“Aduh,” pekik Suzy untuk keseratus kalinya dalam tiga menit terakhir.
Sudah lebih dari lima menit ketiga remaja itu merangkak berdesak-desakan di dalam terowongan. Tapi tidak ada tanda-tanda terowongan itu memiliki ujung atau jalan keluar.
Semakin dalam mereka bergerak, terowongan itu terasa semakin sempit.
Suzy terus-terusan terantuk ke bagian atas terowongan itu. Dan ia mulai kehilangan kesabarannya. “Aku sudah tak tahan lagi,” jeritnya seraya menjatuhkan dirinya di lantai terowongan itu.
Agustin yang berada di posisi paling depan serentak ikut berhenti dan berusaha memutar kepalanya untuk bisa melihat apa yang terjadi.
Sesaat Ais agak kebingungan, tapi kemudian ia pun berhenti bergerak dan mencoba untuk menyisi. “Kau ini kenapa, sih?” Ais bertanya seraya berusaha untuk duduk menyandarkan punggungnya ke dinding terowongan dengan kepala menekuk. Lalu memperhatikan Suzy yang sudah ambruk di belakangnya.
Suzy membenamkan wajahnya di atas kedua tangannya yang terlipat di lantai lembab yang belumut. Biasanya ia paling benci tempat berlumut seperti itu, tapi kali ini ia nyaris menciumnya. “Aku tak tahan merangkak-rangkak seperti bayi,” katanya lemas. Wajahnya masih menelungkup di atas kedua tangannya. Tapi jari telunjuknya bergerak-gerak ke arah Ais ketika menyebutkan kata “Bayi” di akhir kalimatnya.
Agustin menghela napas dan memutar-mutar bola matanya. “Kalian berdua saja yang seperti bayi,” gerutunya sebelum kembali bergerak meneruskan langkah.
“Dan kau mulai seperti ibuku!” Ais menyela.
“Diam kau, t.o.l.o.l!” Suzy berusaha mengangkat tubuhnya dan kembali merangkak.
“Dan sekarang kau seperti nenekku,” kata Ais ke arah Suzy.
Suzy berhenti merangkak ketika langkahnya sudah mencapai tempat Ais. “Apa kau bilang?” Ia melotot ke arah Ais.
Ais diam saja, masih duduk menekuk di depan Suzy. Wajahnya tampak seperti ingin menangis.
Sementara Agustin sudah bergerak agak jauh di depan mereka. “Oh, ya Tuhan...” Ia mengeluh dan kembali berhenti. “Ok,” katanya agak berteriak. Kepalanya menoleh ke arah Ais dan Suzy, “Kau seperti bayi,” ia mengacung-acungkan lampu senternya ke arah Ais, “Dan kau seperti neneknya,” cahaya senternya sekarang diarahkan ke wajah Suzy, “Dan aku ibunya,” cahaya senternya berputar-putar, “Ini tim yang hebat, kan?” Agustin mulai tak sabar. “Sekarang apa yang bisa kita lakukan di sini? Meracik bumbu dan membuat ayunan?”
Ais dan Suzy diam saja, mulut keduanya terkatup dengan sikap konyol. Seperti dua balita yang tidak kebagian mainan di sekolah Taman Kanak-Kanak.
TEEEEEEEEEEEEEEEEEENG........!
Suara lonceng lagi, pikir Suzy. Ia membekap kedua telinganya dengan telapak tangannya.
Suara lonceng itu bergemuruh menggetarkan seluruh dinding terowongan.
Suzy benar-benar tak tahan, ia menutup matanya lekat-lekat. Suara lonceng yang membahana di dalam terowongan itu membuatnya pusing.
Saat ia membuka mata semuanya menjadi begitu gelap. Agustin pasti mematikan senternya, kata Suzy dalam hati. “Ada apa?” Suzy bertanya. “Kenapa kau matikan senternya?”
Hening.
“Agustin!”
Masih tak ada jawaban.
“Agustin, jangan main-main!” Suzy mulai berteriak.
Tapi ia hanya mendengar suaranya sendiri.
Kali ini pasti mereka berdua mengerjai aku, gerutunya.
Suzy merangkak lebih cepat tanpa mempedulikan arahnya. Tempat itu benar-benar gelap sekali.
Suzy bahkan tak tahu apakah ia bergerak lurus atau berbelok. Yang ia tahu, ia tidak bisa menemukan kawan-kawannya.
Akan kuhabisi kalian berdua, Suzy menggeram, dan merangkak semakin cepat. Bergerak membabi-buta sambil berteriak-teriak, “Agustin! Ais!” Seluruh tubuhnya bergetar menahan gemas. “GRRRRRR...” Dan, “DUG!” Kepalanya membentur sesuatu yang keras. Mungkin dinding batu atau apalah. Penglihatannya langsung berkunang-kunang, lalu berubah abu-abu, dan putih.
