Meninggalkan Pasitheia sendirian membuat Rein sedikit khawatir, tentang serigala yang mungkin datang kembali ke sana. Tetapi dia teringat dengan kayu bakar yang menyala, membuatnya merasa sedikit lega. Setidaknya wanita itu pasti bisa mengatasi masalah seperti apa yang dilakukannya kemarin.
“Antara makanan dan pertahanan ... mana yang lebih penting?” Rein berbicara pada dirinya sendiri. bergumam.
Kedua pilihan itu memiliki keuntungan tersendiri. Misal Rein yang tidak perlu khawatir dengan serangan musuh jika meningkatkan pertahanan, sedangkan dengan makanan, dia tidak akan merasa kelaparan. Tetapi pada akhirnya, Rein lebih memilih pertahanan.
Tidak ada gunanya makanan enak jika saja hatinya terus khawatir tentang serangan dari para monster, dengan demikian, maka Rein akan membuat semacam senjata yang lebih kuat lagi untuk menghadapinya.
“Apa aku harus membuat busur dan anak panah, ya?”
Rein melangkah, berpikir sembari memperhatikan sekitar. Jika dia ingin berburu, maka panah sepertinya menjadi pilihan yang tepat untuk dibuat. Dapat juga digunakan untuk bertahan hidup, melumuri anak panah dengan racun juga merupakan pilihan yang bagus.
Berbicara tentang racun ... mungkinkah untuk berjumpa dengan mereka di hutan ini?
Pandangan Rein terpusat pada buah berwarna merah darah. Itu terlihat tidak asing baginya.
“Saga rambat!” Rein menepuk tangan dengan posisi salah satu tangan yang mengepal dan lainnya membentang.
Jika berdasarkan apa yang diketahui olehnya, saga rambat memiliki racun yang mematikan, terdapat pada bijinya. Jika dia menumbuk dan mengekstraknya, dibaluri oleh bagian tajam pada anak panah, dapat dipastikan dia membunuh musuh hanya dalam sekejap mata.
Mengumpulkan beberapa yang dapat diperolehnya, Rein memasukkan biji-biji itu pada kantung pakaian.
Tetapi sebuah permasalahan lain muncul di otak. Bukan karena adanya kehadiran monster ataupun luka yang muncul kembali, tetapi tentang tali elastis yang digunakan pada busur tersebut.
“Hah! Bodohnya aku. Tanpa tali yang elastis, tentu aku tidak akan dapat memanah.” Rein menghembuskan nafas berat, sedikit lebih lama lagi, mungkin harapannya akan semakin tinggi. Ini seperti dia baru saja dijatuhkan dari puncak tertinggi.
Rein tidak membuang saga rambat yang dia temukan. Itu sama saja membuang-buang kesempatan untuk bertahan hidup. Menurut cara pandangnya, saga rambat dapat digunakan untuk melumuri sisi tajam pada tombaknya.
Rein melanjutkan perjalanannya, cukup jauh sepertinya. Gesekan pada semak-semak menarik perhatian, sebabnya dia meningkatkan kewaspadaan dan melangkahkan kaki perlahan untuk mendekat. Merasa penasaran.
Secara perlahan tetapi pasti, dia dapat melihat seekor kelinci yang melemahkan pertahanannya, lengah.
Menarik tombak ke belakang, sedikit naik ke atas. Rein melemparkan tombaknya pada kelinci tersebut.
Mati. Entah dia yang beruntung atau pandai dalam melempar tongkat, serangannya menusuk tepat pada bagian perut dari kelinci tersebut.
Rein sebenarnya tidak ingin untuk memakan kelinci seperti ini. Terlebih lagi dia memiliki tanduk seperti unicorn. Sangat disayangkan, namun harus dilakukan.
“Beristirahatlah yang tenang, kelinci.” Rein merapatkan tangannya, berdoa.
Untuk beberapa alasan, menguras darah kelinci sebelum dimakan akan menambah kenikmatan pada daging kelinci tersebut. Dengannya, Rein memenggal kepalanya dan memakai kaki dari kelinci tersebut untuk membawanya.
Makanan enak menantinya malam ini.
****
Setelah pulang, Rein langsung mengelola daging kelinci tersebut, tetapi sebelum itu, dia menggantungkannya kembali agar darahnya terkuras habis.
Sebagai jaga-jaga, Rein menggantungkannya di atas air, itu berguna untuk menyingkirkan bau amis dari darah yang akan menarik perhatian hewan buas.
Selama menunggu, dia juga menumbuk biji saga rambat, menambahkan air, dilakukan di dalam sebuah wadah yang terbuat dari lapisan-lapisan daun tebal. Tidak perlu khawatir jika saja itu rusak, karena Rein sendiri sudah menjamin ketahanannya.
