Mas Duda

Rutinitas Eric tiap pagi adalah mengantarkan kedua anak bersekolah. Lalu, dia akan melanjutkannya pergi bekerja. Kedua anaknya akan dijemput oleh Rai sampai ke rumah. Mereka akan bermain dan belajar dengan pembantu di rumahnya, meski pekerjaan itu seharusnya tidak dia kerjakan. Kalau ada sus, pasti si kembar akan pulang sekolah dengan sus dan menggunakan ojek daring berupa mobil. Dan dilanjutkan bermain dan belajar bersama sus sampai menunggu Eric pulang dari kantor.

"Hari ini, kalian jangan nakal. Ayah akan cari sus buat kalian. Belajar yang rajin." Kedua anaknya sudah siap diantar ke sekolahnya.

"Raka akan menerima sus baru. Asal dengan satu syarat." Raka yang biasanya irit berbicara, kali ini dia mengeluarkan suara emasnya.

"Apa?" tanya Eric yang tengah berlutut di depan kedua anaknya.

"Ayah jangan sibuk, sampai melupakan kita. Talita dan Raka kangen Ayah." Talita mulai memeluk tubuh ayahnya. Sedangkan, Raka masih diam mematung di tempatnya.

Mereka satu atap, tapi mereka hanya bisa bertemu ketika mereka sarapan dan malam tiba yang terkadang si kembar sudah tidur. Mereka rindu Eric yang dulu, Eric yang selalu menemani anak-anaknya sampai mereka tertidur dengan buku dongeng yang Eric. Cerita dongeng pengantar tidur hanya dibacakan untuk Talita.

"Maafin ayah ya. Ayah juga kangen kalian." Eric sudah tidak lagi mau mengeluarkan air matanya di depan anaknya. Dia tidak ingin terlihat sedih di depan kedua anaknya yang nantinya malah akan membuat anaknya hancur.

Eric mengisyaratkan Raka supaya mendekat ke arahnya. Dia ingin memeluk dua buah hatinya sekaligus.

"Ayah, Raka janji enggak akan nakal lagi." Raka di sela pelukan ayahnya.

"Talita juga." Mereka saling berpelukan.

Tidak gampang untuk mencari pengganti pengasuh yang sudah meninggalkan rumah beberapa jam yang lalu. Sus Ina pamit pergi setelah majikannya mengizinkannya. Tentu saja Eric langsung mengiyakan permintaan pengasuh anaknya. Alasannya sudah sangat jelas, belum lagi Eric selalu mendapat laporan kalau sus Ina selalu ikut basah kalau memandikan si kembar, bahkan sus Ina juga pernah terpeleset di kamar mandi sampai kakinya bengkak gara-gara ulah si kembar.

"Ayah enggak enak sama sus Ina. Dia itu sus yang baik." Eric sudah terlanjur tidak enak dengan pengasuh terakhir anaknya. Soal menggantikan ponsel milik sus Ina, Eric sudah menggantinya dengan jumlah harga tiga kali lipatnya.

"Iya, ayah. Kami menyesal sudah nakal." Raka melepaskan pelukan ayahnya.

"Ayo berangkat."

Eric mengantarkan kedua anaknya sebelum dia pergi ke kantor. Kedua anaknya sudah mulai tumbuh dan berkembang. Mereka sudah memasuki sekolah tahun keduanya.

"Nanti ayah yang jemput. Om Rai biar yang gantiin ayah di kantor." Mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah si kembar.

"Janji?" tanya keduanya.

"Hem." Eric menunjuk kedua pipinya supaya kedua anaknya mencium dirinya.

"Ummmuahh." Mereka berbarengan.

Eric sudah berdiri kembali.

"Naya tunggu!" seru Talita saat melihat teman satu kelasnya melewati dirinya.

"Dadah ayah." Tangan Talita menarik lengan adiknya menuju ke arah Naya yang sudah mendahuluinya.

