Mas Duda

Tingkat polusi udara di ibu kota semakin hari semakin tinggi saja. Bayangkan saja, satu kartu keluarga saja bisa memiliki dua atau tiga kendaraan pribadi sekaligus. Entah itu untuk kebutuhan atau sekadar nafsu mata semata saja.

Menunggu anak-anak pulang sekolah membuat Arumi sedikit jenuh. Meskipun, waktu menunjukkan tinggal beberapa detik lagi. Namanya juga menunggu, satu detik saja rasanya seperti sewindu.

"Mama," seru Naya dan Talita berbarengan.

"Sudah selesai? Ada tugas rumah?" tanya Arumi untuk memastikan bagian tugasnya.

Mereka kompak menggeleng, begitu juga dengan Raka.

Mobil sedan berwarna hitam berhenti di depan gerbang sekolah. Bukan Eric, melainkan Rai yang diutus Eric untuk menjemput anak-anaknya.

"Om Rai." Mata jeli Talita melihat keberadaan Rai ketika mereka berjalan akan meninggalkan sekolah itu.

"Talita, jangan lari." Arumi mencoba menahan Talita, tapi gagal.

Lelaki berjas dan berambut klimis berdiri di depan mobilnya. Atasan dan bawahan memiliki gaya berpakaian yang satu server. Hanya saja tidak ada kaca mata hitam yang menempel di hidung asistennya itu.

"Om Rai."

Lelaki itu pernah Arumi lihat ketika di rumahnya ketika tertimpa musibah. Arumi sedikit membungkukkan badan untuk menyapa orang yang belum dia kenal namanya.

"Saya Rai, asisten pribadi pak Eric." Senyum ramahnya membuat aura ketampanannya bersinar kepermukaan.

"Saya Arumi, pengasuh baru Raka dan Talita. Ini anak saya, Nayaka."

Perkenalan singkat itu berakhir ketika Rai mengajak mereka masuk ke dalam mobil. Raka meminta main ke kantor ayahnya. Arumi sudah memperingatkan anak itu, bahwa kantor bukan tempat bermain bagi anak. Namun, Raka tetap keras kepala untuk mampir ke sana.

Gadung yang menjulang tinggi sampai siapa saja yang mengamati gedung itu bisa teyeng kepalanya. Bisa-bisa lehernya tidak bisa menunduk akibat menghitung lantai dari satu sampai ke atas.

Ini pertama kalinya Arumi menginjakkan kaki digedung yang terlihat mewah dan kokoh. Anak-anak berjalan di depan Rai dan Arumi. Belum jam istirahat, jadi masih banyak karyawan yang sibuk sendiri berkutat dengan komputernya.

"Bos kalau di kantor galak?" tanya Arumi dengan suara lirih.

"Banget," bisik Rai yang baru kali ini bisa mengungkapkan kegundahan di dalam hatinya.

"Kok kamu betah?"

"Bos memang terkadang galak plus pelit. Tapi, kalau masalah bonus, enggak pernah main-main." Sebagai tangan kanan bosnya Rai sebenarnya harus menjaga segala privasi atau rahasia bosnya, tapi hal di atas sudah menjadi rahasia umum.

"Tepatnya perhitungan sih, bukan pelit."

Pantas saja, baru hutang beberapa hari saja sudah ditagih.

"Mungkin karena perusahaan sedang mengalami masa turun." Mereka memasuki lift.

"Kata siapa? Keuangan di kantor terbilang stabil, bahkan mengalami kenaikan di bulan ini."

Modus orang kaya selalu mampu mengelabui siapa saja. Arumi sudah terperangkap dalam jala orang asing ini. Harusnya dari awal dia tolak pertolongannya. Biarkan dia dikejar-kejar lintah darat dari pada bekerja tanpa digaji. Harusnya Arumi mencari info terlebih dahulu sebelum mengiyakan semua ini.

Melihat wajah bos besarnya seakan ingin mencabik-cabik. Pembohong. Harusnya jika ingin merekrut dirinya sebagai pengasuh bukan dengan jalan kebohongan. Ini sih namanya kesempatan dalam kesempitan. Arumi yang harus nanggung semuanya. Tenaganya harus terkuras habis tanpa ada sedikit cuan pun yang masuk ke dalam kantongnya.

"Ayah lagi kerja. Kenapa nyusul ke sini?"

