Rein merebahkan tubuhnya pada dedaunan yang dia tumpuk menjadi satu, akan digunakan sebagai kasur darurat yang digunakan untuk dapat tidur dengan sedikit nyaman. Meskipun serangga yang akan membuat tubuhnya gatal memiliki kemungkinan untuk berada di sana.
Sedangkan untuk menghindari hipotermia, sebuah penyakit yang dapat memicu kematian, Rein berusaha sedikit lebih jauh dari air terjun dan menyelimuti dengan tanaman serta membuat api unggun di tanah yang kosong, sebuah tanah yang sudah digali beberapa centimeter ke dalam untuk menghindari dari merambatnya api pada pohon yang kering atau juga dedaunan.
Untung saja dia dapat menemukan sulur atau jarum pinus kering di sekitarnya dengan mudah, juga menghidupkan api dalam jangka waktu yang lama setelah menggosok berusaha begitu keras, sembari menahan sakit.
Menghembuskan nafas pelan, Rein merasa lega karena dia dapat bertahan hidup selama beberapa jam terakhir.
“Semoga saja tidak ada hewan buas yang datang ke tempatku. Tetapi jika ini memang benar dunia lain seperti pada novel-novel itu, apakah mungkin ada pula monster?”
Rein tidak dapat mengelak lagi dalam keadaan saat ini. Selain tidak memiliki cukup pengetahuan akan dunia ini, dia juga tidak memiliki seseorang yang dapat diandalkan.
Memainkan rantai kayu yang dibakarnya, Rein benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Perutnya mulai terasa lapar, tetapi untuk mencari makanan dalam keadaannya seperti ini sungguh berbahaya.
Bahkan sebelumnya Rein juga mencoba untuk membangun sebuah selter darurat, tetapi apa daya karena staminanya sudah terkuras habis. Dalam keadaan memeluk kaki, dia termenung.
“Aku dapat tenang jika dunia ini seperti bumi, di mana hewan akan menghindari cahaya terang. Tetapi jika tidak ....”
Berpikir demikian hanya membuat Rein mengantuk. Dia tidak punya waktu untuk putus asa, jadi secara perlahan menambahkan kayu pada api unggun sebelum terlelap tidur.
****
Pagi hari yang cerah sudah menghampiri, panas dari teriknya matahari yang perlahan menampakkan wajah dari arah timur perlahan menyinari tubuh Rein.
Remaja itu perlahan terbangun dari tidurnya, dia merasa sangat berbeda daripada sebelumnya, yang mana rasa sakit pada tubuhnya menghilang secara keseluruhan, tidak terasa lagi.
Tetapi sebelum menyadari itu, Rein masih terlelap dalam tidurnya. Dia bermimpi sedang memeluk bantal yang hangat, jadi dia semakin mendekatkan diri dan memeluk dengan kuat.
‘Empuknya ....’ batin Rein, dalam mimpi, tentunya.
Namun ini tidak sepenuhnya mimpi, rasa yang dia rasakan ketika menyentuh bantal itu begitu nyata. Hingga akhirnya dia sadar ketika seseorang dengan kuat menendang tubuhnya.
“Argh!” Rein merintih kesakitan, dia mengambil respons cepat dan beranggapan bahwa seekor monster ataupun hewan buas menyerang, dalam keadaan setengah sadar.
“Dasar manusia bodoh! Beraninya kau menodaiku, Dewi Pasitheia yang cantik dan terhormat ini?! Kau tahu apa hukuman untuk menyentuh seorang dewi dengan tangan kotormu itu? Aku pastikan untuk memberikan hukuman yang layak hingga kau tidak dapat dihidupkan kembali!” teriak Pasitheia kesal dengan raut wajah penuh emosi.
****
Beberapa waktu yang lalu, saat setelah mereka mendarat di dunia baru ini, Rein yang mendapatkan perlakuan kasar memutuskan untuk meninggalkan Pasitheia yang mengumpat kesal kepada Dewa Kematian sekaligus langit. Dia sama sekali tidak sadar bahwa Rein sudah menghilang dari sekitarnya.
“Hei Dewa Kematian, kembalikan aku ke sana! Aku tidak ingin tinggal di tempat kotor seperti ini!” murka Pasitheia, wajahnya memerah karena kesal, tetapi di satu sisi dia menahan tangis.
Tak ada jawaban yang diterimanya, membuat Pasitheia menghembuskan nafas kasar dan mengepalkan tangan dengan kuat.
“Kenapa aku bisa melupakannya? Tinggal membuka portal dan aku akan kembali ke sana, alam para dewa.”
Menjentikkan jari, sebuah portal dengan elemen cahaya muncul di hadapannya. Berjalan ke sana dan memasukinya, tetapi dia malah pergi ke sisi sebaliknya.