"Dadah," balas Eric tanpa anaknya melihat.

Anak-anaknya sangat menggemaskan. Di balik sifat nakalnya, mereka juga pintar. Walaupun, di kelas Raka peringkat dua dan Talita diperingkat keempat. Peringkat satu di kelas tahun lalu adalah Nayaka. Dia bukan lagi pintar, tapi jenius. Umurnya beda satu tahun dengan si kembar walaupun mereka satu angakatan di sekolahnya. Mereka sekolah seperti biasanya.

Lima empat tiga dua satu.

Teng! Rapat evaluasi yang dipimpin langsung oleh Eric sudah berakhir.

"Saya pergi dulu," pamitnya terburu-buru.

Sudah lewat lima belas menit dari jam pulang sekolah anaknya. Dia berlari menuju ke lift supaya segera sampai ke lantai dasar. Rai sudah tahu tugas dia selanjutnya. Rai harus menggantikan pertemuan hari ini selama Eric menjemput kedua anaknya.

Jalanan yang sedikit macet membuat Eric semakin memakan banyak waktu. Ini sudah setengah jam dari kepulangan sekolah anak-anaknya. Setelah bebas dari kemacetan, Eric segera melajukan mobilnya dengan cepat supaya lebih cepat tiba di sekolah.

"Maaf, ayah telat." Eric sudah berdiri di depan anaknya.

"Kenapa enggak om Rai saja yang jemput, pasti dia tidak akan terlambat kalau jemput kita." Raka jalan masuk ke dalam mobil. Ucapan anaknya sangat menohok untuk Eric.

"Yah, anterin Naya pulang ya. Soalnya, Mama Naya belum jemput sampai sekarang." Talita menggandeng Naya yang terlihat murung.

"Iya. Ayo masuk." Mereka menyusul Raka masuk ke dalam mobil.

Naya duduk di kursi depan karena dia harus menunjuk jalan rumahnya. Nama Naya sudah tidak asing lagi di telinga Eric. Anak kecil itu sering menjadi buah bibir anak-anaknya saat kenaikan kelas tahun lalu.

"Naya, enggak mau main dulu ke rumah Talita sama Raka?" tawar Eric.

"Enggak om. Nanti, Mama cari Nayanya bingung." Gadis imut itu menggeleng.

Sepanjang perjalanan, Naya terlihat gelisah. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam benaknya. Mama Naya tidak pernah absen menjemput dirinya, kecuali dirinya sudah meminta izin terlebih dahulu ke anaknya.

"Kamu kenapa, Nay?" tanya Eric yang peka terhadap situasi Naya.

"Om, Naya takut terjadi apa-apa sama Mama." Kegelisahan Naya tidak bisa terbendung lagi.

"Naya jangan khawatir dulu ya." Sekilas Eric menatap Naya.

Mobil Eric sudah memasuki jalan rumah Naya. Depan rumah Naya ramai oleh orang-orang. Eric memarkirkan mobilnya di bahu jalan depan rumah Naya. Melihat kondisi rumahnya ramai, Naya segera berlari menuju ke dalam rumahnya.

"Mama!" teriak Naya disepanjang jalan menuju rumahnya.

Arumi, mama Naya tengah menangisi tubuh yang sudah kaku di hadapannya. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya telah pergi untuk selama-lamanya.

"Mama, kakek kenapa?" Naya mulai meneteskan air matanya melihat tubuh kakeknya berselimut kain yang nenutupi sekujur tubuhnya yang sudah kaku.

"Naya, maafin mama. Mama enggak bisa jaga kakek kamu dengan baik." Naya sudah menangis hebat dipelukan mamanya.

Kecelakaan pagi tadi merenggut nyawa orangtua Arumi satu-satunya. Bekerja sebagai tukang ojek daring memiliki resiko besar saat turun ke jalan. Kecelakaan yang melibatkan truk kontener dan sepeda motor itu telah menewaskan satu nyawa, yakni bapak Arumi.

