Cukup menyenangkan untuk tahu dirinya mendapatkan pedang dari seekor monster yang dilawannya semalam. Rein sudah menghabiskan beberapa waktu untuk mengasah kembali pedang itu, sampai titik di mana dia akan dapat dengan mudah menebas rumput tanpa memerlukan tenaga yang besar.
Dengan begitu, semua pekerjaannya lebih terasa ringan dari sebelumnya.
Tersenyum, Rein duduk dengan melipat kaki sembari membakar ikan di atas perapian. Dia sudah berhasil membuat perangkap ikan, dengan menggunakan bantuan dari pedang tersebut.
Memastikan suhu api dan menjaga ikan agar tidak gosong, dilakukannya dengan sungguh-sungguh.
“Ini cukup mengejutkan bagiku untuk melihat seorang manusia rendahan sepertimu dapat melakukan banyak hal.” Pasitheia menjaga jarak dengan Rein, dia masih begitu ingat dengan kejadian beberapa waktu lalu.
Begitu pula dengan Rein yang merasa kapok untuk berdekatan dengannya. Malam itu, bagian bawah Rein terasa begitu sakit. Dia ingin menghilangkan ingatan buruk itu jika bisa dan rela mengorbankan makan siangnya.
Nada bicara yang angkuh dan merendahkan itu memang menyebalkan, namun Rein sepertinya sudah mulai terbiasa.
“Tidak lebih baik dari dewi yang tidak dapat memakai sihir dan bermalas-malasan.” Rein menanggapinya dengan senyuman jahat.
“Jahat! Kau menghinaku lagi!”
“Ah, apa kamu merasa tersindir karena aku mengatakan kata 'dewi' di dalamnya?” Rein menarik alis, tersenyum lebih lebar lagi.
“Hmph! Aku anggap bahwa itu adalah dewi yang lain, jangan salah paham!” Pasitheia memalingkan wajah dengan kesal, melipat tangan di depan dada.
Suara perut Pasitheia yang menuntut makanan terdengar begitu keras. Dia memaksa Rein untuk memberikannya makanan.
“Hei, Rein! Panggang yang cepat!” Pasitheia menggoyang-goyangkan tubuh Rein, memaksanya.
“Aku akan membesarkan apinya, tetapi dengan begitu ikan akan gosong dan bagian dalamnya tidak matang. Apa kau ingin memakannya?”
Rein menghembuskan nafas. Jika saja ikan panggang itu belum masak, dia pasti akan menanggapinya. Menarik dari api, Rein memberikannya pada wanita itu lengkap dengan kayu yang dijadikan pegangan.
Pasitheia merebut dengan segera setelah Rein menyodorkan ikan bakar yang ditusuk. Pasitheia dengan segera melahapnya, berakhir dengan dimuntahkan.
“Aw! Lidahku terbakar!”
“Terkadang kita harus sabar dalam melakukan beberapa hal agar tidak berdampak buruk, baik terhadap diri kita sendiri ataupun orang lain,” Rein menanggapi apa yang terjadi, berlagak bijak.
“Terserah padaku, dasar jelek!” Pasitheia menjulurkan lidah.
Rein sedikit tersenyum menghadap ke Pasitheia. Wanita itu memiliki wajah yang cantik, tetapi sikap yang buruk. Rein merasa bahwa dirinya dapat saja jatuh cinta dengannya jika sikap yang ditunjukkan adalah sikap yang berbanding terbalik dengan apa yang dia ketahui.
Namun untuk kembali memikirkannya lagi saja Rein menjadi gelisah. Dia tidak ingin menjalin kasih, daripada itu dia lebih memilih untuk bertahan hidup saat ini dan melupakan masalah percintaan yang hanyalah angan-angan semata.
Menikmati makanan, Rein dengan lahap menyantapnya. Ikan di dunia ini terasa berbeda meskipun memiliki jenis yang sama. Terdapat rasa aneh, yang tidak dapat dideskripsikan olehnya, tetapi tidak begitu aneh, malah terasa nikmat dan membuatnya ingin memakannya lagi.
Setelah beberapa menit, Rein sudah merasa cukup untuk bersantai-santai. Dia akan kembali menelusuri tempat ini, untuk mencari tanaman dan buah-buahan yang dapat digunakan untuk melakukan perjalanan keluar dari hutan ini.
“Mau ke mana?” tanya Pasitheia.
“Menyusuri sungai, jika memungkinkan aku akan mengecek jebakan yang dipasang kemarin. Mungkin seekor rusa sudah terjebak di dalamnya.”
Pasitheia tidak menunjukkan balasan atau ketertarikannya untuk ikut, memaksa Rein melanjutkan perkataannya.
“Jika ada monster atau hewan liar lainnya, kamu bisa menggunakan tombak itu.”
