Mas Duda

Kalau dipikir secara logika alasan Eric mengatakan hal tersebut ada gunanya. Buktinya, Arumi tidak lagi menjadi incaran tindakan pemerasan lagi oleh mantan suaminya. Kalau dilihat dari segi perasaan, janda mana yang tidak baper dibilang calon istri duren sawit. Namun, Arumi adalah Arumi. Dia sudah kebal dengan buaya rawa semenjak SMA. Secara cantiknya bikin lelaki melongo dan otaknya bikin anak tetangga dibanding-bandingin. Nasibnya saja yang kurang berpihak kepadanya dalam segala aspek.

"Pasti berat ya, ditinggal seorang ibu sejak lahir?" Pertanyaan seperti ini haram ditanyakan kepada seorang piatu. Ditinggal pas kita sudah tahu mana air putih dan air seni juga tetap berat kalau ditinggal orangtua. Arumi hanya menyungging bibirnya tanpa berniat menjawabnya.

"Itu juga berat untuk anak-anak saya. Saya juga berat ditinggal istri saya." Kemudian Eric tersenyum ke arah Arumi.

Arumi tidak mampu mengartikan senyum bosnya. Senyum ketidakrelaan karena ditinggal atau senyum karena sekarang sudah ikhlas. Keduanya bercampur aduk sehingga tidak ada yang bisa mengerti selain dirinya.

"Naya juga berat ditinggal bapaknya. Bahkan, dia harus menelaah arti perceraian dan pertengakaran disaat usianya masih belum cukup umur." Pandangan Arumi lurus ke depan.

Memori Eric berjalan mundur. Dia mengingat betapa sakitnya Lolita mengahadapi perceraian ibu dan mendiang ayahnya sampai-sampai di hari spesialnya tidak hadir. Hanya Lolita yang tidak berfoto bersama teman seperjuangnya ketika masa-masa perpisahan.

"Kenapa tidak menikah lagi?" tanya Eric.

Kalau Arumi bertanya hal itu ke Eric. Dia sudah tahu jawabannya dari mba Ovi. Kaum hawa suka menggosipkan fakta di waktu senggangnya.

"Saya kan sudah pernah ngomong kalau lelaki itu menyusahkan. Ribet. Buaya." Arumi sedikit mendengus mengejek otak Eric yang pelupa.

"Tidak semuanya." Eric membela kaumnya.

Asal Arumi tahu saja. Eric dulu pobia sama yang namanya perempuan gara-gara Lolita. Cinta terpendamnya membuat dia malas berhubungan dengan wanita manapun. Eric tergolong lelaki setia loh.

"Kamu hebat, bisa membuat anak-anak saya luluh dalam waktu secapat ini." Pujian Eric tulus untuk Arumi.

"Itu sebabnya pak, Saya ambil kuliah jurusan PGSD. Saya suka dengan kepolosan anak-anak." Arumi memang sedari dulu memiliki jiwa keibuan yang kuat. Dia tidak memiliki sosok ibu, tapi mampu mencintai anak-anak kecil dengan jiwa keibuannya.

Obrolan mereka berakhir ketika Naya memanggil Arumi. Anak itu meminta tolong untuk memutar pancing simulasi. "Mama, tolong Naya. Ikannya berat."

Arumi berlari ke Naya yang tengah bermain simulasi mancing. Meskipun, simulasi tetap saja berat jika mendapatkan ikan yang besar. Zaman sekarang memang membagongkan dengan segala kecanggihannya.

"Aduh, beneran berat nih Nay." Susah payah Arumi memutar benda yang mirip dengan alat penggiling kulit molen pisang.

Mulutnya melongo dan matanya melebar ketika melihat ikan hasil tangkapan anaknya lolos dijeratan pancingannya. Tiga anak ini memancing di layar simulasi.

"Ayah, cepat tarik. Ayah pasti bisa." Sorak sorai Talita dan Raka membuat Arumi mengalihkan pandangannya dari papan layar penuh ikan ke arah Eric yang tengah berjuang menangkap ikan emas besar.

"Ayo pak, semangat. Jangan sampai lepas." Arumi ikut menyoraki kegigihan bosnya yang tengah berjuang.

"Yah...." Kompak mereka, yang tadinya menyoraki kini lesu ketika melihat hasil tangkapannya lolos. Permainan sederhana tapi bikin kecanduan.

Eric benar-benar hanyut di dalam permainan yang ada area timezone. Kerjaannya seakan hilang dari isi kepalanya. Eric lebih excited ketika bermain bola basket di sana bersama Arumi. Sedangkan, anak-anak bermain bowling simulasi yang memiliki bola ringan.

"Payah banget sih," ujar Eric ketika melihat kegagalan Arumi memasukkan bola basket ke ring.