Suzy mengerjap-ngerjapkan matanya tapi pandangannya tetap saja berwarna putih. Warna putih yang menyilaukan.
Dan warna putih yang menyilaukan itu ternyata berasal dari sebuah lampu senter yang diarahkan tepat ke wajah Suzy.
“Singkirkan lampu senter itu dari wajahku!” Ia mengomel begitu menyadarinya. Pasti kerjaan Agustin, pikirnya sebal.
Suzy memejamkan mata seraya mengurut kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. Lalu berguling untuk kemudian menarik tubuhnya dari lantai.
Gadis itu duduk sebentar, memandang berkeliling mengamati ruangan tempat ia terjatuh. Ini pasti salah satu ruangan bawah tanah yang ada di Rumah Van Til. Suzy menyimpulkan.
Ruangan itu berukuran lumayan besar. Dindingnya yang terbuat dari beton telah usang dan berjamur. Lantainya agak basah dan berbau lembab. Kelihatannya ruangan itu sudah lama tak terpakai. Tidak ada apa-apa di dalam ruangan itu. Hanya ada tangga sempit yang tampaknya satu-satunya jalan keluar dari ruangan itu.
Tapi kalau tangga itu satu-satunya jalan keluar, lalu dari mana mereka masuk?
Suzy bertanya-tanya.
Gadis itu berdiri seraya mengedar pandang ke segala arah.
Agustin mengarahkan cahaya senternya ke wajah Suzy sekali lagi.
Dan hal itu tentu saja membuat Suzy kehabisan kesabaran. “Minta dihajar ya?” Suzy menggeram lagi.
Agustin diam saja, lalu mengalihkan cahaya senternya ke arah tangga.
Dia aneh sekali, pikir Suzy. Dan, “di mana Ais?” Suzy tersentak. Ais tidak ada di dalam ruangan itu.
Agustin menatap Suzy. Tampak bingung dan tak mengerti.
Suzy terkejut melihat reaksi Agustin, ia melangkah mundur menjauhi Agustin. Ini tidak mungkin, batin Suzy tak percaya. Dia bukan Agustin. Ia menyadari.
Diamatinya sosok pria itu dengan sikap gusar. Siapa dia?
Pria itu diam saja, hanya balas memandang Suzy dengan sikap tampak lebih bingung.
“Kau...” Suzy tergagap kehilangan kata-katanya.
“Apa kau baik-baik saja?” Pria itu terlihat cemas.
Suzy masih mengalami kesulitan untuk bicara. Mulutnya tak dapat digerakkan saat berusaha keras untuk bicara.
“Hei---kau tak jatuh cinta padaku, kan?” Pria itu bertanya dengan sikap konyol.
“Hah?” Suzy terkejut. “Apa kau bilang?”
“Ha-ha-ha-ha-ha...”
Suzy menghela napas. Dasar bodoh, katanya dalam hati. Memaki dirinya sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa sampai berpikir dia bukan Agustin?
“Aku bingung kenapa Ais menghilang begitu saja, harusnya Ais tepat di belakangku kan?” Agustin mulai berjalan menuju tangga.
Sementara Suzy masih berusaha menenangkan diri. Ia baru mengerti kenapa Agustin bersikap seperti tadi.
“Ayolah, kita harus mencari Ais!” Agustin menoleh ke arah Suzy yang tampak enggan untuk bergerak.
Suzy tak menjawab, ia juga bingung.
Ini sudah kedua kalinya mereka terpisah dengan cara yang tidak masuk akal.
Jangan-jangan Ais tersangkut sesuatu di dalam lorong.
Suzy jadi merinding lalu buru-buru menyusul Agustin tanpa memperhatikan langkahnya.
Begitu sampai di puncak tangga, Suzy kembali kehilangan Agustin.
Di puncak tangga itu ada dua buah pintu yang berseberangan. Keduanya tertutup rapat. Dan Agustin sudah tidak ada di ruangan itu. Pasti sudah masuk ke salah satu ruangan lain melalui pintu itu.
Tapi melalui pintu yang mana?
“Agustin!” Suzy coba memanggil.
Tidak ada jawaban.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Novi Nihil
Banten rasa Belanda 👍
2021-11-07
0
Luzifer Cetina
mengingatkan saya pada film horor barat zaman kanak-kanak
2021-11-07
0
Rosa Liliana
Hahahaha 😂
ngakak baca part awal bab ini 🤣
2021-08-11
0