Di tengah emosi Pasitheia yang meluap karena anggota tubuhnya baru saja disentuh, suara yang bergemuruh membuatnya memegang perut, lapar.
Rein sedikit tertawa bodoh, menggaruk kepala, dia juga merasakan hal yang sama.
“Hei, jika kau ingin aku maafkan, berikan aku makanan.” Pasitheia memelas, entah dibuang ke mana emosinya.
Rein mengangguk. Dia kemudian menggerakkan kaki untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan. Baru saja disadarinya bahwa luka-luka itu sembuh, tanpa menyisakan bekas luka ataupun rasa sakit.
Merasa aneh, dia berhenti melangkahkan kaki dan menyingkirkan tanaman obat yang sudah ditumbuk menjadi salep dari tempat-tempat luka yang berbeda pada tubuhnya. Terkejut.
“Kenapa kau berhenti? Cepat cari makanan untukku!” titah Pasitheia.
”Ini sungguh aneh,” gumam Rein. “Kenapa bisa luka-lukaku hilang hanya dalam semalam saja?” tambahnya.
“Hah? Apa kau bodoh? Ini di dunia lain, bukan bumi tempatmu berasal!” Pasitheia memutar bola mata dengan kesal, kemudian duduk.
Rein berpikir keras, dia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Pasitheia, sangat memungkinkan sebuah keajaiban terjadi di dunia ini. Atau malah mungkin jika tanaman yang dia gunakan dan anggap sebagai binahong bukanlah binahong yang dia kenal.
Menggaruk kepala, berjalan lebih jauh lagi setelahnya untuk mencari buah-buahan ataupun tumbuhan yang dapat langsung dimakan, setidaknya cukup untuk mengganjal perutnya yang menuntut untuk diisi.
Pandangan Rein berpindah pada sekitarnya. Dia merasakan bahwa semakin dalam dia masuk ke hutan, semakin sunyi pula suasananya. Merasa berada dalam bahaya jika diteruskan, Rein berbalik arah.
Sudah beberapa menit berlalu dan dia belum menemukan buah-buahan yang dapat dimakan. Ada yang menarik perhatian, tetapi tidak dapat dimakan karena mengandung racun, dia baru saja mengetahuinya ketika seekor burung hinggap dan memakannya.
Berjalan kembali ke air terjun, Rein melihat Pasitheia yang terduduk dengan lesu sembari memegangi perutnya, sesekali dia mengelus dengan lembut.
Rein sempat berpikir jika mereka yang disebut sebagai dewa itu tidak memerlukan makanan sama sekali, jadi pemikirannya selama ini telah berganti setelah bertemu dengan Pasitheia.
“Apa dia sama sekali tidak dapat membantu? Padahal pekerjaan akan lebih cepat jika dia mau bekerja sama,” batin Rein.
Dia masuk ke dalam air dan berendam. Rein mendapati sesuatu yang bergerak sedang terinjak oleh kakinya. Mengambil sesuatu itu, dia baru saja mendapatkan seekor udang. Lantas kemudian memperhatikan dengan seksama.
“Bentuk udang ini terlalu aneh ... mungkinkah dapat dimakan?”
Udang yang ditemuinya tidak mirip seperti udang pada umumnya, lebih tepatnya dengan yang berada di bumi. Oleh karena itu dia merasa ragu dan kembali menatap ke dasar air.
Terdapat banyak udang dengan bentuk yang sama seperti yang berada di tangannya saat ini, semakin membuat Rein merasa bimbang.
Bentuk dari udang ini sendiri cangkang keong, tetapi berbentuk memanjang ke belakang. Dengan bentuk bergerigi-gerigi, tidak tajam, dan ukuran tubuhnya lebih kecil dari biasanya.
“Mungkin dia tahu?” Rein melirik ke arah Pasitheia, berjalan ke arahnya.
“Apakah mungkin untuk memakan udang ini?” tanya Rein.
Dengan mata sayu, lemas, dia menghadap ke arah remaja yang memanggilnya. Melihat ke arah udang hasil tangkapan Rein, dengan begitu wajahnya berseri.
“Itu dapat dimakan!” ucap Pasitheia dengan cepat, dia lantas menambahkan, “Cepat masak!”
Mengetahui bahwa udang ini dapat dimakan, Rein dengan segera mengambil udang-udang lainnya sebisa yang dia dapatkan.
Dalam beberapa menit, Rein berhasil mengumpulkan setidaknya 10 ekor udang dengan jenis yang sama. Entah kenapa, ketika dia mulai menangkap satu per satu, udang-udang ini mulai berpencar dan bergerak dengan gesit.
Dengan baju yang sedikit rusak, Rein menaruh udang-udang itu di baju yang dialih fungsikan sebagai sebuah wadah. Menentengnya pada Pasitheia.
Dia melihat beberapa kumpulan kayu yang sempat digunakan untuk bahan bakar, menatap ke arah Pasitheia karena beranggapan bahwa wanita ini dapat menggunakan sihir api dan mempermudahnya.
“Kenapa kau melihatku begitu?! Cepat bakar udangnya!” titah Pasitheia, kasar.
“Apa kamu bisa menggunakan sihir api? Jujur saja aku terlalu lelah untuk melakukan sesuatu.”
Dengan tatapan tajam Pasitheia menanggapi perkataan Rein. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa kekuatannya tidak dapat difungsikan dengan benar akibat ulah Dewa Kematian, Thanatos.
