Mas Duda

"Anak-anak udah tidur?"

Suara Eric mengagetkan Arumi yang baru saja keluar dari kamar Talita dan Raka.

"Pak, ngagetin saya saja." Tangan Arumi mengusap jantungnya.

"Sudah pak."

"Buatkan saya kopi. Tidak usah ditambah gula."

Jam kerja mba Ovi sudah berakhir. Sebenarnya, jam kerja Arumi juga sudah selesai sesuai kesepakatan mereka berdua.

Jam kerja berakhir ketika anak-anak sudah tidur malam.

Di rumah ini menggunakan sistem jam kerja. Eric sangat menghargai waktu. Jika, jam kerja pembantunya selesai, dia akan menyeduh kopi atau apapun sendiri.

Kopi instan bergula sudah tersedia di dapur. Eric jarang mengkonsumsi kopi, dia terkadang bisa mengkonsumsi kopi seminggu sekali saja. Alasannya untuk kesehatan.

Arumi menyeduh dan mengantarkan kopi ke kamar Eric. Lelaki itu sedang berada di depan meja kerjanya. Kaca mata minusnya bertengger di atas hidungnya. Orang ganteng pakai kaca mata apapun tetap oke.

"Permisi, pak." Arumi memasuki kamar Eric yang terbuka.

"Makasih," ujarnya saat kopi mendarat di meja kerjanya.

"Bisa bantu saya malam ini?" tanya Eric menghentikan aktivitasnya.

Bantu apa. Kalau bantu buatin nasi goreng atau makanan lainnya sih bisa. Kalau soal urusan kerjaan kantor, mana paham. Arumi tidak belajar ilmu bisnis, dia hanya kuliah jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Kalau suruh membaca sih masih bisa.

"Bantu saya mengurutkan berkas sesuai tanggal dan bulannya." Di meja terlihat berkas data yang menumpuk. Memang tidak banyak, tapi ini jam kerja Arumi sudah berakhir.

"Anak-anak sudah tidur, pak."

Konotosi maknanya berbeda. Di sini bukan berarti kalimat Arumi memiliki makna memberi tahu bosnya bahwa anaknya sudah tidur. Arti lain dari kalimat anak-anak sudah tidur adalah menunjukkan makna bahwa sudah malam dan sesuai perjanjian, jam kerja Arumi berakhir ketika anak-anak sudah tidur.

"Saya beri bonus. Kopi ini juga termasuk bonus."

Ucapan Rai tidak berbohong. Bos kalau masalah bonus tidak main-main. Semuanya serba bonus.

"Setengah dari gaji asli kamu." Belum sempat Arumi menjawab iya, malah sudah ditentukan berapa bonus yang akan Arumi terima.

"Tapi, pak. Bukannya saya tidak digaji." Arumi tidak tahu berapa gajinya. Dia bekerja yang penting lunas dalam waktu kurang dari satu tahun kalau dihitung dengan UMR Jakarta.

"Bonusnya, saya masukkan ke dalam tagihan hutang kamu."

Baru beberapa detik membuat mata Arumi berbinar. Eh langsung membuat loyo mata saja. Sifat perhitungannya kumat.

"Pak, saya kan butuh pegangan uang. Masa kantong saya kering cuma gara-gara hutang di pak bos."

Kekhawatirannya tersampaikan. Semoga dengan kejujurannya ini bisa membuat Eric membuka hati kembali memberi uang bonus dalam bentuk uang tunai, bukan dimasukkan ke dalam tagihan hutangnya.

"Bukannya, kamu dapat uang jajan?" Uang jajan dari Hongkong. Semenjak Arumi menginjakkan kaki di sini perasaan belum mendapat sepeserpun uang jajan. Uang jajan Naya juga mengambil uang simpanan miliknya sendiri.

"Pak bos memangnya pernah kasih saya uang selama saya di sini?" Arumi melempar pertanyaan balik.

"Iya kamu benar Arumi. Saya belum pernah kasih kamu uang. Saya lupa."

"Bonus malam ini, tetap saya masukkan ke uang tagihan. Besok saya akan kasih uang jajan ke kamu."

"Sekarang, kerjakan apa yang saya minta."

Arumi berdiri mengurutkan berkas yang hanya seberapa. Namun, butuh ketelitian. Satu persatu Arumi melihat data dan tanggal. Harus konsentrasi, bulan dan tanggal jangan sampai kebalik.

"Arumi itu suara apa?" tanya Eric menatap Arumi yang tengah menata berkas-berkas.

Arumi menghentikan pekerjaan tambahannya. Dia mendengarkan dengan seksama suara dari samping ruangannya. Pintu kamar tidak tertutup, jadi bisa terdengar suara dari luar.

"Oh, itu suara anak-anak pak." Arumi melanjutkan mengurutkan berkas di meja.

"Arumi," panggilan Eric menyadarkan Arumi akan sesuatu.

Anak-anak seharusnya sudah tertidur. Kenapa ada suara anak-anak tertawa cekikikan. Sangat sulit menelan air ludahnya sendiri. Arumi mematung.

"Itu bukan suara hantu-kan, Arumi. Saya tidak suka hal yang berbau mistis. Tolong kamu cek kamar sebelah."

Jelas bukan pak. Itu suaranya sangat familiar. Suara tawa Naya, Talita, dan Raka. Makanya, kalau mau ambil kesuksesan jangan lewat kemenyan dan bertapa di gunung. Banyak nyamuk, digigit nyamuk DBD baru tahu rasa. Masuk rumah sakit, keluar uang bisa rugi dua kali lipat.

