Berpasang mata memandang dengan binar menggoda untuk sepasang pengantin yang tengah berjalan beriringan menuju meja makan.
Dewi merasa kikuk, sekaligus canggung. Rasa malu juga telah bercampur dengan rasa sakit yang dia tahan.
"Itu ... Dewi masih sakit, ya?" Mama bertanya dengan khawatir.
Sang Papa mengulum senyum, melirik sekilas ke arah anak mantu yang telah duduk di kursi seberang.
Sedangkan sang Dewi, wajahnya telah tertunduk malu. Bingung harus menjawab apa.
Andre menoleh pada Dewi, tampak wajah itu sedikit pucat.
"Kamu, sakit ... ya? Sejak kapan? Semalam baik-baik saja, kan?" tanya Andre bertubi-tubi.
Lelaki itu tidak sadar, jika pertanyaannya malah menambah rasa malu di wajah Dewi.
Ah, andai saja saat ini mereka sedang tidak di rumah orangtuanya. Mungkin Dewi lebih memilih menenggelamkan diri di balik selimut. Tidak melakukan aktivitas apapun.
Namun, saat ini ... mereka tengah berkumpul di meja makan. Bagai memakan buah simalakama, berkumpul digoda ... memilih tidur pun, pastilah akan digoda juga.
Dewi memilih menggeleng, tanpa berniat menjawab pertanyaan-pertanyaan untuknya. Lalu sibuk mengambilkan menu sarapan untuk suaminya.
"Andre, pelan-pelan ya ... jangan buat anak saya kesakitan," ucap papa hati-hati.
"Papa ...!" mama berseru pelan, menekan suaranya.
Papa nyengir kuda. "Masa udah berbulan-bulan, Dewi masih kesakitan ma."
Andre tersedak, sendoknya masih menggantung di udara tidak jadi menyuap ke mulut.
Dewi dengan sigap mengambilkan minum untuk Andre.
Andre mengambil gelas dari tangan istrinya, lalu meminumnya dengan sekali tandas. Setelah itu, dia pun memberikan gelas kosongnya kepada Dewi.
Dewi menyambut uluran gelas Andre. "Mau, lagi?" tanya Dewi, tangannya mengelus punggung suaminya.
"Udah." Andre menjawab pelan, dengan tatapan hangat.
Papa berdehem, memutus pandangan Dewi dan Andre.
"Dunia emang milik berdua. Kalau lagi kasmaran," celetuk papa.
"Papa, ih. Nggodain mereka terus." Mama memukul lengan papa.
Wajah Dewi bersemu merah, bibirnya tersungging senyum.
Andre menatap Dewi lembut. Dia terpana melihat senyum menghiasi wajah Dewi yang merona indah.
"Udah ... udah, makan. Langsung kenyang lihatin kalian terus."
"Papa!!" Dewi dan mama berseru.
Di sudut ruangan, beberapa pelayan ikut tertawa melihat keharmonisan keluarga majikan mereka.
"Malu, Pa ... dilihatin mereka, tuh." Mama melirik ke arah para pelayan yang terkikik geli.
Setelah itu, suasana menjadi hening. Karena papa telah asyik menikmati sarapannya, lebih tepatnya menahan diri untuk tidak menggoda anak menantunya.
***
"Jadi, gimana perkembangan kuliah kamu, Ndre?" tanya papa memulai perbincangan.
Sekarang mereka sedang berkumpul di ruang keluarga.
"Tinggal nunggu sidang, Pa. Jadwalnya udah keluar," jawab Andre mantap.
"Kamu bisa bekerja di perusahaan Papa," tawar papa.
"Hmmm." Keraguan menyelinap masuk ke dada Andre. Lelaki itu melirik Dewi yang sedang asyik bersenda gurau dengan mama. "Andre enggak enak, Pa," jawabnya ragu.
"Kamu bisa mulai dari bawah, nanti kalau kerjanya bagus ya ... bisa naik dong. Kayak karyawan yang lainnya. Tenang saja, Papa enggak akan pilih kasih, kok." Papa menjelaskan. Dia paham apa yang menjadi keraguan Andre.
"Nanti saya bicarakan dengan Dewi dulu kalau gitu." Andre mencoba mencari solusi untuk keraguan hatinya.
Papa mengangguk setuju. "Iya, itu perlu. Apapun yang menjadi keputusan seorang suami, sudah selayaknya meminta pendapat kepada istrinya."
Andre mengangguk takzim mendengar nasihat mertuanya.
"Ma, aku ke kamar yaa ...." Dewi berdiri, melirik sebentar ke arah papa dan suaminya. Tampak kedua orang yang dia cintai itu sedang berbicara serius. Dewi mengurungkan niat untuk berpamitan, dia pun langsung berjalan menuju kamar.
Andre tersentak kaget, saat menyadari jika istrinya sudah tidak berada di ruang keluarga. Lantas, dia pun berpamitan untuk ke kamar.
