Mas Duda

Pelajaran matimatian (matematika) memang melelahkan. Naya yang tergolong murid pintarpun harus putar otak untuk mengetahui jawaban soal cerita. Naya bisa diajari dalam sekali ajar saja, selebihnya dia bisa mengerti sendiri nantinya.

Soal; Pak Bambang membeli 10 kotak pensil. Setiap kotak berisi 10 pensil. Berapa jumlah seluruh pensil yang dibeli pak Bambang?

"Apa pak Bambang tidak mengeluarkan banyak uang, sus?" Sifat perhitungannya mengalir ke Raka yang notabennya masih kecil.

"Pak Bambang orang kaya. Jadi, tidak memikirkan hal itu."

"Tetap saja, kita harus hemat sus." Hemat boleh, pelit jangan. Apalagi perhitungan macam bapaknya.

"Itu hanya soal cerita Raka." Naya yang geram menyelematkan mamanya yang terjebak di dalam labirin perdebatan anak majikannya.

Selebihnya, Arumi hanya mengawasi mereka belajar. Dia hanya akan menjawab pertanyaan dari anak-anak jika mereka merasakan kesulitan dalam menjawab tugas untuk besok. Sebelum mereka belajar, mereka sudah makan malam terlebih dahulu supaya dapat mencerna pelajaran dengan mudah. Nantinya otak akan berperang dengan pelajaran saja, tidak berperang dengan perut juga.

Sudah hampir pukul 19.55 WIB Eric belum pulang pulang juga. Makanan yang disiapkan mba Ovi sudah mulai dingin. Jam kepulangan Eric memang tidak menentu, kadang sore, kadang malam.

Tepat pukul delapan malam. Arumi membereskan peralatan sekolah anak-anak. Dia menggiring anak-anak ke kamar untuk tidur. Naya sudah kembali ke kamarnya bersama mba Ovi, dia yang menemani malamnya kali ini sebelum Arumi kembali ke kamar. Tidak seperti anak-anak pada umumnya, Raka malahan enggan dibacakan dongeng ketika menjelang tidurnya.

"Raka enggak bisa tidur sus, kalau ada suara." Dia adalah manusia terealistis.

Matikan lampu kamar dan ganti dengan lampu tidur. Dia lebih menyukai ketenangan. Hal itu, berimbas ke Talita. Dia tidak bisa mendengar dongeng Putri Salju, Ande-ande lumut, dan dongeng nusantara lainnya. Mereka masih satu ruangan, jadi kalau Arumi membacakan dongeng untuk Talita maka akan terdengar juga oleh Raka. Kalaupun, Talita ingin mendengar dongeng, bisa dipastikan sepelan apa pengasuhnya membacakan dongeng untuk anak itu.

Arumi mengamati anak-anak satu persatu. Dia hanya ingin memastikan anak asuhnya itu sudah benar-benar tidur. Dia tidak ingin kecolongan lagi. Hembusan napas teratur bisa didengar Arumi dari keduanya. Anak-anak sudah tidur, saatnya perempuan itu kembali ke kamarnya.

Kamar Arumi berada di bagian belakang. Dia harus melewati ruang makan untuk kembali ke kamarnya. Suara dentingan piring menarik perhatian Arumi. Dia sedikit melajukan langkahnya untuk melihat siapa yang makan di ruang makan.

"Pak bos," ujar Arumi lirih dan menghentikan langkahnya.

Tidak ada suara mobil dan pintu terbuka, tapi kenapa bosnya tiba-tiba sudah berada di sini? Dia jelmaan atau gimana?

"Anak-anak sudah tidur, Arumi?"

"Sudah pak." Arumi akan beranjak, tetapi dicegah oleh Eric.

"Arumi. Bisa pijat saya? Gara-gara semalam saya tidur beralas selimut, badan saya rasanya remuk semua." Eric memijat tengkuknya sendiri.

"Ada cuannya tidak pak?" Jam kerjanya sudah berakhir. Tenaganya tidak boleh terbuang sia-sia di tangan bosnya.

"Tentu," balasnya. "Tapi, saya mandi dulu. Lima belas menit lagi ke kamar saya."

Kali ini, Eric terlihat benar-benar kelelahan. Orang yang tidak terbiasa tidur di lantai akan merasakan hal seperti itu. Ditambah Eric yang bekerja seharian dan hanya beristirahat sebentar.

Arumi membereskan meja makan. Pekerjaan ini mudah, jadi tidak perlu memanggil mba Ovi untuk membereskan meja. Dia bisa sendiri. Hati Arumi lega melihat Naya sudah tidur lelap di samping mba Ovi yang juga sudah tidur karena kelelahan setelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Arumi bisa tidur di lantai kalau mba Ovi tidak bangun sampai pagi. Rasanya tidak enak kalau membangunkan tidur orang yang kelelahan.