Merasa ada yang janggal, Pasitheia mencobanya kembali. Tetapi tidak ada yang terjadi. Dia tidak putus asa, terus melakukan hal yang sama hingga kakinya merasa enggan untuk bergerak.
“Kenapa? Kenapa bisa seperti ini?!" Pasitheia benar-benar kebingungan dengan situasinya saat ini. Dia tidak bisa berpikir dengan jelas, tentang apa rencananya yang harus dijalankan.
Namun, beberapa detik setelah itu, sebuah cahaya yang menyilaukan, memaparkan visualisasi dari orang yang dibencinya, Dewa Kematian, Thanatos, muncul tepat di hadapan Pasitheia.
“Kembalikan aku ke sana, Dewa Thanatos! Aku menyesal karena sudah membohongimu! Ini adalah sebuah penyesalan, jadi tolong maafkan aku, ya, ya?” Pasitheia memelas, memohon kasih sayang dengan sifat palsu yang dia pertunjukkan.
“Ehm, Dewi Pasitheia, aku sungguh menyesal untuk mengirimkanmu ke dunia itu ....”
“Kalau begitu, Anda seharusnya membawaku kembali ke sana, kan?” Wajah Pasitheia berseri, penuh harapan untuk dapat kembali ke tempatnya berasal, oleh karena itu juga dia menyela perkataan Dewa Thanatos.
“Sayang sekali, tetapi itu mustahil untuk dilakukan. Karena kau telah dikeluarkan dari alam para dewa, untuk dapat kembali, maka diperlukan untuk mengalahkan raja iblis. Jadi tolong bimbinglah remaja itu untuk ....”
Belum sempat untuk menyelesaikan kata-kata dan informasi penting lainnya, tetapi Pasitheia sudah terlebih dahulu melemparkan batu kepada gambar melayang itu. Membuat sihir yang digunakan oleh Dewa Thanatos harus rusak.
“... kau mempermainkanku, Dewa Thanatos, ingatlah bahwa aku pasti akan mengirim ribuan kucing ke dalam kamarmu setelah aku kembali ke sana!” ancam Pasitheia, dia berteriak dengan begitu kencang hingga suaranya bergema di hutan yang lebat itu.
Mengalihkan pandangan, Pasitheia mencari keberadaan Rein. Betapa terkejutnya dia ketika Rein tidak berada di sekitarnya, raut wajah berubah menjadi panik.
“Dia ... menghilang?”
Pasitheia benar-benar panik. Hanya Rein satu-satunya kunci untuk dia kembali ke tempat asalnya. Tetapi dengan menghilangnya keberadaan remaja itu, tentu dia menjadi semakin panik.
Berputar-putar di tempat dengan memikirkan keberadaan Rein, meletakkan tangan di atas kepala. Berpikir. Menundukkan wajah setelahnya dan mendapati sesuatu.
“Eh? Darah? Bagaimana bisa ini berada di sini?”
Dengan demikian, begitulah bagaimana Pasitheia dapat menemukan keberadaan Rein dan tidur di sampingnya dengan penjagaan yang lemah.
****
Dengan tangan yang dia angkat melebihi kepala, Pasitheia mengumpulkan energi sihir tepat di telapak tangannya. Di saat bersamaan, petir bergemuruh dan langit menghitam.
Sebuah energi sihir yang memiliki elemen suci membentuk sebuah bola, diikuti dengan aliran listrik yang mengelilinginya meskipun samar.
Melepaskan energi sihir itu ke arah Rein yang memasang kuda-kuda setelah mengetahui seseorang menyerangnya, tetapi dia masih belum dapat melihat siapa itu dengan jelas.
Bola berwarna kuning keemasan melayang dengan begitu cepat ke arah Rein, membuat remaja itu menyilangkan tangan di kepala untuk menahannya. Tetapi ... tidak ada yang terjadi.
Bola itu menghilang dari pandangan. Tidak terjadi apa pun kecuali angin yang berembus di wajah Rein dengan begitu pelan. Kini dia sudah dapat melihat dengan jelas, tentang siapa orang yang menyerangnya.
“Eh? Bagaimana bisa sihirku tidak mempan!?” Pasitheia bingung. Ini sama seperti saat dia mengaktifkan sihir portal.
Rein menelan ludah, meskipun dalam keadaan tidak sadar, serangan barusan dapat membunuhnya dengan cepat. Hingga pada waktunya, dia sadar akan apa yang dia lakukan.
“Ini salah paham! Maafkan aku!” mohon Rein cepat sebelum serangan selanjutnya diberikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
De'Ran7
sendiri yg ngelempar diri sendiri knapa malah nyalahin orang😂..siapa suruh tidur disitu saat orang lain kaga tau
2022-10-15
0
John Singgih
ada serangan gelap.
2021-03-02
0
eva purwita
pensrn lnjt
2020-12-23
0