Dengan langkah cepat, Andre menyusul Dewi menuju kamar.
Tanpa mengetuk pintu, Andre membuka pintu kamar. Tampak Dewi sedang berbaring miring di ranjang.
Dengan langkah ragu, Andre mendekat lalu duduk di tepi ranjang. Kepalanya menghadap ke samping menoleh pada Dewi yang berbaring dengan mata tertutup. Tangannya terulur mengelus pipi wanitanya. 'Kita benar-benar telah menjadi suami istri sekarang. Apa yang harus aku lakukan?' tanyanya bersenandika.
Dewi mengerjapkan mata, merasakan sentuhan halus di kedua pipinya.
Sesaat, Andre merasa canggung. Merasa terpergok oleh Dewi atas apa yang dia lakukan.
Andre tidak menyangka jika Dewi ternyata tidaklah tidur. Melainkan hanya memejamkan mata. Lantas, untuk menghilangkan rasa kikuknya, Andre pun mengangkat tangan yang masih bertengger di pipi Dewi. Mengatur ekspresinya terlihat datar, mengurai rasa malu.
Tatapan Andre terpaku pada sebuah foto lama yang terpajang di meja terselip diantara foto-foto yang lain. Andre berdiri, mengambil bingkai tersebut.
Sebuah foto olimpiade atlit yang sangat melekat di ingatannya. Yaa, itu adalah pertandingannya sekitar delapan tahun lalu.
Saat itu, Andre meraih medali emas dalam kejuaraan atlit tingkat nasional.
Andre menoleh, menatap penuh tanya pada Dewi yang ternyata telah duduk meremas kedua tangan, gelisah.
"Ini ...." Andre memperlihatkan poto tersebut pada Dewi. "Poto saat aku bertanding. Bagaimana kamu mendapatkannya? Apa kamu ada di sana?"
"Ah itu ... hmmm, tidak. Aku tidak sengaja mendapatkan poto itu." Dewi merebut poto tersebut. Lalu berdiri, dan meletakkan bingkai itu kembali ke tempat semula dengan posisi terbalik.
Andre menatap bingung. Dahinya kini memiliki banyak kerutan.
"Ti-dak sengaja?" tanya Andre kemudian.
"Kak, kapan kita pulang?" Dewi mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau Andre membahas Poto itu.
"Eh, itu ... hmm, kapan maunya? Aku nurut aja." Andre mengelus tengkuk, menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan.
"Pulang sekarang, ya ...." Dewi berdiri bersandar pada meja. Tatapannya fokus memandang Andre.
"Oh, oke," jawab Andre singkat.
Dewi pun bersiap, membereskan beberapa peralatan yang dia bawa saat menginap. Berlama-lama sekamar dengan Andre, membuatnya salah tingkah.
Dewi masih menganggap, jika Andre melakukannya karena terjebak suasana. Jika, ternyata lelaki itu tidak benar-benar menginginkannya maka habislah dia, terbakar oleh perasaan resah yang menyala di dada.
Makanya, Dewi memilih pulang. Kembali pada kehidupan normal yang dia jalani. Serumah dengan Andre, tapi tidak tidur sekamar. Itu lebih baik untuk hatinya saat ini.
Tanpa bisa dipungkiri, status Andre dengan Anggita masih dalam hubungan pacaran. Sedangkan dengannya, juga belum ada kejelasan yang pasti.
Mama dan papa tentu merasa terkejut, karena tiba-tiba Dewi dan Andre pamit pulang. Inginnya mereka bisa tinggal lebih lama. Namun, mau bagaimana lagi. Anaknya telah berumah tangga. Rasanya sudah tidak mungkin lagi menahan mereka lebih lama, sedangkan Dewi sendiri meminta pulang
Dewi duduk di boncengan motor dengan posisi tegang. Dia bingung harus duduk bagaimana, atau seperti apa. Bahkan Dewi bingung, harus meletakkan tangannya ke mana. Akhirnya, dia pun meletakkan tangannya di pegangan belakang.
Dewi bingung saat motor menepi ke pinggir jalan, lalu berhenti di sana. Lebih bingung lagi, saat melihat Andre yang turun. Lalu berjalan ke belakangnya, menarik kedua tangan yang masih berpegangan kuat.
Andre merasa geram dengan tingkah Dewi, bisa-bisanya istrinya itu memilih pegangan ke belakang motor daripada berpegangan ke pinggangnya.
Dengan geram, Andre menarik kedua tangan Dewi, meletakkannya di pinggang sebelum melajukan motornya kembali.
Andre tersenyum puas, saat Dewi tidak melawan perlakuannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Hasna
ahhaaa aku senyum senyum sendiri
2022-11-06
0
Arni Khayanti
cakeeeppp
2021-03-09
0
Nanik Purnomo
lanjut teruuussss
2020-10-04
6