Kedatangan Arumi yang disusul oleh anak-anaknya seperti tidak disambut baik. Pekerjaannya akan terganggu oleh anak-anaknya yang super aktif.

"Ayo pulang sus, ayah enggak mau di ganggu." Raka akan berlalu, tapi dicegah Arumi.

"Raka," cegah Arumi.

"Ka, kan kamu baru sampai di sini." Eric menenangkan Raka. Orang pendiam sekali ngomong ya kacau.

Makan siang. Eric harus membatalkan makan siang bersama rekan bisnisnya. Dia kali ini menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Naya, Arumi dan Rai berada dalam satu meja besar bersama bosnya.

"Setelah makan, kalian pulang ya."

Pesanan sudah datang. Makanan Jepang masih menjadi favoritnya. Arumi sih suka segalanya.

"Jadi, kita diusir pak?"

"Bukan gitu, Arumi." Sifat cangungnya hanya bersifat sementara. Selebihnya Arumi memang pintar menyanggah.

"Saya sedang kerja. Lagian, anak-anak harus tidur siang." Eric mengunyah sashimi salmonnya.

"Ya sudah kalau gitu."

Padahal perempuan masih ingin melihat-lihat kondisi yang ada di dalam gedung itu. Sudah diusir bosnya, jadi dia bisa berbuat apa.

Naik ojek mobil menjadi jalan alternatif mereka. Rai harus ikut Eric rapat setelah jam makan siang. Arumi sudah diusir dan tidak bisa berlalang-buana di area kantor.

"Kalau sampai rumah, kabarin saya." Sebelum ojeknya sampai, Eric mengantar anak-anaknya dan Arumi di depan lobi.

"Saya kan enggak punya nomor pak bos." Mereka saja tanpa melakukan perkenalan terlebih dahulu. Arumi tahu nama Eric saja dari Naya.

"Oh iya lupa."

Benda kecil dari saku jasnya dia keluarkan. Arumi memindai kode WA pribadi milik Eric. Selesai.

Mobil pesanan milik Arumi sudah tiba. Anak-anak satu persatu masuk ke dalam mobil.

"Rum," panggil Eric.

"Iya, pak." Langkahnya terhenti di depan pintu mobil.

"Kabarin ya, kalau sudah sampai rumah."

"Siap pak bos."

Arumi masuk ke dalam mobil. Kaca mobil Arumi turunkan untuk pamitan kepada bos dan asistennya yang masih berdiri di tempat yang semula.

"Jangan nakal sama mama ya."

Arumi membeku saat Eric memberi pesan kepada anak-anaknya. 'Mama?' pemecatan itu dibatalkan? Jurus apa yang digunakan Talita dan Raka gunakan untuk mempertahankan pengasuh barunya. Biasanya, dia akan iseng ke susternya.

"Pak, kami pergi dulu ya. Dadah." Kata dadah diikuti oleh Talita yang duduk di antara Naya dan Arumi. Sedangkan, Raka duduk di depan.

Sejak kapan Eric menyetujui Talita memanggil dirinya mama? Perasaan dia sudah terancam dipecat.

Sesampainya di rumah. Anak-anak berganti pakaian dan rebahan di depan televisi menonton acara anak. Naya juga ikut bergabung dengannya. Talita dan Raka tidak membedakan dia anak pembantu atau bukan, yang dia paham adalah Naya teman satu kelasnya.

"Mama," panggil Talita.

"Iya."

"Malam ini, Naya tidur sama Talita ya."

"Naya kan punya kamar sendiri sama mama. Jadi, enggak usah ya." Apa yang akan Eric katakan kalau Naya tidur satu kamar dengan anak-anaknya.

"Kemarin malam, kata ayah boleh."

Talita malam itu terbangun kembali ketika Eric memasuki kamar. Sebenarnya, Talita merengek kembali ingin Arumi menjaganya kembali. Namun, dengan menjelaskan dengan pelan, Talita akhirnya luluh dengan Eric. Talita sempat izin ke Eric meminta Naya tidur dengannya malam nanti, dia butuh teman di sampingnya saat tidur. Supaya Talita tidak menangis, Eric mengiyakan saja kemauan anak gadisnya.

"Iya, ma. Kata ayah, Talita harus izin ke mama dulu."

Terpopuler

Comments

Neti Jalia

Neti Jalia

10 like untukmu🤗🙏
*hujan dibalik punggung
*suamiku ceo ganas

2021-06-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!