“Hei, Rein. Kau seharusnya memberikan persembahan terhadap dewi sepertiku. Kau akan dianggap kafir jika mengabaikannya.” Pasitheia menaik-turunkan alis, bersandar di pohon sambil berleha-leha, kepalanya bertumpu tangan.
“Tetapi aku menolak untuk makan kelinci menjijikan itu!” ejek Pasitheia, menatap dengan jijik pada daging kelinci yang Rein gantung.
Rein mengabaikan Pasitheia sepenuhnya. Bagus jika dia menolak. Tidak akan ada habisnya jika dia menanggapi perkataan yang keluar dari mulut wanita itu tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
Tetapi berpikir demikian, apakah wanita ini sudah melupakan janjinya? Rein tidak terlalu berharap jika dia akan membantu, tetapi tetap saja ... melupakan janji adalah perilaku yang tidak terpuji bagi seorang dewa-dewi, bukan?
Sudut bibir Rein terangkat. Ini membuktikan bahwa dia dapat menikmati kelinci seorang diri tanpa perlu mengkhawatirkan wanita itu, seperti apa yang dikatakannya.
“Ah, sepertinya sudah selesai?”
Rein berjalan ke arah daging kelinci yang dia jemur tersebut, tak lupa mencuci tangannya karena dia baru saja berurusan dengan racun. Akan berbahaya jika saja calon makannya terkontaminasi.
Rein pada awalnya sangat bingung tentang cara menguliti kelinci tersebut. Lebih tepatnya bahwa dia tidak memiliki alat yang memadai untuk melakukannya.
Mencoba untuk tetap melakukannya, Rein memilih untuk membakar seluruh bulu dari kelinci tersebut. Sebenarnya ada tahap yang terlewatkan, yaitu memakai air panas dan menarik bulu-bulu tersebut. Tetapi karena keadaan sangat terbatas, hal itu tersingkirkan dan dilupakan.
Setelah seluruh bulu terbakar habis, Rein mengambil tongkatnya yang belum dilumuri oleh racun. Dia menggunakan batu yang sudah dipertajam untuk melakukannya.
Pada awalnya memang sulit, tetapi dia berhasil melakukannya. Rein menguliti kelinci tersebut dan membuang isi perutnya. Karena beberapa alasan, dia lebih memilih untuk menguburnya daripada membuang ke sungai.
Beberapa menit telah berlalu dan hal besar telah terjadi selama dia mengurus kelinci tersebut, ini saat yang tepat bagi dia untuk membersihkan tulang-tulang kelinci sebelum akhirnya dipanggang di atas perapian.
Dengan begini, langkah yang rumit dan menyusahkan berhasil terlewati. Rein bersyukur bahwa dirinya pernah bekerja paruh waktu di pemotongan hewan sebelumnya.
Daging kelinci yang dipanggang di atas batu mengeluarkan aroma yang sedap, itu menarik perhatian Pasitheia yang sebelumnya menatap jijik pada kelinci yang Rein tangkap.
“Itu terlihat sedap! Daging apa sebenarnya ini?!” Pasitheia menyenggol pundak Rein yang fokus pada mempertahankan api dan suhu udara.
“Daging kelinci menjijikan yang digantung tadi,” jawab Rein, sinis.
“Siapa orang bodoh yang berkata demikian? Seharusnya dia bersyukur bahwa kami, para dewa dan dewi, telah menurunkan makanan kepada mereka!” ucap Pasitheia angkuh, menaikkan dagu.
‘Dia baru saja menghina dirinya sendiri. Tetapi memang aku akui bahwa aroma kelinci ini memang menarik. Meskipun aku belum pernah memakan mereka ketika berada di bumi, aku dapat langsung mengerti bahwa kelinci yang di dunia ini memiliki keunikannya tersendiri.’
Daging sudah semakin kecokelatan, Rein mengangkatnya dan menyajikan pada daun dengan ukuran besar.
“Cara makan seperti ini tidak etis. Seharusnya kau belajar lebih tentang etika.”
Rein sama sekali tidak mempedulikannya. Apa pentingnya etika di hutan belantara seperti ini? Lagi pula sifat Pasitheia yang buruk itu memang harus diabaikan.
“Tetapi itu tidak berlaku terhadapku. Aku melakukannya karena terpaksa, jangan salah paham!”
Rein mencoba untuk mengabaikannya, dan mulai menikmati daging kelinci sebelum semuanya dihabiskan oleh dewi ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
John Singgih
plin-plan dan cerewet
2021-03-04
0
Ashidart
Oishi
2021-01-05
0
Miss GH
dua duanya penting, makanan dan pertahanan.
semangat up.
salam dari love my flaws hubby.
2020-12-13
1