Mas Duda

Tawaran yang Eric berikan sangat memberatkan Arumi. Seandainya prosedur menjual ginjal bisa dilakukan dalam beberapa menit, sudah dipastikan kalau Eric harus menunggu itu. Namun, sayang seribu kali sayang, Arumi harus menerima tawaran nomor dua. Dia bersedia menjadi pengasuh anak dari lelaki dihadapannya. Bekerja tanpa dibayar sampai hutangnya lunas.

"Naya bisa kamu bawa ke rumah saya saat kamu mengasuh anak saya." Sebuah keringanan dari Eric membuat hati Arumi berbinar.

"Kamu besok bisa mulai kerja," titahnya tanpa meminta persetujuan dengan Arumi.

"Tapi, pak." Belum sempat Arumi menjelaskan Eric sudah pergi terlebih dahulu tanpa menunggu alasan apapun dari Arumi.

Lana yang sedari tadi memperhatikan percakapan dua orang itu, kini berjalan mendekat ke arah Arumi setelah lelaki asing itu pergi. Dia penasaran apa yang dibahas oleh janda beranak satu dengan lelaki tampan itu.

"Ada urusan apa, mba?" tanya Lana yang tengah bergelayut dengan sapu lidinya.

"Kayanya, besok aku udah enggak kerja di sini." Arumi melakukan hal yang sama dengan rekan kerjanya yang sekaligus tetangganya.

"Kenapa? Mba dilamar sama orang itu, terus mba enggak boleh kerja di sini lagi?" Dugaan Lana sangatlah meleset.

"Huss! Ngawur kamu."

Lana jauh lebih muda dari Arumi. Perempuan itu baru lulus SMA dua tahun lalu dan langsung bekerja di sini.

"Barangkali kaya dinovel-novel, mba. Ada orang kaya yang mendadak ngelamar OB cantik kaya mba." Khayalannya begitu tinggi. Otaknya sudah tercuci oleh doktrin yang tidak akan pernah tercapai di dunia nyata.

Dilihat dari penampilannya saja, Eric sudah bisa ditebak bahwa dia orang tajir mlintir. Setelan jas yang harganya berjuta-juta dan kaca mata yang lebih mengkilat daripada rambut klimisnya.

"Terus, mba ada urusan apa sama manusia tadi?"

Daripada Arumi mendapat pertanyaan yang bertubi-tubi dari Lana. Akhirnya dia memilih menjelaskannya dari awal sampai kejadian tadi. Tentunya setelah mereka menyelesaikan pekerjaannya yang di halaman. Lana sudah tahu seluk beluk masalah Arumi dari mulai penyebab perceraian mereka.

Matahari sudah tenggelam. Arumi istirahat sebentar di ruang ganti menemui Naya yang sedang belajar menggambar.

"Terus mba kerja di sana cuma-cuma saja, tanpa dibayar?"

"itu, 25juta." Arumi membenarkan kunciran rambutnya.

"Maksudnya, uang jajan atau apalah. Naya kan juga butuh uang." Nah itu yang menjadi masalahnya.

Kalau Arumi kerja di Eric maka, tidak ada lagi uang yang mengalir di kantongnya. Naya butuh uang saku dan biaya sekolah. Kalau tenaganya didedikasikan hanya untuk Eric dari mana dia dapat memberi uang saku untuk anaknya.

"Aku juga enggak tahu. Kalau nanti benar-benar tidak dibayar. Kayanya ginjal aku harus dijual deh untuk menutupi biaya hidup."

Sepulang dari Rumah Sakit. Arumi harus menyelesaikan loundry-an milik pelanggannya. Dia harus menyelesaikan malam ini juga karena besok harus sudah bekerja di rumah Eric.

Tulang-tulangnya remuk redam pastinya. Ada beberapa setel pakaian yang harus disetrika. Kalau kalian melihat kualahan Arumi pasti akan muntah karena kekenyangan bekerja. Dia sudah menguap lebih dari sepuluh kali semenjak menyetrika dan melipat baju.

Pukul 02.00 WIB aktivitas Arumi baru selesai. Pakaian milik pelanggannya sudah siap dia antarkan besok dari rumah ke rumah. Saatnya tidur untuk merenggangkan tulang-tulang yang sedari tadi meronta ingin istirahat.

Cerai tidak cerai keadaannya sama saja. Bahagia hanya saat pacaran saja. Andai obat laknat itu tidak dicampurkan diminumannya, pasti keadaannya mungkin akan lebih baik. Arumi sangat menjaga kesuciannya. Namun, lingkaran pertemannya yang membuat dia hancur. Bukannya dia tidak menjaga diri dengan baik, tapi dia berusaha menghargai teman bagaimana bentuk dan kelakuannya. Dasarnya sudah apes. Arumi yang baik dijahati oleh temannya sendiri.

