Malam hari adalah waktu yang paling ingin dihindari oleh Rein selama berada di hutan ini. Dia sangat khawatir tentang keberadaan binatang buas di sekitar mereka.
Rein sering kali bersyukur karena dia selalu berhasil melewati setiap malam yang menghampirinya. Suara hewan-hewan yang mengerikan saja jarang terdengar bahkan setiap malam tiba. Namun terlepas dari hal itu, Rein merasa sering diawasi oleh seseorang dan bunyi gerisik sering kali mengganggu pikirannya.
“Aku pikir itu hanya firasatku saja,” Rein menepis pikiran negatifnya, mencuci muka agar tetap dalam keadaan terbangun.
Sedangkan Pasitheia, wanita itu sudah terlebih dahulu tertidur dengan pulas tanpa melakukan hal besar dalam hidup barunya. Rein bingung untuk menghadapinya, tidakkah dia dapat lebih berguna? Seperti apa yang dia janjikan waktu itu.
Dia tahu bahwa Pasitheia adalah seorang dewi dan tidak seharusnya melakukan pekerjaan yang merusak martabatnya, tetapi jika dipikirkan berulang kali, sikapnya terlalu buruk dan tidak mencerminkan dewi itu sendiri.
Misalkan saja sikap serakahnya terhadap makanan dan malas-malasan yang berlebihan. Ditambah, kebanggaannya terhadap gelar yang dimiliki terlalu berlebihan.
Jika dibandingkan dengan Dewa Kematian yang ditemui oleh Rein, akan lebih baik jika posisi mereka bertukar. Dewa Thanatos terlihat lebih dapat diandalkan dan mau bekerja sama, berbanding terbalik dengan Pasitheia.
“Tetapi ... membicarakan tentang keburukan orang lain memang tidak akan ada habisnya. Aku heran bagaimana orang-orang dapat menggunakan kesalahan orang lain sebagai pembicaraan.”
Rein mulai merasa udara semakin dingin, diperkuat dengan pakaiannya yang compang-camping. Dia mendekati pohon untuk mengambil kayu bakar dan membawanya, melemparkan ke dalam api unggun, dan menghangatkan tubuh.
“Jika saja aku mempunyai pisau yang lebih baik daripada batu ini ...” Rein mengeluh, ini pertama kalinya, namun bukan berarti dia akan menyerah begitu saja.
Dia menampar wajahnya keras, pikiran negatif selalu saja datang ketika sedang dalam keadaan sulit, selalu membanding-bandingkan dengan sesuatu dan lupa untuk bersyukur. Sikap buruk seperti itu harus dibuang, setidaknya itu yang ada di pikirannya.
Rein awalnya berencana untuk membuat perangkap ikan besok. Kelincahan dari ikan-ikan menjadi penghambat bagi Rein untuk menangkap mereka. Apalagi ketika Rein mulai mendekat ke air, para makhluk hidup yang hidup di dalamnya langsung menghilang begitu saja.
“Bambu? Aku tidak berpikir bahwa benda seperti itu akan mudah untuk didapatkan ....”
Rein sudah mengelilingi beberapa tempat, tetapi tak pernah bertemu dengan bambu yang dapat digunakan untuk bahan pembuatan perangkap ikan. Padahal itu adalah bahan terbaik dan dapat bertahan lama.
Pergerakan aneh mulai terasa ketika udara semakin dingin. Entah mengapa, Rein merasa merinding untuk melaluinya. Suara semak-semak yang bergesek satu sama lain terlalu mencurigakan, memaksanya untuk menyiapkan tombak yang sudah dibaluri oleh racun.
Kebetulan sekali bahwa posisi Rein berada di dekat semak-semak, sekitar 10 meter di belakangnya setelah tempat tidur, selter sederhana yang dia tempati.
Seekor makhluk berwarna hijau yang membawa pedang muncul di hadapan Rein, melompat dan berlari dengan kencang dengan mengangkat pedangnya.
“Pasitheia!”
Rein yang sadar berteriak kepada Pasitheia untuk membangunkannya. Tentu dia khawatir jika nanti monster ini malah mengincar Pasitheia. Sebagai seorang pria satu-satunya di sini, dia merasa untuk melindungi dan jika saja wanita itu terluka, maka Rein akan menganggap dirinya sendiri telah gagal.
Pasitheia tidak terbangun sedangkan monster tersebut sudah semakin dekat dengannya. Rein menyeringai. Dia mengelak ketika monster itu menyerang secara vertikal.
Pedang yang digunakan oleh makhluk berwarna hijau itu terlihat berkarat, tetapi cukup untuk memotong kayu yang digunakan Rein sebagai tombak, menjadi alasan yang cukup kuat baginya untuk menghindar daripada menahan.
‘Sial, Pasitheia belum terbangun. Dia mungkin akan menjadi incaran jika saja monster ini menyadarinya.’ Rein khawatir, meremas tombak yang dipegangnya.
Rein mencoba untuk memutar otak, dalam pertarungan ini dia diuntungkan karena memiliki tongkat yang memiliki jangkauan serang luas, ditambah dengan racun saga rambat yang dia miliki.