Eric yang melihat Naya menangis dipelukan mamanya membuat dia iba. Dia juga pernah berada di dalam posisi itu. Ditinggal orang terkasih memang menyakitkan.

"Naya pulang sama siapa?" tanya Arumi di tengah tangisnya.

"Sama om," balasnya yang menangis.

"Om siapa?"

Naya menarik tubuhnya dari pelukan mamanya. Dia mengedarkan pandangannya kepenjuru ruangan berharap menemukan sosok laki-laki yang telah mengantarkan dirinya pulang.

"Om itu," tunjuk Naya tepat mengarah ke Eric yang tengah berdiri di ambang pintu.

Eric menghampiri Naya yang sedang mengarah kepadanya. Dia akan mengucapkan belasungkawa kepada orangtua teman anaknya.

"Terima kasih sudah mengantarkan anak saya, pak." Arumi mengucapkan terima kasih kepada Eric yang sudah berada di depannya.

"Iya sama-sama. Saya turut belasungkawa," ucapnya sangat ramah.

Kedua anak Eric dia tinggal di dalam mobil. Eric berniat untuk ikut melayat di rumah duka. Setelah mengucapkan belasungkawa, Eric menjauh dari orangtua Naya. Dia menelepon Rai untuk mengantar pulang kedua anaknya.

"Rai, tolong ke alamat yang saya kirim. Bawa pulang anak-anak saya."

"Baik, pak." Rai di seberang sana.

Eric mematikan sambungan teleponnya. Kemudian, lelaki itu menghampiri kedua anaknya yang masih dia tinggal di dalam mobil.

"Ayah, di rumah Naya ada apa, kok ramai?" tanya Talita yang sudah menodong pertanyaan Eric sebelum anak itu diizinkan turun dari mobil.

"Kakek Naya meninggal. Ayo ke Naya, kita ucapkan belasungkawa." Eric membukakan pintu mobil untuk kedua anaknya.

"Apa!" Kedua anak itu terkaget.

"Iya. Ayo turun. Nanti kalian pulang sama om Rai. Ayah mau ikut melayat ke kuburan." Eric sudah menggandeng kedua anaknya di kanan kirinya.

Rasanya tidak etis kalau sudah datang di rumah duka, tapi tidak ikut melayat. Walaupun, Eric tidak sengaja ke rumah tersebut.

Setengah jam berlalu, Rai datang untuk membawa kedua anak Eric pulang. Sedangkan, Eric ikut ke pemakaman dengan berjalan kaki karena lokasi pemakaman tidak terlalu jauh dari rumah.

Eric kembali ke rumah orangtua Naya untuk pamit pulang. Mobil miliknya juga masih terpakir di sekitar rumah Naya. Rumah Arumi sudah sepi karena para pelayat sudah pulang.

"Saya pulang dulu," pamit Eric berhadapan dengan Arumi.

"Terima kasih, pak. Sudah mau mengantar Naya sampai rumah. Terima kasih juga sudah mau ikut melayat bapak saya." Arumi dan Naya berada di ruang tamu.

"Iya sama-sama. Saya pu..."

Gubraaakkk!

Sebelum Eric mengucapkan kalimat perpisahannya, suara pintu terdengar seperti di luluh lantahkan.

"ARUMI! MANA ANAK SAYA. SAYA BUTUH UANG SEKARANG!" Suara kasar itu menggema di rumah Arumi.

"Cipta," seru Arumi yang langsung memeluk Naya.

Jangan lupa like dan vote.

Terpopuler

Comments

Rinjani

Rinjani

oala Ayah Naya pemabuk kasian Arumi ...wah pasti ma.mas Duda nih yaa

2022-07-27

0

dhapz H

dhapz H

cipta.. suami arum

2021-06-26

0

Bunda Beygum Hermawan

Bunda Beygum Hermawan

Kayanya nanti jodoh MAS DUDA neng ARUMI deh

2021-06-01

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!