Mas Duda

Sepulang menjemput anak-anak dari sekolah, Arumi mengajak anak-anak ke mall. Ini kemauan Eric satu jam sebelum jam makan siangnya. Harus nurut jangan enggak nurut. Potong gaji bisa gawat, menua di dalam rumah Eric menjadi imbasnya.

"Sus, ayah mana, kok lama?" Langkah Raka terhenti karena kesal dengan ayahnya yang tak kunjung datang.

"Ayah lagi diperjalanan. Kalian sabar ya." Arumi berjalan mengawasi di depan anak-anak yang masih mengenakan seragam sekolah lengkap.

Mereka sudah berkeliling setengah jam di mall ini setelah bermain di area permainan selama satu jam lebih. Sampai sekarang batang hidung Eric belum muncul juga dihadapan Arumi. Terlambatnya seorang bos harus mendapat extra pemakluman. Harus itu wajib, catat itu.

Berkeliling dengan modal black cart bosnya tidak membuat Arumi gentar--takut kantong dompetnya bolong momplong. Rai diutus Eric menemui Arumi di sekolah anaknya untuk menyampaikan pesan makan siang dan memberi kartu hitamnya untuk digunakan jalan-jalan ke mall. Bersyukur, uang di dalam kantong Arumi utuh, hanya keluar saat membayar jasa ojek daring.

Lelah. Satu kata yang Arumi rasakan saat ini. Anak-anak bisa memakan es krim sepuas hatinya ketika dia mau.

Lelah. Arumi harus mengawasi anak-anak di tengah keramian seperti ini. Lengah sedikit saja, dia akan kehilangan jejak anak-anak yang super aktif berlari ke sana kemari yang berakhir kena dompretan Arumi.

Lelah. Satu kata ketika menunggu orang yang tidak pasti kapan datangnya. Dia berkata kalau Eric masih dalam perjalanan hanya untuk melegakan hati anak-anak saja. Pasalnya, Arumi hanya mengirim pesan singkat sebelum turun memasuki mall ini. Itupun tidak ada balasan bosnya. Jangankan balasan, dibaca saja tidak.

"Ayo, jangan lelet jalannya." Mata Arumi membulat sempurna ketika mendengar suara yang sangat familiar di telinganya.

"Jalan dengan tatapan kosong itu bahaya. Apalagi sambil bawa anak-anak." Arumi mendengus kesal setelah mengetahui siapa pemilik suara itu.

Perempuan itu mengekor Eric yang sudah berjalan mendahului Arumi. Dia menuju ke tempat makan yang ada di dalam mall. Kali ini, bukan masakan Jepang. Dia masuk ke resto makan yang tidak asing di telinga kalian lagi, apalagi kalau bukan MuCiDi--mukidi.

Resto cepat saji. Bosnya lagi kesambet ingin makan daging berlapis roti. Arumi sih ikut saja, gratisan mana bisa protes ini itu.

"Pak ini, kartunya." Kartu yang ada tangan Arumi ditahan Eric ketika perempuan itu akan membayar ke kasir.

"Pegang kamu saja. Ini masih ada kartu saya yang satunya." Eric mengeluarkan kartu yang sama persis yang dipegang oleh Arumi.

Orang kaya beneran mengagumkan. Satu kartu tidak cukup, buat kartu lagi.

"Terima kasih, mba." Eric meninghalkan kasir disusul oleh Arumi di sampingnya.

"Ini pak kartunya," ujar Arumi menyerahkan kartu kredit kelas kakap.

"Buat pegangan kamu. Barangkali, anak-anak minta yang aneh-aneh." Mereka berjalan ke anak-anak yang sudah menunggu kedatangan mereka berdua di meja berset keluarga.

Kapan anak Eric meminta hal aneh? Raka saja yang masih kecil sudah perhitungan. Contohnya kemarin saat dia mengerjakan soal matematika. Gantengnya nurun, pelitnya juga nitis ke anaknya.

Mereka menunggu kedatangan makanan yang sebentar lagi akan disajikan. Hanya butuh waktu lima menit saja, pengantar pesanan sudah tiba dihadapan mereka. Segala macam burger ada di meja. Arumi yang baru melihat makanan berjejer di mejanya saja sudah enek. Seenak-enaknya makanan kalau berlebihan tetap saja jatuhnya mengenekan, bukan mengenakan.

Saos belepotan di mulut anak-anak, yang penting tidak jatuh mengotori seragam mereka yang sudah hari terakhir digunakan. Takutnya timpaan makanan menjadi noda membandel yang tidak mau menghilang. Arumi mengelap ujung mulut anak-anak yang terpapar saos dengan tisu. Kemudian, dia melanjutkan makanannya lagi.

"Kamu juga belepotan Arumi. Di sini, ada saosnya." Eric menunjuk pipinya sendiri yang ada di sebelah kanan.

