"Jika dia benar-benar tidak terbukti bersalah, maka kami akan membebaskannya." Jun menjawab pertanyaan Ren tanpa keraguan.
"Oh, ya?" Ren kembali mengangkat sudut alisnya. "Tapi ... bagaimana jika orang itu telah meninggal sebelum kalian mengetahui dia tidak bersalah?"
"Kami akan membersihkan nama baiknya."
"Bagaimana kalian bisa mengembalikan waktu yang telah terbuang untuk keluarganya dan nyawa yang telah lenyap?" Kali ini nada suara Ren sedikit meninggi.
Jun membisu sesaat, matanya memandang lekat bola mata Ren yang tampak memancarkan tombak api.
"Apakah ... ada kejadian seperti itu?" tanya Jun dengan raut serius.
"Ada."
"Di mana? Apakah masih di sekitar Tokyo?"
Mata Ren menatap tajam ke arah Jun yang juga menatapnya. Sunggingan tipis muncul di sudut bibirnya.
"Di novel yang kubaca." Ren melebarkan senyumnya hingga menunjukkan deretan giginya yang berbaris rapi.
Jun tersedak sambil tertawa. "Aku sudah sangat serius, ternyata hanya dalam novel!"
Ren ikut tertawa. "Wajahmu sangat tegang!"
"Aku memang seperti ini, untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaanku. Jangan sungkan menghubungiku jika kau butuh sesuatu," tawar Jun ramah.
"Sankyu," ucap Ren sambil mengarahkan pandangannya ke arah Sachi.
Sachi memerhatikan dua pria yang tengah mengobrol. Dia hanya bisa menyimak sambil menghabiskan makanannya. Sepertinya, Ren dan kakaknya mempunyai karakter yang sama, itu terlihat dari obrolan mereka.
Setelah selesai makan, Ren pamit pulang. Dia berjalan keluar dari rumah Jun menuju rumahnya. Tepat beberapa langkah meninggalkan rumah Jun, dia berhenti sejenak kemudian menengok ke belakang dan menyipitkan matanya yang dingin. Senyum elegan terpatri di wajah pria itu, tetapi senyum ini sebenarnya sungguh sangat berbahaya.
Setelah kembali ke kediamannya, ponsel Ren berbunyi. Ia menatap layar panggilan yang tertulis nama Emi. Ketika ia menerima panggilan telepon, suara tangisan pilu wanita menyambar telinganya.
"Ada apa?" tanya Ren begitu mendengar Isak tangis Emi.
Tak ada jawaban. Hanya terdengar suara tangisan yang tertahan. Namun, Ren seakan tahu apa yang terjadi pada gadis itu. Ren memejamkan matanya dalam-dalam, lalu bertanya dengan nada lirih.
"Apakah ada yang merenggutimu lagi?"
Lagi-lagi Emi tak menjawab. Namun, suara tangisannya makin besar hingga membentuk sebuah raungan yang menyakitkan. Untuk sesaat, Ren hanya membisu. Ia membiarkan gadis itu mengeluarkan seluruh amarahnya lewat tangisan. Meskipun sejujurnya hatinya turut ikut sedih mendengarnya.
"Apakah saranku waktu itu telah kau pertimbangkan?" Ren bertanya setelah terdiam cukup lama.
Emi terdiam. Tangisnya mulai mereda. Meskipun begitu, dia belum mengeluarkan satu kata pun.
Ren mengukir senyum tipis. "Sudah kukatakan, manusia seperti itu hanya sampah! Sampai kapan kau akan menerima nasibmu diperlakukan seperti itu?"
"Aku takut," jawab Emi pelan.
"Jangan takut. Biarkan aku yang membereskannya." Pada saat mengatakan itu, ada kilatan berbahaya di mata indah Ren. Wajahnya menjadi dingin, dan senyum samar kembali terpatri di bibirnya yang sensual.
"Besok lusa, aku akan ikut bersamanya di pesta salah satu artis yang akan diselenggarakan di kapal pesiar," ujar Emi terbata-bata di sela-sela tangisnya yang mulai mereda.
"Kapal pesiar?" Ren memicingkan mata, lalu tersenyum elegan. "Jangan takut, aku akan ada di sana juga."
"Benarkah? Kau akan menyelamatkanku?"
"Ya. Aku berjanji akan menyelamatkanmu hari itu dan ... selamanya."
Setelah Emi cukup tenang, mereka mengakhiri pembicaraan di telepon. Ren berjalan menuju dapur, mengambil sekaleng bir. Dia membuka tutup kaleng, dan mulai menyesap perlahan. Menatap jam dinding, waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, sudah waktunya dia untuk bekerja. Semakin larut, akan semakin banyak pelanggan datang dan membutuhkan jasanya.