"Dulu saya benci banget sama pelajaran olahraga. Jadi, sampai sekarang enggak bisa main olahraga apapun." Arumi masih terus mencoba memasukkan bola-bola yang terus berjatuhan. Hanya satu bola sana yang dapat dimasukkan oleh Arumi. Sisanya Eric yang memasukkannya.

Eric pamit pergi ketika mendapat panggilan telepon dari Rai. Katanya sudah ada janji dengan klien yang tidak bisa dibatalkan. Sebelum itu, Eric memastikan Arumi dan anak-anak masuk ke dalam ojek mobil yang dipesan secara daring.

...----------------...

Efek kelelahan, anak-anak tertiduran di depan tv. Ketiga anak itu tidur sangat pulas setelah berganti baju dan menonton serial kartun. Sudah sore, tapi apa boleh buat, mata anak-anak dari tadi terlihat mengantuk.

Arumi juga bisa beristirahat menunggu anak-anak bangun. Dia bisa bermain ponselnya untuk menghitung waktu jika Arumi terus-terusan mendapat bonus besar. Ya walaupun, Arumi hanya memegang uang jajan bulanan saja, tapi dia bisa mencatatnya di dalam ponsel untuk menjadi bukti kalau-kalau bosnya lupa. Bonus sudah masuk ketagihan hutang dan itu tidak bisa diganggu gugat.

Dia bisa membayangkan jika sudah bebas dari jeratan hutang bosnya. Hutang lunas, kantong tebal. Bisa jadi hal itu benar-benar terjadi. Hujan duit dipikirannya membuat perempuan itu sumringah.

Khayalannya buyar ketika gawainya berbunyi. Menampilkan bos besarnya yang telepon. "Pengacau," beonya sebelum menggeser tombol hijau ke atas.

"Anak-anak sedang apa?" tanpa salam atau say hello suara Eric memporak-porandakan telinga Arumi.

"Aduh! telingaku." Arumi menjauhkan gawainya di depan telinga. Berharap ringkihnya tidak terdengar oleh bosnya.

"Sedang tidur, pak."

"Kamu sedang apa?" Pertanyaan Eric membuat kening Arumi mengkirut.

Arumi tadinya sudah menjadi orang kaya di dunia halunya kalau tidak diganggu oleh antek penghacur satu ini.

"Sedang ngawasin anak-anak tidur." Ngawasi anak-anak tidur sambil rebahan dan bermain ponsel dan masuk ke dalam dunia I-M-A-J-I-N-A-S-I.

"Oh, kirain kamu sedang asik sendiri dengan dunia kamu."

Apa bosnya ini cenayang? Atau si penakut itu memiliki indra kesepuluh hingga tahu bawahannya sedang berasyik ria dengan dunianya.

"Ah, sial." Arumi menggerutu tanpa menjauhkan gawai dari mulutnya.

"Apa kamu bilang?" Eric memastikan kalau majikannya itu menggerutu di melalui sambungan teleponnya.

Arumi segera mematikan sambungan teleponnya. Sepertinya dia ingin lari ke kamar mandi atau tenggelam di bawah kasur tidurnya. Dia lupa kalau rumah bosnya penuh dengan kamera CCTV disetiap sudut rumahnya. Arumi sekarang sadar, kalau setiap gerak-geriknya terpantau di layar monitor Eric, kecuali kamar dan toilet ya. Kedua ruangan itu adalah hal pribadi.

Mana bisa Arumi tenang kalau terus dipantau. Bisa-bisa setiap detik keluar dari kamar atau kamar mandi harus segera memasang pencitraan supaya gaji bisa naik dalam sekali tarik. Ngomong-ngomong soal gaji, masih lama sekali kalau diingat olehnya.

Waspada! Di dalam rumah besar ini juga harus waspada. Mata-mata ada di mana-mana, bukan mata manusia, tapi lensa kamera CCTV yang terpasang di mana-mana. Arumi harus bertindak sebaik mungkin kepada anak-anak jika tidak ingin didepak dari rumah besar ini. Kalaupun, didepak Arumi pasti akan membuat syukuran karena bebas dari bos anehnya. Kadang mulutnya kaya permen kapas, kadang mulutnya kaya cabe-cabean aka pedas.

Kalau sudah bebas dari rumah ini, maka perempuan itu akan dihantui hutang. Betah tidak betah, harus betah. Lagian, benar kata Rai, soal bonus tidak main-main. Jika dia keluar dari rumah ini, belum tentu dapat kerjaan kembali dengan cepat. Atau nantinya dapat kutukan dengan mendapat bos pelit, galak, tidak manusiawi. Bisa-bisa Eric tertawa terbahak-bahak melihat mantan pengasuh anaknya menderita.

Terpopuler

Comments

Lilik Lailatul Maghfirah

Lilik Lailatul Maghfirah

Suka

2021-06-20

0

linda

linda

👍👍

2021-05-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!