Namun Rein tidak boleh salah dalam melakukan pergerakan walau hanya sedikit saja, di mana dia akan kehilangan tombaknya karena menahan serangan dan akan berakibat fatal.
Monster hijau dengan tubuh yang lebih pendek itu memasang kuda-kuda. Ini tidak seperti dia hendak menggunakan kungfu atau semacamnya, lebih menuju pada posisi waspada dan siap menyerang.
‘Apa yang direncanakannya?’ batin Rein, menatap setiap tubuh dari monster tersebut, memperhatikan setiap pergerakan yang mungkin akan dilakukan.
Mereka saling menatap satu sama lain dalam beberapa detik ke depannya, ini membuat Rein mengeluarkan biji saga rambat yang dimilikinya, mencoba untuk melempar pada mulut monster tersebut yang selalu terbuka.
Namun, ditepis. Itu tidak berhasil dan malah menyebabkan monster melanjutkan serangan kepada Rein.
Rein memundurkan langkah ke belakang, kini sebuah pohon menjadi penghalangnya untuk terus bergerak. Mengelak dengan melompat ke kanan. Di saat bersamaan, pedang monster itu melekat pada batang pohon yang menghalangi Rein.
Rein memutar badan setelah berhasil menghindari serangan. Dia mencoba untuk memanfaatkan situasi dan dengan segera menusuk tepat pada bagian kepala monster hijau tersebut.
Tumbang dengan begitu lemas. Bola matanya yang bersinar secara perlahan sirna. Membuktikan kepada Rein bahwa dirinya berhasil membunuh monster tersebut dengan menggunakan titik vitalnya dan yang berperan paling besar dalam pembunuhan ini adalah racun dari saga rambat.
Dia mengetahui serangannya pada bagian kepala tidak terlalu dalam. Belum cukup kuat untuk dapat membunuhnya dalam satu kali serangan dan dengan racun yang bekerja dengan cepat, Rein berhasil melakukannya.
Dia baru saja mendapatkan sebuah pedang untuk digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Pedang yang didapatkannya memerlukan perawatan khusus dan ketajamannya sudah perlahan memudar. Meskipun begitu, ini terbuat dari bahan yang bagus dan masih dalam keadaan layak dipakai.
“Yoosh! Ini saatnya bekerja.”
Rein tidak ingin darah dan bangkai monster itu mengundang monster-monster lainnya. Mengetahui keberadaan mereka saja sudah cukup menakutkan, apalagi jika harus menghadapinya.
“Aku pikir, seorang otaku akan sangat diuntungkan dalam posisi ini,” gumam Rein.
Rein tidak dapat menutupi kelemahannya terhadap dunia ini dalam hal pengetahuan. Beberapa tumbuhan dan makhluk hidup di dunia ini sangat berbeda, itulah mengapa dia harus menggali informasi lebih banyak lagi.
Kembali ke tempat semula setelah membereskan bangkai monster beserta darahnya, Rein membersihkan tubuh.
Mungkin saja bau dari monster tersebut melekat pada tubuhnya, yang mana akan mengundang monster lainnya, hal ini menjadi alasan kenapa dia mandi di tengah malam yang dingin itu. Karena khawatir terhadap Pasitheia yang seorang diri, dia memilih untuk tidak pergi ke sumber air panas yang memiliki aliran airnya sendiri.
“Entah mengapa, aku malah bersyukur mendapati serangan dari seekor monster aneh itu. Apakah namanya goblin? Aku tidak terlalu mengerti, tetapi bentuknya mirip dengan permainan yang dulu aku mainkan.”
Rein naik ke permukaan, mengeringkan tubuh di dekat api dengan telanjang. Dia benar-benar mirip seperti seorang ekshibisionis. Tetapi bukan berarti bahwa Rein menginginkannya. Jika dia memiliki handuk, tentu dia akan menutupi tubuhnya.
Wanita itu terbangun dari tidurnya, dihadapkan dengan seorang remaja yang berada dalam keadaan tanpa busana sedang menghangatkan tubuh. Dia berteriak dengan begitu kencang, membangunkan para burung dan membuat mereka terbang.
“Rein! Ada orang aneh di sini!” teriak Pasitheia dengan histeris.
Teriakan itu mengundang kepanikan Rein, dia berdiri dan mengambil pedang, bertanya-tanya dengan keadaan heran tanpa busana.
“Mana!? Cepatlah pergi ke belakangku!” Rein mendekati Pasitheia dengan cepat, berpikir bahwa ada serangan.
“Singkirkan makhluk jelek itu dari hadapanku!”
Pasitheia menendang keras bagian bawah Rein, memberikan kesakitan tiada tara hingga Rein yang langsung terguling karenanya. Benar-benar menakutkan jika dibayangkan.
****
Menurut Mbah Google, satu kali tendangan setara dengan melahirkan 160 bayi atau 9000 del. Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Lilithia gilgamesh Lucifer
ha buat MC dingin liat genre comedy liatnya kesel
2021-07-13
0
John Singgih
aduh biyung sakit nian adek kecilku
2021-03-04
0
Wahyu Kusuma
Abis di tendang
Rein bilek : Rasanya Anmjim banget.
2020-09-20
6