Itu juga akan mencoreng harga dirinya sebagai seorang dewi.
“Hm! Aku tidak akan menggunakan sihir untuk orang tidak berguna sepertimu!” Pasitheia melengos.
Dia tidak menduga akan mendapatkan jawaban seperti itu, Rein kemudian mencoba untuk tidak menyinggung Pasitheia karena takut jika wanita itu akan marah lagi. Terlebih lagi ... mereka belum berkenalan, bukan?
Rein mengumpulkan kayu dan mulai menggosok dengan sekuat tenaga. Dia tidak dapat berdiam diri seperti Pasitheia jika ingin terus hidup.
“Ngomong-ngomong, namaku Kaguraza Rein. Kamu dapat memanggilku Rein.”
Rein tidak melepaskan sifat hormatnya kepada Pasitheia. Seperti apa yang dia ketahui adalah bahwa wanita ini adalah seorang dewi yang dikirim bersama dirinya.
“Pasitheia, berbanggalah untuk mengetahui namaku karena tidak semua orang dapat mengetahuinya.” Pasitheia berkata dengan angkuh, terlihat jelas kebanggaannya sebagai seorang dewi.
Rein mengangguk untuk menanggapi itu. Dia bertingkah sebagaimana mestinya agar tidak menarik amarah wanita itu lagi, cukup untuk menghindari masalah.
Api yang dia coba hidupkan dalam beberapa menit terakhir mulai hidup dan membesar. Dengan segera Rein mencuci ranting yang digunakan untuk menusuk udang tersebut, tetapi satu hal yang diketahuinya bahwa cangkang udang ini terlalu keras dan malah mematahkan ranting miliknya.
Berpikir, dia mencari batu dan mencoba untuk memecahkannya. Tetapi yang terjadi malah batu yang dia gunakan malah terbelah menjadi dua. Rein benar-benar kaget karenanya.
“Cepatlah masak makanan untukku! Kenapa kau selalu saja melakukan sesuatu yang tidak berguna?” keluh Pasitheia.
Rein tersenyum canggung, Pasitheia mudah sekali untuk marah dan merasa kesal. Tetapi tidak ada yang dapat dilakukan karena Rein memang tidak berniat untuk mencari masalah.
“Cangkang udang ini terlalu keras, bagaimana jika kamu menggunakan sihir untuk melunakkannya?” Rein memaksakan senyuman tipis, berharap jika Pasitheia mau melakukannya.
“Kenapa hanya urusan membakar saja susah?” Pasitheia berdiri, kemudian melemparkan seluruh udang yang dimiliki oleh Rein ke dalam kobaran api.
Benar-benar bodoh. Rein ingin menanggapinya seperti itu. Akan lebih baik jika dia menggunakan batu yang pipih sebagai tempat penggorengan daripada melemparkannya ke dalam api.
Menghembuskan nafas, Rein memang tidak cocok untuk emosi. Dia secara perlahan memainkan ranting yang sama untuk mengambil kembali udang yang dilemparkan Pasitheia. Beruntung dia dapat menyelamatkan semuanya.
“Ini bukan cara yang tepat untuk memasak.” Rein memberitahukannya dengan lembut.
“Hah?! Terserahlah!”
Jika wanita itu, Pasitheia, memiliki darah tinggi, dia sudah pasti mati beberapa saat yang lalu dan Rein berani untuk bertaruh dengan kemungkinan tersebut.
Rein beranjak pergi meninggalkan Pasitheia yang duduk di tempat mereka awalnya tidur, melingkarkan tangan di depan dada, dengan raut wajah cemberut dan kesal.
Sedangkan Rein sibuk mencari batu yang diinginkannya, terlihat sulit untuk ditemukan, tetapi pada akhirnya, sebuah batu dengan bentuk sempurna, seperti yang dia inginkan berhasil ditemukan.
Menumpuk batu satu per satu, digunakan sebagai tumpuan untuk menaruh batu pipih yang ditemukannya. Dia berhasil membuatnya seimbang setelah menghabiskan beberapa waktu. Tetapi perutnya sudah lapar sudah tidak dapat menunggu lagi.
Pasitheia terus mengumpat kesal di belakang tanpa niat membantu. Sedangkan Rein pada akhirnya berhasil membuat perapian untuk memasak.
Menaruh udang di atas batu setelah mencucinya kembali, dia berhasil memasak udang dengan cara yang benar, tidak seperti apa yang dilakukan oleh Pasitheia sebelumnya.
Sudah beberapa menit berlalu, dan warna udang semakin keemasan. Pertanda sudah masak, Rein meminggirkan api dan menunggu agar makanan sedikit dingin.
Tetapi Pasitheia yang sudah sangat kelaparan dengan segera mengambilnya dari atas batu, membuat dia melemparkannya dari tangan satu ke tangan lainnya, berakhir jatuh ke tanah.
“Panas! Panas!” Pasitheia dengan segera meniup tangannya.
Sedangkan Rein menatapnya dengan tatapan aneh. Pasitheia lagi-lagi membuang udang yang dia tangkap. Sungguh mubazir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Lilithia gilgamesh Lucifer
Dewi gaguna,sombong, merendahkan orang lain, hidup lagi
2021-07-13
0
Lilithia gilgamesh Lucifer
Dewi gaguna,sombong, merendahkan orang lain, hidup lagi
2021-07-13
0
John Singgih
memasak di dunia lain.
2021-03-02
0