Ren membuka bajunya dan melempar ke sembarang tempat. Dia berjalan menuju kamar mandi, menyalakan shower dan membiarkan titik-titik air itu membasahi tubuhnya. Guyuran air shower itu sangat menyenangkan dan membuat otaknya kembali segar. Dia mulai membasahi seluruh tubuhnya dengan sabun. Namun, bayangan tangisan memilukan dari Emi yang baru saja dia dengar, hadir kembali di ingatannya.
Ren berhenti bergerak. Dia terdiam dalam waktu cukup lama. Mata kelamnya menatap ke arah cermin yang berhadapan langsung dengannya. Bayangan wajah tampannya dengan tubuh atletis yang terbungkus busa terpantul di cermin itu. Namun, di penglihatan Ren, bayangan itu tidak ada. Dia tak dapat melihat apapun. Hanya sebuah bayangan hitam gelap yang ada di cermin tersebut.
Kilas balik kejadian delapan tahun yang lalu kembali terlintas di benaknya. Suara langkah kaki dari para polisi, suara para wartawan dengan rentetan pertanyaan, suara tangisan seorang wanita sekaligus ibu, suara anak remaja yang menangis memanggil nama ayahnya, suara cemoohan siswa-siswi. Itu semua sedang berlangsung dalam ingatannya. Bahkan bak adegan film yang menceritakan kisah awal sampai akhir. Semua ingatan itu terekam rapi dalam otaknya, tanpa satu adegan pun yang tertinggal.
Otaknya masih terus memutar penggalan-penggalan masa lalu yang begitu kelam. Ada sebuah Rumah Sakit jiwa, ada banyak darah, ada raungan tangis, ada tempat pemakaman. Sepi. Tersudut. Penuh kesedihan.
Hitam. Semuanya menjadi gelap. Suram. Tak ada cahaya sama sekali. Ya, sejak peristiwa itu, dia tak menemukan setitik cahaya dalam hidupnya. Dia tak bisa membedakan malam dan pagi. Tak bisa membedakan banyak warna. Baginya, hanya ada satu warna, yaitu hitam. Di matanya, dunia ini penuh kegelapan. Semua manusia sama, hanya pura-pura bersembunyi dalam topeng kebaikan. Sebab itu, dia memilih melintasi jalan yang berbeda dari pilihan manusia pada umumnya.
Kejahatan harus dibalas dengan kejahatan. Dunia tidak akan pernah bisa adil. Orang lemah akan selalu tersudut jika hanya berdiam diri. Orang baik akan selalu menjadi korban keculasan orang jahat. Paradigma itu yang tertanam di otaknya selama bertahun-tahun.
Ren Nakajima. Pria dengan IQ 195 atau dikategorikan jenius. Mempunyai daya ingat kuat bukanlah suatu anugerah baginya, melainkan sebuah petaka. Bagaimana tidak? Ia tak dapat menghapus seluruh kenangan kelam di hidupnya. Setiap potongan-potongan kejadian suram akan sering terlintas di benaknya. Bak sebuah permen karet yang telah lama menempel dalam bangku, susah untuk dilepaskan. Akan terus menghantuinya kapanpun dan di manapun hingga melahirkan sebuah dendam.
Dendam itu seperti sebuah pedang yang terus diasah setiap hari. Dia menjadi pria yang ambisius, berhati dingin, dan jahat. Ketika usianya beranjak dewasa, dia terus menyimpan rasa kebencian dan sakit hati pada manusia. Ya, ada yang bilang rasa sakit hati yang amat dalam dapat mengubah sifat manusia, dari berhati malaikat menjadi sekejam iblis. Ren Nakajima telah membuktikannya!
Dia terlihat seperti memiliki dua kepribadian, padahal yang sebenarnya adalah dia pandai menyimpan karakter jahatnya pada setiap orang yang dikenalinya. Ya, orang-orang menganggapnya sosok yang ceria, ramah, mengasyikkan, dan humoris. Tanpa mereka tahu bahwa Ren adalah sosok yang kesepian dengan kesedihan yang amat tebal. Lebih menakutkan lagi, dia bisa menjadi iblis berbahaya.
.
.
.
.
catatan penulis :
Sangkyu : terima kasih, berasal dari bahasa Inggris "thank you". ini masuk dalam bahasa gaul anak2 Jepang.
tolong likenya yang seimbang dong. biar cepat naik viewersnya. yang belom like chapter di atas tolong dilike y, mumpung belom makan banyak chapter
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Yayu
merasa berdosa saya
2024-09-09
0
Hearty 💕
Dendam yang dibiarkan akan seperti gunung merapi
2024-08-09
0
Hearty 💕
Apa yang terjadi sebenarnya sampai Ren mau naikkan kasusnya kembali
2024-08-09
0