"Diana.. dimana diaa.. Dianaaa !" Gilang terduduk di kursi dimana Diana duduk. Ya gadis itu pasti telah pergi, dia mendengar semua hinaan orang tuanya.
Giginya gemeletuk menahan airmatanya diantara matanya yang kian memerah, pucuk hidungnya pun telah mengeluarkan warna semburatnya.
"Sudahlah.. biarkan dia pergi.. lihat saja kelakuannya tidak sopan, pergi tanpa permisi.. itu tandanya dia tidak bermartabat" kata sang ibu yang tengah berada di ruang tamu.
"Wanita manapun tidak akan bertahan dengan hinaan keluarga kita Ibu, bahkan bila itu di posisi Ibu sendiri, pasti Ibu tidak akan bertahan" Gilang meneteskan airmatanya.
"Gilang! Kamu berani sekali pada Ibumu ini! sejak kapan kamu berani kurang ajar, rupanya gadis itu membawa dampak buruk bagimu" sang ibu tampak sedang menguasai emosinya.
"Cukup Ibu! Gilang sudah 32 tahun, jangan perlakukan Gilang seperti anak kecil, Gilang tau mana yang baik mana yang tidak" Gilang setengah berteriak kepada ibunya.
"Banyak gadis biasa yang mengincar kekayaan dan kehormatan, anak itu salah satunya" kata sang Ayah dengan aura kewibawaannya.
"Ayah hanya melihat dari kulitnya, tanpa Ayah tahu kedalaman hati seseorang, Diana wanita pekerja keras, seandainya Diana mengincar kekayaan dia akan mau menerima uang pemberian Gilang, dia membiayai hidupnya sendiri untuk kuliah walaupun hanya D1 dengan biayanya sendiri, sejak SMA dia sudah bekerja sambilan, Gilang mencintai Diana karena dia sosok yang kuat dan mempunyai ketulusan, kesabaran hati yang luar biasa, dia rela menderita demi orang lain" buliran jatuh di sudut mata Gilang.
"Begitu mendapatkanmu semua bisa berubah, wanita dari kalangan bawah kebanyakan mencari keuntungan dari kami kalangan atas" kata sang Ayah.
"Orang pandai menguliti orang lain namun tidak pandai menguliti dirinya sendiri" Gilang menatap nanar rintik hujan disana.
"Gilang!!" bentak sang Ibu.
"Wanita seperti itu bisa menukar kehormatannya demi uang dan kehidupan yang layak" kata sang Ibu lagi.
"Ibu tidak mengenalnya, bahkan Gilang belum pernah menyentuh gadis polos itu, dia menjaga kesuciannya bahkan dari Gilang sendiri" pungkas Gilang menahan amarahnya.
"Tetap saja kami tidak setuju, karena bukan berasal dari keluarga terpandang dan bukan dari darah biru, kami tidak bisa merestui kalian, terserah padamu Gilang" Sang Ibu mulai menangis.
"Gilang sudah dewasa, Gilang akan tetap menikahi Diana, Gilang tidak perlu wali untuk menikah!" Gilang akhirnya menaikkan nada suaranya.
"Gilaang!!!" Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
"Ayahh!! Apa Gilang masih terlalu muda untuk ditampar, Ayah melukai harga diri Gilang!! Apakah orang bermartabat seperti ini?! Inikah yang kalian banggakan dengan darah biru kalian!!" meluap sudah amarah Gilang saat itu juga.
"Gilangg!" Bentak ibunya dengan mengangkat tangan untuk menampar gilang.
"Ibuu!" sang Ayah berteriak mencegah sang Ibu menampar Gilang.
"Bu maafkan Gilang, tapi Gilang akan pergi, Gilang akan tetap menikahinya, tidak perduli Ayah atau Ibu akan menyetujuinya atau tidak, Gilang tidak bisa hidup tanpa Diana" Gilang bangkit berdiri dan berjalan ke arah kamarnya.
"Gilang! Jangan pergi nak" sang Ibu pun menangis berlarian menyusul Gilang ke kamar.
Gilang meraih dua koper lalu memasukkan sebagian pakaian dan dokumen penting ke dalam kopernya, sang Ibu menarik tangannya dan selalu ditepiskannya, Gilang terus berusaha mengosongkan lemarinya.
"Gilang.. Ibu mohon jangan pergi.. Satya.. tolong cegah anak kita, dia anak kita satu- satunya" Sang ibu memohon kepada Suaminya dengan tangisannya.
"Farida, biarkan anak itu pergi kalau itu memang kemauannya, jangan kau halangi" kata Satya.
"Ibu akan merestuiku atau memilih Gilang pergi" Gilang menggendong tas ranselnya dan menaikkan dua handle kopernya dan berdiri diambang pintu.
"Satya.. " sang Ibu terus terisak tidak mampu berkata apapun lagi.
"Baiklah Gilang anggap Ibu dan Ayah setuju dengan kepergian Gilang" derit suara roda koper berputar - putar lirih.
"Gilang, satu langkah kau keluar dari pintu itu, kamu bukan anak Ayah dan Ibu lagi" Ancam Satya dengan menunjuk pintu keluar.
Gilang menoleh dan melihat sang ibu masih terisak pilu.
"Gilang akan mengirim undangannya segera, Gilang tidak mengharap restu, barangkali Ayah dan Ibu bisa datang" Gilangpun berlalu pergi meninggalkan ibunya yang masih meraung pilu.
Ditengah rintik hujan, Gilang memasukkan koper dan ranselnya ke dalam bagasi mobilnya, lalu dia melajukan mobilnya keluar dari kediamannya.
Hatinya kian pilu mendengar tangisan ibunya yang kian samar ditelan hujan deras yang kian mengguyur jalan sore itu.
