Rein menangkisnya dengan segenap tenaga. Dia tidak ingin terbunuh di sini oleh seekor monster yang biasa dikenal sebagai ogre.
Perbedaan pada kekuatan antara Rein dan monster tersebut menjadi penghalang terbesar dalam pertarungan ini, tetapi Rein yang sama sekali tidak ingin menyerah memilih untuk memutar otak.
Dia menyadari bahwa tempat dia menapaki kaki saat ini ternyata memiliki beberapa pasir yang dapat digunakan untuk membutakan mata lawannya. Dengan begini dia bertaruh pada segala kemungkinan yang ada.
Rein menyapu debu di kakinya, kemudian menendangnya ke atas. Dalam percobaan pertama dia berhasil, memang mengalihkan perhatian lawannya dan bodohnya dia juga terkena.
Rein tidak ingin kalah dalam posisi yang sama seperti ini. Dia menguatkan instingnya untuk mengetahui posisi dari lawan selama menutup mata, mengayunkan pedang secara horizontal, dia merasakan daging yang tersayat pada pedangnya.
Suara sebuah benda yang terjatuh menjadi pusat pendengaran Rein. Secara perlahan penglihatannya kembali meskipun masih terasa sakit dan sulit untuk dibuka.
Monster yang dia lawan tumbang. Kepalanya terpisah dari badannya. Rein sama sekali tidak percaya jika dia melakukan hal ini. Lantas darah segar dengan cepat mengalir deras dari dalamnya.
Nafasnya memburu, Rein tidak pernah merasa setegang ini. Terakhir kali adalah saat dikepung oleh kawanan serigala. Dia mengatur nafas, terduduk di tanah.
“Kau sungguh lemah, bahkan hanya untuk mengalahkan seekor ogre saja tidak mampu!” ejek Pasitheia.
Rein tidak mempedulikannya lagi. Dia sudah berusaha keras untuk bertahan hidup dan melindungi orang yang menghinanya itu, faktanya dia sudah terbiasa dengan sikap Pasitheia.
Berpikir untuk memarahinya, pikiran Rein berputar pada mayat ogre tersebut. Sebuah batu sihir yang sama seperti yang ia temukan sebelumnya muncul keluar dari dalam dadanya.
‘Jadi memang benar jika monster memiliki batu sihir pada tubuh mereka? Mungkin aku dapat menjualnya di desa itu.’ Rein mengambilnya, kemudian dia melangkahkan kaki untuk pergi dari sana. Sebuah bangkai mungkin akan menarik perhatian monster yang lebih mengerikan lagi.
“Rein! Tunggu aku!”
Meskipun Pasitheia berteriak sekalipun, Rein sama sekali tidak mempedulikannya. Dia lebih fokus pada warna pada batu sihir yang dia dapatkan.
Pada awalnya, batu sihir pertama yang dia dapatkan memiliki warna merah delima. Itu dia temukan saat sedang menggali beberapa waktu lalu. Sedangkan untuk kristal sihir dari goblin dan serigala, serta monster yang dia temukan barusan memiliki warna hijau cerah.
“Mungkinkah ada arti dibalik warna ini?” gumam Rein. Dia sudah tidak sabar lagi untuk datang ke desa tersebut dan mendapatkan jawaban dari pertanyaannya ini.
Rein menolehkan wajahnya ke belakang, melihat Pasitheia yang sudah kelelahan dan berulang kali meneriaki namanya.
Rein sebenarnya tidak merasa kelelahan, tetapi rasa sakit yang dia terima masih terasa. Berpikir untuk mengobatinya, Rein setuju untuk beristirahat sebentar.
“Kita beristirahat di sini dulu,” ucap Rein.
Pasitheia terbujur lemas dengan tubuh yang melekat di pohon. Dia benar-benar kelelahan, padahal baru 1 jam mereka memulai perjalanan, termasuk saat melawan monster tadi.
Rein memilih untuk segera mengobati lukanya. Dia membuka pakaiannya yang dari awal memang sudah rusak dan tak layak pakai.
Luka yang dia alami ternyata tidak separah apa yang dia pikirkan, tetapi karena dia berhadapan dengan paku berkarat, Rein memilih untuk memberikan perawatan lebih.
Dia tidak boleh lengah hanya karena luka yang dia terima tidak begitu dalam dan parah. Dia yang tidak mengenal dengan jelas dunia bernama Aexaria, ini sudah cukup untuk menjadi alasan dari kewaspadaannya.
Dia mengambil tanaman binahong yang sudah disiapkan sebelumnya. Sudah digiling halus untuk langsung diaplikasikan pada luka. Memolesnya pada bagian tubuh yang terluka.
