Mas Duda

Sorot matanya tajam. Arumi tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran bos barunya. Setidaknya, Arumi belum melakukan kesalahan kerja di hari pertamanya. Namun, tatapan tajam dari bosnya membuat dia mengkirut. Siap-siap menjual ginjal jika tiba-tiba dipecat dari kerjaannya sekarang.

"Maaf, saya terlalu berlebihan." Suara Eric mampu meloloskan karbondioksida yang dari tadi Arumi tahan.

"Saya pikir, kamu bakal mencelakai anak saya dengan pisau kecil itu."

Barang bukti pisau kecil untuk memotong kue tergeletak di meja ruang makan. Pisau itu memang sudah berada di ruang keluarga karena sepulang dari rumah Arumi Raka dan Talita meminta mba Ovi memotong kue bronis yang dibeli beberapa hari lalu. Pisau kue itu, tadi digunakan untuk memotong benang baju yang melilit kalung emas di leher Talita. Kalau dari CCTV memang Arumi terlihat seperti menggorok leher Talita.

"Saya yang harusnya minta maaf karena membuat pak Eric curiga." Wajah Arumi menunduk menyesali perbuatannya. Jika benang baju ditarik begitu saja, maka akan melukai tangan Arumi.

Kesalah pahaman telah berakhir. Eric kembali ke kantor dengan melihat kondisi Rai yang khawatir. Rapat tidak dibatalkan hanya diundurkan saja waktunya. Dengan modal muka tembok Rai mencoba meminta waktu untuk menunggu bos besarnya memimpin rapat dengan kolega dari beberapa perusahaan lain.

Pekerjaan Eric membosankan. Tidak ada unsur yang menarik sedikitpun.

Anak-anak sudah didandani rapih oleh Arumi. Malam ini, katanya mereka akan makan malam di luar. Naya ditinggal di rumah menemani mba Ovi, sedangkan Arumi bekerja mengasuh anak orang lain.

"Lain kali, Naya diajak saat kamu kerja di luar. Kamu bisa menghabiskan waktu dengan anak saya, kenapa tidak dengan anak kamu." Entah perintah atau sindiran. Namun, pastinya Arumi mendapat lampu hijau untuk membawa anaknya ikut bergabung dengan anak majikannya yang lebih berkasta.

"Naya juga teman anak-anak saya." Mata mereka tertuju ke Raka dan Talita yang tengah bermain ayunan di saat matahari sudah tenggelam.

"Saya tidak enak saja, jika sedang kerja bawa anak."

Eric membelikan makanan dengan menu yang sama untuk Naya di rumah. Hubungan yang tidak harmonis antara Arumi dan suaminya mengingatkan Eric pada mendiang istrinya. Naya pasti menginginkan sosok ayah yang hebat dan bertanggungjawab dalam hidupnya.

Lampu kamar sudah gelap. Hanya ada sumber cahaya yang merayap dari arah ventilasi kamar Arumi. Naya menyukai suasana kamar remang-remang ketika tidur. Makanan yang dibelikan oleh Eric tergeletak di samping kasur tanpa alas kaki. Arumi memeluk Naya yang sudah tertidur pulas setelah memastikan anak-anak majikannya tertidur pulas.

"Maafin mama, kalau mama memperiotaskan anak orang lain," gumamnya dalam hati.

"Mama, sayang Naya." Suara mirip bisikan itu menghilang saat Arumi sudah memejamkan mata.

Bukan demi uang atau demi hal lain. Di dunia nyata orangtua sering memprioritaskan kebutuhan anak majikan ketimbang anak sendiri. Kebutuhan di sini adalah kebutuhan waktu.

Tidak ada perkenalan ataupun metode pendekatan layaknya pengasuh lainnya. Arumi bisa dekat dengan anak-anak Eric berkat keberadaan Naya. Raka awalnya agak susah karena dia sedikit introvert.

Minggu ini, Raka dan Talita batal ke rumah neneknya yang ada di Bandung. Kesibukan Eric di hari libur memang sangat mengesalkan bagi anak-anaknya. Pekerjaannya mengecek data membutuhkan waktu lama dan ketelitian tingkat dewa. Jiwa prefeksionisnya selalu dominan saat bekerja atau di hari biasanya. Dia tidak mempercayai seseorang untuk menyelesaikan data yang super memerlukan ketelitian. Rai sudah hafal bagaimana bosnya, dia tidak berani menyentuh tugas itu sebelum bos besarnya sendiri yang memerintah. Bisa-bisa ancaman pecat-memecatnya benar-benar terealisasi.