Rein cukup percaya diri untuk menyerahkan keselamatan Pasitheia pada tombak yang dia sandarkan pada pohon. Pasitheia juga mengetahuinya, tombak itu memiliki racun yang cukup mematikan untuk membunuh musuh dalam hitungan detik. Ini membuat seorang sepertinya berdecak kagum.
“Baiklah, aku harap seekor rusa bodoh terjebak di dalamnya.”
Rein tersenyum tipis menanggapi perkataan Pasitheia. Dia melangkahkan kaki dan terus mengikuti aliran sungai. Sebenarnya, dia sendiri tidak yakin tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya selain mengumpulkan makanan dan pergi dari hutan ini. Tetapi persediaan dan persenjataan, juga pertahanan belum cukup memadai.
Pengetahuan menjadi hal paling penting dari semua itu. Keputusan Rein dalam mengambil jalan untuk keluar dari hutan ini sangat berperan penting, antara hidup dan mati, antara pergi ke daerah aman atau sebaliknya.
Jadi itulah pentingnya menelusuri tempat-tempat seperti ini, untuk menambah pengetahuan dan persiapan yang diperlukan.
Rein melewati bebatuan besar yang berada di pinggiran air sungai, melompat ke sana ke mari dengan begitu lihai, hingga berakhir terpeleset.
“Akh! Sial!” umpat Rein kesal.
Dia memang tidak cocok untuk menjadi seseorang yang penuh semangat dan ini menjadi peringatan ke sekian kalinya bagi dirinya. Dengan begitu, Rein kembali berdiri dan membersihkan badan setelah pakaiannya dipenuhi oleh air.
“Beruntung tidak cedera.” Menghela nafas, Rein melanjutkan berjalan dengan mengikuti arus sungai.
Semakin Rein mengikuti aliran sungai, perlahan-lahan sungai mulai terlihat berkelak-kelok. Rein juga sempat bertemu slime, tetapi itu berbeda dengan slime yang pernah membantunya beberapa hari lalu.
Jika Rein pikirkan lagi, ini sudah lebih dari 1 minggu dia berada di dunia ini. Tidak banyak yang terjadi, tetapi berada di sini membuatnya merasa lebih bebas. Seakan-akan dunia ini adalah pelarian yang cocok bagi orang seperti dirinya.
Dia tanpa sengaja bertemu seekor serigala, kemudian Rein langsung menyiapkan diri dan mengendap-endap. Dia sudah belajar dengan apa yang terjadi beberapa waktu lalu, memilih jalan memutar atau tidak sama sekali.
Namun, Rein malah dihadapkan dengan sepasang goblin yang sedang bercumbu di semak-semak, memaksanya untuk mengangkat pedang. Begitu pula dengan goblin tersebut, mengambil pedang dan tongkat.
Ketika Rein berlari untuk menyerang goblin dengan tongkat, namun dia dihadang oleh goblin yang memakai pedang.
Saling beradu kekuatan dan dorong-mendorong, Rein yang memiliki tubuh lebih besar menendangnya dan menjatuhkan goblin tersebut.
Saat dia hendak melakukan serangan pengakhiran, sebuah bola api melayang ke arahnya, itu sempat mengenai tangan Rein dan panas terbakar yang dirasakannya itu nyata.
“... itu sihir? Goblin ini dapat memakai sihir, bukan?”
Tidak ingin hal yang sama terjadi dua kali, Rein langsung mengakhiri goblin yang terjatuh dengan memenggal kepalanya. Dilanjutkan dengan berlari ke arah goblin pemakai sihir itu.
Rein mengelak serangannya dengan sedikit menunduk, di saat bersamaan dia juga tahu pola serangan atau waktu yang dimiliki oleh goblin sebelum melakukan penyerangan, dengan demikian, 2 goblin berhasil dikalahkan.
Merasa dia sudah berhasil mengalahkan mereka, Rein mengambil harta rampasan seperti tongkat sihir dan pedang. Itu berguna untuk beberapa hal, terlebih lagi mungkin Pasitheia dapat mengajarinya sihir.
Mengalahkan goblin bukan merupakan akhir dari menelusuri sungai ini. Akan ada baiknya untuk terus melanjutkannya karena ada kemungkinan bahwa seekor goblin memiliki panah yang dapat dia digunakan.
Rein sangat menginginkan panah untuk menjadi senjata utama dalam berburu. Dia yang sekarang tidak lihai dalam menggunakan pedang, tetapi jika dalam panahan, Rein dapat dikategorikan sebagai seseorang yang berpengalaman.
Ikut dengan klub panahan ketika SMP menjadi alasan semua ini. Hingga dia harus berakhir berhenti karena sebuah kejadian yang tidak pernah diinginkannya. Sebuah kejadian yang membuat Rein merasa enggan untuk kembali mengikuti sebuah ekskul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
John Singgih
asem tenan ada wikwik juga tho...
2021-03-04
0
Juuu.
uhu
2020-12-02
0
{~n~}
lanjur
2020-09-21
1