Tanpa babibu, Arumi langsung mengusap noda yang dimaksud oleh bosnya dengan tisu. Sedikit malu karena mengingat usianya yang sudah tidak terbilang anak kecil lagi masih belepotan makannya.

"Ayah, boleh main timezone lagi?" Talita izin bermain di area permainan.

Eric menggeleng, tidak mengizinkan anaknya bermain lagi di mall. "Pulang, mama pasti lelah jagain kalian di sini terus. Besok juga masih sekolah." Eric memanggil Arumi mama karena ada Talita.

"Sebentar saja ayah," rengek Talita yang super menggemaskan.

"Raka sama Naya cape enggak, kalau main permainan lagi?" tanya Arumi untuk mengambil jalan keluar dari rengekan Talita.

"Enggak." Mereka menggeleng kompak.

Mana ada anak-anak lelah kalau dihadapkan dengan permainan yang membuat lupa akan tugas sekolah. Kalau mereka bosan, baru minta pulang.

Jika Talita dan Naya memilih main permainan yang di area anak-anak. Raka memilih duduk di kursi tunggu bersama Arumi. Anak itu sepertinya ingin mengisi energi geraknya terlebih dahulu dengan cara duduk sebentar dan membiarkan karbohidrat yang baru dia makan supaya tercerna dengan baik.

"Kenapa enggak gabung sama ayah?" tanya Arumi yang duduk di samping Raka.

"Nanti, Raka mau sama sus dulu."

Eric tidak langsung balik ke kantor. Dia menemani Naya dan Talita bermain.

"Sus," panggil Raka kemudian.

"Iya."

"Raka boleh panggil sus, Mama? Biar kaya Talita." Nada bicaranya serius.

"Boleh dong. Raka boleh panggil sus, mama." Sekaku itu anak majikannya. Bukannya Talita sudah memanggil Arumi dengan sebutan mama, bukan sus lagi.

"Terima kasih," ujarnya. "Mama, selain jagain Talita, Naya dan Raka. Mama juga jagain ayah?" Pertanyaan anak polos.

"Ayah Raka kan sudah tua. Dia bisa jaga diri sendiri, tanpa mama jaga. Lagian, mama ditugaskan cuma ngerawat anak-anak."

"Memangnya, orangtua tidak perlu dijaga?"

"Orangtua bisa apa-apa sendiri. Sedangkan, Raka makannya juga kadang minta disuapin. Makanya, Raka masih butuh penjaga," terang Arumi asal.

"Berarti mama mau jaga Raka sampai kapanpun?"

Arumi hanya mengangguk tersenyum melihat Raka. Kalau Arumi boleh menebak dari mana karakter Raka terbentuk seperti ini, pastinya dari ayahnya. Sayangnya, perempuan itu belum tahu apa-apa tentang keluarga bosnya. Arumi hanya tahu kalau Eric itu duda kaya yang terkadang pelit.

"Seru banget ngobrolnya." Eric datang dari arah belakang.

"Ayah, Raka mau ke Talita dulu. Ayah jaga mama dulu ya." Belum mendapat persetujuan apapun, Raka sudah pergi.

Eric duduk di samping Arumi. Mereka saling diam. Hanya ada suara bising dari permainan yang di belakang sana. Arumi mengeluarkan gawainya karena dia tidak tahu apa yang akan dilakukan. Sebuah pesan yang muncul di layar di gawainya membuat dia mengernyitkan dahi. Cipta, pesan itu dari mantan suaminya.

Lelaki yang waktu itu calon suami kamu? Jangan mengelak, dia sendiri yang bilang ke aku, kalau dia calon suami kamu.

Cipta tidak pernah menghapus nomor telepon Arumi. Sedangkan, di layar gawai Arumi hanya tertera nomor saja tidak ada nama Cipta yang tertulis.

Membaca pesan tersbut. Lalu, Arumi sekilas memandang bosnya. Perempuan itu tersenyum ke arahnya.

"Kamu kenapa senyum gitu Arumi?" Eric menyadari perempuan di sampingnya senyum ke arahnya.

Wo oh kamu ketahuan, curi-curi pandang, dengan bosnya sendiri.

"Bos, kenapa ngomong ke mantan suami saya, kalau bos itu calon suami saya?" tanya Arumi to the poin.

Pandangan Eric mendadak dingin ke Arumi. Perempuan itu tidak habis pikir kalau akan mendapatkan jawaban seperti itu. Bertanya salah, diam malah overthinking.

Terpopuler

Comments

Endang Purwati

Endang Purwati

Arumi, .... Eric bilang begitu, untuk menggertak cipta,...supaya cipta gkk nge rongrong kamu teruuus

2021-12-01

0

Endang Purwati

Endang Purwati

black card 🙏💙

2021-12-01

0

Lilik Lailatul Maghfirah

Lilik Lailatul Maghfirah

Mama Raka🥰

2021-06-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!