Arumi berlari menuju kamar anak-anak. Dia membuka knop pintu. Dia sengaja membuka pintu dengan suara sepelan mungkin.

"Mama," seru Naya ketika melihat keberadaan Arumi di depan pintu.

Wajah mereka bertiga penuh bedak bayi tabur. Permainan apa yang mereka lakukan sampai cemong bedak semua.

"Kalian bohongi, mama?" Arumi curiga.

Sepandai-pandainya tupai melompat dia akan terjatuh. Sepandai-pandainya anak-anak berbohong akan ketahuan juga.

"Sudah jam setengah sepuluh. Besok kalian sekolah. Ayo cuci muka dan tidur." Melihat sifat asli anak majikannya membuat Arumi sedikit frustasi. Ah, dia lupa kalau anaknya juga ikut bermain di sana.

"Kami belum ngantuk, sus." Wajah Raka sama cemongnya.

Arumi tambah stres lagi ketika melihat bedak bertaburan di atas kasur Talita. Sepertinya, bedak di dalam botol tinggal beberapa gram saja.

"Tapi, ini jam kalian tidur." Sabar-sabar. Arumi harus sabar supaya gajinya tidak terpotong sia-sia akibat emosinya.

Arumi menggiring anak-anak mencuci muka di dalam kamar mandi. Pantesan, pengasuh anak-anak majikannya minggat sebelum masanya. Kelakuan anaknya bikin ngelus dada. Naya harus dipisahkan dari kedua anak itu sebelum terkontaminasi oleh virus nakalnya.

"Ada apa Arumi, kenapa mereka basah semua?" Eric hanya melihat anak-anaknya keluar dari kamar mandi. Di dalam kamar mandi pun, masih sempat-sempatnya mereka bermain air, meskipun Arumi sudah teriak berhenti.

"Di sini tidak ada CCTV, jadi percuma kalau saya cerita." Ketiga anak itu sudah terlilit handuk semua. Naya meminjam handuk milik Talita, tanpa Arumi izin terlebih dahulu. Dari pada anaknya sakit gara-gara kedinginan.

"Itu kenapa kasur Talita bedak semua?"

"Arumi, katanya tadi anak-anak sudah tidur semua."

Stres--frustasi deh Arumi. Kalaupun dia menjelaskan yang sesunggunhnya, majikannya itu belum tentu percaya.

"Ayah, ini bukan salah sus, kita yang nakal." Raka dengan gentle menghampiri ayahnya.

"Bonus kerja kamu saya batalkan Arumi. Kamu bekerja saat anak-anak belum tidur."

Ujung-ujungnya duit lagi, duit jadi persoalan dan ancaman. Kalau tahu begini, tadi Arumi menolak perintah bosnya.

"Tapi, pak."

"Talita biar tidur di kamar saya. Sudah malam, Ovi juga sudah istirahat."

Kamar itu akan dibiarkan kotor begitu saja. Raka masih bisa tidur di kasurnya sendiri, asalkan tidak ada yang mendekati tempat kejadian perkara supaya bedak tabur itu tidak berhamburan dan menyebabkan bersin-bersin.

Satu lagi drama sebelum tidur. Talita masih ingin Naya menemani tidurnya. Jelas Arumi tolaklah. Nanti bosnya tidur dimana? Memangnya dia rela membagi kasurnya dengan anak pengasuhnya.

"Turuti saja Arumi. Saya tidak suka anak saya nangis malam-malam."

Frustasyot deh Arumi ngadepin anak yang memiliki senjata nangis. Naya hanya mengikuti perintah temannya itu.

"Terus bapak tidur dimana?" tanya Arumi.

"Saya bisa tidur di sofa atau di bawah. Asalkan anak saya tidur dengan nyaman."

Ini pencitraan atau apa? Mana ada orang pelit mau berbagi.

"Oh iya Arumi. Lanjutkan pekerjaan kamu tadi."

Melihat Naya dan Talita sudah tidur pulas. Eric melanjutkan pekerjaannya yang masih menumpuk.

"Saya tidak mau, bonus saya yang tadi saja dibatalkan secara sepihak." Zaman sekarang tidak ada yang gratis. Tenaga harus dirupiahkan.

"Itu karena kesalahan kamu, Arumi."

"Itu karena anak pak bos yang nakal." Kalau anak-anak itu tidak berbohong bahwa dia belum tidur, sudah pasti uang itu akan tetap masuk ke dalam tagihan hutang Arumi, artinya dia bisa bebas dari kehidupan Eric secara cepat.

"Tadi, juga ada anak kamu di sana. Jadi, yang nakal bukan anak saya saja."

Tidak ada balasan apapun dari Arumi. Dia tidak melihat kronologi awalnya, jadi dia tidak bisa melihat siapa sebenarnya dalang di balik permainan paper rock yang berakhir cemong.

"Saya mau bantu, asalkan ada cuan." Arumi menyerah.

"Apa itu cuan Arumi?"

"Duit pak. Time is money. Bukannya orang seperti pak bos biasanya berprinsip seperti itu." Ternyata bosnya orang kudet, alias kurang update akan kosa kata.

"Itu benar Arumi. Tapi, bukankan menolong orang termasuk pahala?" balasnya. "kamu mau pilih pahala atau uang, Arumi."

Kenapa harus memilih? Kenapa tidak bisa dua-duanya saja supaya bisa membuat Arumi bahagia.

Terpopuler

Comments

SOO🍒

SOO🍒

dasar bos kedekut

2021-07-02

1

Lilik Lailatul Maghfirah

Lilik Lailatul Maghfirah

seru

2021-06-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!