.
"Apa sih kamu! Queensya kita kan udah yang paling benar di antara yang benar! Nggak perlu dukungan gadis oon macam kamu!" gerutu Anggi.
"Huh, udah! Ayo, buruan!!" ujar Queensya galak.
"Iya, Tuan Putri ...." kata mereka serempak.
Dengan penuh percaya diri Queensya memasuki ruang dosen, diikuti oleh Anggi dan langsung masuk ke ruang Dekan.
"Hai Pak Hari! Gimana ...." sapanya pada Dekan.
Anak ini nggak tau sopan santun. Tanpa ketuk pintu, langsung masuk dan duduk.
Pak Hari bergeming melihat sikap Queensya.
"Bisakah Mbak-mbak ini mengetuk pintu dulu sebelum masuk?" tanya Pak Hari.
Gadis itu dipanggil dengan 'Mbak' bukan semakin merendah, tapi malah makin berani.
"Mm ... bisa. Ada apa panggil aku, Pak?" tanya Queensya tanpa meminta maaf. Sementara Anggi cuek aja.
Pak Hari menghela napas.
"Kalian berdua diskors tiga hari."
Tanpa memandang wajah gadis-gadis itu, Pak Hari berkata demikian karena sangat kesal.
"Lho! Apa salah kami?? Kenapa malah kami yang diskors??" protesnya.
"Sesuai dengan bukti di CCTV ruang kuliah, bukan Kiki yang mendorong kursi, tapi Anggi pelakunya. Jadi kalian saya skors tiga hari. Sedangkan anda membuat laporan palsu pada saya. Kampus kita tidak mengijinkan kekerasan dalam perkuliahan."
"Tapi, Pak ... masa gitu aja pake skorsing??"
"Nggak ada tapi-tapian. Hukum berlaku pada siapapun di kampus ini!" ujar pria itu dengan tenang.
"Huh! Berapa sih yang Bapak butuhkan??" tanya Queensya berdiri.
Sombong sekali.
"Nggak semua hal bisa diselesaikan dengan uang. Keluar kalian dari ruangan saya!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus semangat
2022-09-08
1
Sumi Hariani
Dasar Murid g ada Akhlak nya,
2022-04-15
2
Sumi Hariani
kalau makan Gratisan mah Pasti yg Traktir yg terbaik lah.
2022-04-15
0