Flashback On
"Selamat siang Kak, apa boleh aku memberikan brosur ini? Akan ada bakti sosial di alun - alun kota hari minggu, nanti datang ya ke stand kami, ini brosurnya.. kami menjual pernak pernik hasil dari anak panti asuhan" Kata seorang anak perempuan remaja tanggung bersama teman temannya, dengan seragam baju SMA dan dengan tas ranselnya berisi brosur yang menghimpit punggungnya, dia berdiri disamping meja seorang wanita yang duduk menunggu pesanan di sebuah cafe.
Ya, gadis itu adalah Diana, senyum keceriaannya disertai semburat kesedihan dimatanya namun senyum masih terpancar di wajah ayunya dengan balutan topi golf yang menutupi sebagian rambut coklat tuanya.
"Aku akan datang, siapa namamu?" tanya wanita itu.
"Nama ku Diana kak" Diana mengulurkan tangannya dan wanita itu menyambut tangannya dengan kelembutan yang bersahabat.
"Panggil aku Kenanga, aku akan mengajak teman - teman kuliahku hari minggu" wanita itu tersenyum lembut.
"Terima kasih Kak, aku permisi dulu aku akan melanjutkan pekerjaanku" kata Diana membungkukkan badannya.
"Semangat ya Diana" kata wanita itu.
"Terima kasih, Kak" Diana undur diri dan berkeliling dari meja ke meja memberikan brosurnya.
Sampai di sebuah meja, Diana menyuruh teman- temannya yang maju.
"Suruh temanmu kesini, aku mau dia yang mengundangku" kata seorang pria yang tengah duduk menikmati kopinya.
Akhirnya teman - teman Diana berlalu dari hadapan pria itu dan memanggil Diana, di kejauhan Diana tampak berbisik - bisik dan Diana tampak pias dengan mengerucutkan bibirnya.
Namun demi bakti sosial panti asuhannya, Diana akhirnya melangkahkan kakinya dengan menggenggam brosur, pria itu melihatnya tanpa berkedip.
"Selamat siang Pak" sapa Diana dengan senyum canggungnya.
"Jangan panggil Pak" kata Pria itu.
"ehm Om" kata Diana.
"Apa aku terlihat tua?" kata Pria itu lagi.
"Bang" kata Diana lagi.
"Aku bukan pedagang keliling" Pria itu mengernyitkan kedua alisnya.
"Kak"
"Cck, kurang pas" Pria itu menggelengkan kepalanya.
"Mas"
"Lumayan, itu pas" Pria itu mengangguk tanda setuju.
"Ehmm Mas, saya mau memberikan brosur, kunjungi booth kami hari minggu di...."
"Di alun - alun kota kan" Pria itu memotong penuturan Diana.
"Kenapa kau menyuruh temanmu, bukan kamu sendiri yang menemuiku" kata pria itu.
"Maaf Mas, kami membagi tugas saja" kata Diana.
"Kamu sudah punya pacar?" tanya pria itu.
"Ehm.. kami dilarang pacaran saat sekolah Mas" kata Diana.
"Kamu kelas berapa?" tanya Pria itu menebarkan keteduhan matanya.
"Kelas tiga mas, tiga bulan lagi kami ujian" jawab Diana.
"Setelah itu kamu boleh berpacaran?" tanya Pria itu lagi.
"Iya Mas" jawab Diana singkat.
"Baiklah, kau akan jadi pacarku setelah kamu lulus" senyum Pria itu dengan tatapan mengunus.
"Eh..ehm.. tapi Mas.." hati Diana berdebar gugup.
"Kamu tidak menyukai ku?" tanya Pria itu mengunci mulut Diana.
"Ehmm.. "
"Aku kurang tampan?" tanyanya Lagi.
"Ta..tampan sekali Mas, tapi tolong jangan menggoda saya Mas" jawab Diana terlihat pias.
"Aku serius, aku jatuh cinta padamu" kata Pria itu yang terus menikmati kegugupan Diana.
"I-itu tidak mungkin Mas, saya tidak tertarik dengan candaan anda Mas, saya permisi dulu.. saya akan melanjutkan pekerjaan saya Mas.. Permisi" Diana buru buru berpamitan.
"Kau tidak ingin makan? Ajak saja teman - teman kamu makan disini.." kata Pria itu
"Terima kasih Mas, kami membawa bekal" kata Diana.
"Ayolah pacarku.. kita makan siang bersama" kata Pria itu lagi membuat Diana semakin gugup.
"Siapa namamu" Pria itu mengulurkan tangannya dan di sambut dengan hangat oleh Diana.
"Diana"
"Panggil aku, Gilang" Senyuman pria yang menyebut dirinya Gilang itu menebarkan senyuman penuh cinta hari itu dan membuat hati Diana berdebar kencang.
Dan setelah 3 bulan berlalu, Gilang berdiri di depan gerbang sekolah Diana, dengan sebuah buket bunga mawar merah ditangannya. Merentangkan tangannya dan Diana berhamburan ke pelukan Gilang.
Flashback On
Diana sayangku.. dimana dirimu? angkatlah telponmu. Gilang terus mencoba menelpon Diana entah keberapa kali.
-
-
Bila kamu menyukai Novel ini, Jangan Lupa Dukungan Vote, Like, Komen, Koin, Poin dan Rate bintangkuu yaa Reader Tersayang. 😘😘🥰🥰💕💐
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 199 Episodes
Comments
❤pitriani🐈⬛
ihhh manis x Gilang😍😍😍
2023-10-30
0
Nazzalla Kinan
kadang2 org tua bsrsifat egois, tdk semua yg tdk disertui brrti jelek walaupun restu jg sangat prnting, semangaat dianaaa
2023-03-18
1
mama AL
satu episode brtambah umur nya
2022-10-04
1