"Kalau libur, bisa belajar buat nugget lagi. Sekarang mari kita nikmati hasil buatan kita."

Setelah bergelut dalam jangka panjang. Nugget ayam buatan Arumi dengan bantuan mba Ovi dan anak-anak sudah beres. Tinggal dimakan dicocol dengan saos ataupun kecap untuk Raka yang membenci pedas.

"Mama, Naya mau itu." Naya menunjuk nugget yang ada di tangan Arumi. Dia meminta Arumi untuk menyuapinya.

"Ini?" tanya Arumi yang diangguki oleh Naya.

Tangannya memperagakan layaknya pesawat terbang yang tengah mendarat ke Bandara. Setengah potong nugget mendarat ke dalam mulut Naya. Arumi memang tidak pernah merasakan suapan dari tangan seorang ibu. Dia sudah ditinggal oleh ibunya semenjak Arumi lahir. Merek berbeda alam.

"Enak?" tanya Arumi.

"Masakan mama selalu enak." Sambil mengunyah Naya memberi ajungan dua jempol untuk Arumi.

"Talita mau disuapin mama juga."Mendengar Talita memanggil dirinya dengan sebutan 'mama' Arumi sedikit canggung dan kaget.

"Mama?" Arumi bingung.

"Sus, bolehkan, Talita panggil sus mama, kaya Naya?"

Bisa gawat jika Eric nantinya mendengar Talita menyebut dirinya mama. Kedudukan kasta mereka berbeda jauh. Arumi tidak bisa menganggungki kemauan anak majikannya yang baru beberapa hari sudah dia urus.

"Boleh ya sus. Talita kan enggak punya mama." Iba memang jika mendengar permintaan anak kecil seperti itu.

Arumi pernah merasakan di posisi Talita dan Raka. Dia dulu ingin sekali jika terjatuh memanggil seorang ibu dari mulutnya. Namun, apa boleh buat, adik dari bapak Arumi tidak mengizinkannya memanggil ibu untuk dirinya.

"Panggil tante saja. kamu sudah punya ibu sendiri." Sosok ibunya sudah pergi dari hidup Arumi, tanpa Arumi pernah melihat wajah ayunya.

"Tapi, dengan satu syarat." Dia tidak mau ditertawakan majikannya. Bukankah akan terlihat memalukan jika dirinya merasa sok akrab dengan anaknya.

"Jangan panggil sus dengan kata mama jika di depan ayah kamu."

Permintaannya memang mudah, tetapi apa bisa seorang anak kecil bisa memahami situasi dengan jelas?

Talita mengangguk dengan syarat yang diajukan oleh pengasuhnya. Setidaknya, dia bisa merasakan sosok ibu dihadapan pengasuhnya.

"Lagi bahas apa, sampai Talita tersenyum puas gitu?"

Pandangan Arumi beralih ke sumber suara yang memecahkan kebahagian Talita.

"Ayah." Talita menyambut kedatangan ayahnya dengan senang.

Ayah. Kata itu sangat jarang lontarkan dari mulut Naya. Dari kecil dia sering melihat perlakuan buruk ayahnya. Dia tumbuh lebih dewasa dari usianya. Ayahnya tidak pernah semanis orangtua teman-temannya. Jika Talita bisa bebas memanggil mama miliknya, Naya sudah berpikir bahwa dia tidak bisa memanggil majikan ibunya dengan sebutan 'AYAH'.

"Ayah cobain nugget buatan sus." Tangan kecilnya mengambil makanan berbentuk cinta di meja makan.

"Ayah tidak suka makanan seperti ini." Sejak kapan orang dewasa yang mapan menyukai makanan ecek-ecek seperti itu.

"Jangan kebanyakan makan-makanan kaya gitu."

Ayam mengandung protein. Apa salahnya jika dia mengkonsumsi protein dari ayam yang diolah menjadi makanan seperti itu. Apa harus nugget bermerk fantastis baru majikannnya, maka dia akan berstatmen bahwa makanan itu layak makan. Sabar Arumi, orang kaya memang aneh.

"Tapi, mama yang buat. Dan ini rasanya enak."

Loh-loh. Mana janji Talita yang tidak akan menyebut dirinya mama di depan orangtuanya. Arumi merasa tidak enak sendiri.

"Mama?" tanya Eric heran.

Terpopuler

Comments

Asfar

Asfar

waduh...talita...bikin heboh...raka bisa backup talita

2022-01-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!