^^^Arumi, bisa ke kamar saya sekarang.^^^

^^^_Eric Andreas^^^

Setelah membaca pesan singkat dari bosnya, Arumi bergegas menuju kamar bosnya yang sudah terbuka lebar. Ada rasa canggung karena hanya mereka berdua di dalam ruangan itu, belum lagi malam sudah tiba.

"Permisi, pak." Arumi mengetuk pintu kecil untuk izin masuk.

"Masuk saja," sahut Eric yang sudah tengkurap dan bermain gawainya di atas selimut tebal yang dia tata di atas lantai. Di sana juga sudah ada minyak kayu putih di samping selimut.

"Punggung saya sakit sekali Arumi."

Eric memberi lampu hijau untuk dipijat. Dengan ragu tangan Arumi memijat punggung bosnya. Eric terlihat nyaman dan keenakan ketika dipijat. Matanya juga terasa ngantuk ketika jemari Arumi memijat tubuhnya.

"Kamu hapal nomor rekening kamu, Arumi?" Di sela-sela matanya yang terpejam Eric masih ingat janjinya akan uang jajan dan uang memijat.

"Tidak pak. Tapi, di ponsel saya ada aplikasi m-banking."

"Ya sudah, mana ponsel kamu." Eric meminta ponsel Arumi.

Tentu saja dia membukakan aplikasi yang tadi dia maksud untuk mempermudah bosnya mencatat nomor rekeningnya. Arumi kembali memijat punggung Eric sembari menunggu gawainya kembali.

Samar-samar mata Arumi justru mengantuk. Dia menahan kantuknya supaya tidak tumbang di samping bosnya yang super julid nyelekit. Kalau dia ketahuan tidur saat mengejar bonusnya, bisa-bisa bonusnya langsung dimutasi secara sepihak seperti kemarin. Mata oh mata, ayo bekerja sama untuk memperkaya diri. Jangan menyusahkan wanita yang sedang memoroti harta dari mas duren sawit.

"Kamu cerai sejak kapan?" Tanpa ada intro terlebih dahulu, Eric langsung menembak pertanyaan seperti itu ke Arumi. Hilang sudah kantuknya.

"Sejak, Naya kecil. Laki-laki itu menyusahkan, kecuali bapak saya sendiri." Baginilah gambaran perempuan yang sudah malas diributkan dengan urusan laki-laki.

"Berarti saya termasuk orang menyusahkan buat kamu?" Eric menghadap ke belakang untuk memastikan jawaban pengasuh anaknya.

"Bisa jadi," jawab Arumi ambigu.

Mata tajam Eric menatap netra Arumi. Siap-siap potong gaji dan hal yang lebih menakutkan adalah potong leher. Ihhh serem!

"Kamu selalu memeras saya, kalau saya memerintah kamu. Jadi, di sini yang lebih menyusahkan siapa?" Kena lagi kena lagi. Memang dasar mulut kaku, mulut rawit tidak tertandingi.

Cuma di depan Eric UU tentang perempuan tidak berlaku. Perempuan tetap salah dihadapan Eric.

"Yang waras ngalah," celetuk Arumi untuk mengakhiri perdebatan tanpa faedah ini.

"Terus saya gila gitu." Eric menyadari omongan Arumi.

"Hati-hati, lidah kamu bisa memotong gaji sendiri." Ancaman Eric mampu membungkam Arumi sepenuhnya.

Perempuan itu kembali memijat Eric dengan kasar. Dia melampiaskan kekesalannya melalui pijatan. Berulang kali Eric mendengus kesakitan, tapi Arumi tetap menghiraukannya. Kalau saja Eric tidak merasakan pegal di tubuhnya, dia pasti tidak akan meminta pijat.

"Ini ponsel kamu. Saya sudah ngantuk, kamu bisa pergi dari kamar ini." Andai kalimat epilog itu diucapkan sejak tadi.

Dengan senang hati Arumi meninggalkan bosnya itu. Kudu super sabar menghadapi bos yang masuk kategori dalam ujian hidupnya. Semakin banyak bonus yang didapat, semakin cepat Arumi pergi dari rumah ini.

Terpopuler

Comments

HARTIN MARLIN

HARTIN MARLIN

ngakak abis 😀😀😂😂🤣🤣

2023-03-16

0

Asfar

Asfar

aku senyum2 dr tadi

2022-01-24

0

Aqu Ajaah

Aqu Ajaah

ketawa trus tpi di thn...smpe di mrhin suami😁😁😁😁

2021-09-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!