Pagi-pagi, Arumi sudah harus memasak untuk sarapan Naya. Tubuhnya sudah tidak kenal letih. Dia mendandani Naya untuk pergi ke sekolah supaya terlihat rapih. Kuncir satu yang menjadi andalannya selalu terlihat rapih, meskipun nanti pulang-pulang rambutnya sedikit berantakan akibat tertiup angin dan berhimpitan di dalam angkot.

Di depan Arumi terdengar suara mobil yang terparkir saat Arumi sedang menyuapi Naya. Menunggu Naya mengunyah, perempuan itu mengintip di balik gorden jendelanya yang belum dia buka.

Tebakan di dalam hatinya benar. Pasti Eric yang datang. Apalagi kalau bukan menagih hutangnya.

"Assalamu'alaikum." Suara salam terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu rumahnya yang masih tertutup.

"Waalaikumussalam." Tanpa menunggu lama, Arumi langsung membukakan pintu karena dia memang tidak jauh dari pintu.

"Pagi," sapa Eric yang hanya dibalas senyum oleh Arumi. Basa-basi itu hanya pemilik orang berduit saja.

"Sesuai kesepakatan kita. Kamu bisa bekerja mulai hari ini."

"Beri saya waktu sampai anak-anak pulang sekolah. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Kesepakatan ini seolah Arumi yang megang kendali.

"Baik. Jangan cari alasan lagi setelah anak-anak pulang sekolah." Eric menarik kaca mata hitamnya ke atas kepalanya.

"Iya," balas Arumi singkat.

"Om baik." Naya baru lihat kedatangan Eric.

"Naya sudah siap sekolah?" tanya Eric berjongkok di depan Naya.

"Sudah om. Mama juga sudah siap antar Naya." Naya meraih tangan mamanya.

"Mulai hari ini, kamu akan berangkat sekolah sama Raka dan Talita. Ayo om antar." Eric meraih tangan mungil Naya.

Arumi hanya membuang napas pelan. Dia tidak perlu menolak permintaan calon bosnya. Dengan begitu dia bisa mengantarkan pakaian milik para tetangganya.

Eric mengantar kedua anaknya dan anak calon pengasuhnya. Kedatangan pagi ini, dia hanya ingin memastikan Arumi kalau dia tidak kabur.

Mereka sedang dalam perjalanan. Eric tidak menceritakan rencana tentang orangtua Naya yang akan bekerja menjadi pengasuhnya. Nantinya, dia akan memberitahu anaknya setelah anak-anak pulang sekolah.

"Jangan nakal ya." Satu persatu anaknya mencium punggung tangan Eric.

"Naya juga ya, jangan nakal." Naya hanya mengangguk.

Eric pergi setelah mengantar anak-anak ke sekolah. Hari ini tidak ada rapat pagi di kantor, jadi dia bisa bekerja dengan sedikit santai.

Rai sudah menunggu di depan kantor untuk menyambut bos besarnya. Dia membawa sebuah berita besar yang akan dia infokan ke bosnya.

"Pagi, pak." Beberapa karyawan yang melihat kedatangan Eric menyapa dan menunduk.

Mobilnya sudah ada yang memakirkan. Rai berjalan menyamai bos besarnya itu sampai menuju ke lift.

"Ada info dari suruhan pak bos kemarin. Cipta sudah ditangkap mereka."

Dari balik kaca mata hitamnya, Eric melirik beberapa karyawan yang satu lift dengannya.

"Lapornya jangan kenceng-kenceng. Nanti saya dikira bos kriminal," bisik Eric sepelan mungkin supaya karyawan lain tidak ada yang mendengar kecuali Rai.

"Maaf, pak." Rai merutuki kesalahannya.

Tring!

Pintu lift terbuka tepat di lantai 71 tempat Eric bekerja. Tidak ada yang berani membuka pintu lift jika ada Eric di dalamnya sampai bos besarnya sampai pada tujuan akhirnya.

"Lain kali jangan omongin masalah luar kantor di depan karyawan." Eric berjalan menuju ke ruangannya.

"Iya, pak maaf." Eric berhenti di depan mejanya yang berada di kawasan ruangan Eric. Ruangan asisten pribadinya hanya dibatasi kaca besar untuk mengawasi kerja asisten sekaligus sekretarisnya itu.

"Bawa Cipta ke pusat gudang," titah Eric sebelum meninggalkan Rai.

Pusat gudang GIANT Company terletak disalah satu pinggiran kota ini yang jarang dijamah manusia. Di sana sepi, hanya ada beberapa penjaga yang ditugaskan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!