Rein kembali teringat pada kejadian di saat dia terjatuh dari ketinggian. Dia masih terkejut jika tanaman ini dapat menyembuhkan semua luka berat dan ringan hanya dalam satu malam saja.
Dia bersyukur, tetapi untuk siapa rasa syukur ini? Rein bukan seseorang yang mempercayai tuhan.
“Rein, berikan aku minuman ....” Pasitheia menadahkan tangannya pada Rein yang sibuk termenung. Memecahkan lamunannya.
Rein menolehkan wajah, kemudian menggelengkan kepala.
“Kamu sudah menghabisinya beberapa waktu lalu. Kita sudah tidak ada cadangan air. Jika memang haus ....”
“Aku ingin air!”
Rein mencoba untuk tenang. Dia berdiri dan menyerahkan tangan untuk membantunya berdiri.
“Kita akan mencari sumber air dan aku akan memanaskannya untukmu.”
Pasitheia merasa kesal untuk menerima uluran tangan Rein, tetapi dia memang sudah menghabiskan seluruh minuman mereka. Mau tidak mau, dia menerimanya.
Rein memanfaatkan kondisi ini untuk terus melangkah maju ke arah selatan agar keluar dari hutan ini. Dia mengerti jika Pasitheia kehausan, dia pun merasakan hal yang sama.
Rein hanya dapat berharap jika di dalam perjalanan mereka menemukan sumber mata air. Setidaknya air genangan yang terlihat bersih dan memungkinkan untuk diminum.
“Hei, Rein ... di mana sumber airnya? Aku sudah benar-benar kehausan.”
Rein tidak membalas perkataan Pasitheia. Dia terus berjalan dan membabat habis semak belukar yang menghalangi jalannya yang secara perlahan kembali bermunculan di antara pohon-pohon raksasa. Jika mereka tersesat, maka apa boleh buat, Rein akan kembali memulainya dari awal.
Sebelum Rein memutuskan untuk keluar dari hutan ini, dia sudah memutuskan untuk menerima segala kemungkinan yang ada, dari yang baik hingga terburuk. Tidak peduli itu.
Begitu Rein sibuk menebas, dia mendengar suara aliran air. Berasal dari samping kanannya, dia berniat untuk memberitahukannya kepada Pasitheia.
“Di sebelah kanan kita sepertinya ada sumber air,” ucap Rein, dia menunjuk ke arah sana.
Raut wajah Pasitheia berubah senang. Dia sudah sangat-sangat kehausan, kemudian berlari sekencang mungkin untuk meminumnya langsung.
“Tetapi jangan minum mentah ....”
Pasitheia sudah terlebih dahulu lari dan sepertinya tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Rein. Berpikir seperti itu, Rein memilih untuk mengejarnya.
Rein cukup terkejut jika Pasitheia lebih memilih untuk menerobos semak-semak daripada menunggunya. Ini dapat diartikan jika dia memang sudah benar-benar kehausan. Rein merasa bersalah karena membohonginya sebelumnya, tetapi apa boleh buat.
Ketika Rein keluar dari hutan dan sampai pada sungai, dia melihat Pasitheia yang sudah terlebih dahulu meminum air itu mentah-mentah. Lantas, Rein dikejutkan ketika mengetahui mereka berada di ketinggian dan air dari sungai ini mengalir turun ke bawah, menjadi sebuah air terjun.
Burung besar yang terbang melintasi angkasa menjadi pusat perhatiannya. Burung itu sangat mengagumkan dan terbang dengan elegan, ketenangannya dapat diakui dan bulu cantik berwarna merah sangat mengagumkan untuk dilihat. Apalagi bulu itu mengeluarkan api kecil yang menakjubkan.
“... jadi ini memang dunia lain.”
Rein mengagumi dunia ini. Entah bagaimana dia mulai bersyukur karena dapat di reinkarnasi di dunia ini dengan wujud tubuhnya yang lama.
Rein melamun. Dia terlalu takjub dengan dunia ini dan di sisi lain juga merasa takut. Banyak sekali monster-monster mengerikan yang belum pernah dia temukan, ini membuatnya khawatir.
Setelah Rein sadari, Pasitheia sudah selesai memenuhi dahaganya. Sedangkan Rein memutuskan untuk memberikan sedikit waktu dengan memasak air, perjalanan mereka masih jauh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Hatir
pasti sifat authornya mirip pasitheia , apa memang sama bukan mirip lagi. entahlah tapi pasti sama, dilihat dari authornya ngga risih nulis sifat pasitheia
2021-03-12
0
John Singgih
ah, dunia yang unik
2021-03-04
0
Noviant Juan
Sayangnya aku bukan Rein. Jika aku yang bersama dewi seperti Pasitheia, pastinya waktu hari pertama sudah ku bunuh dan jadikan sebagai makanan.
2020-12-14
6