"Sayang, ayo!" ajakan Anggita menyadarkan Andre dari tatapan fokusnya pada Dewi.
Dewi meninggalkan tempat ini dengan menunduk. Sedangkan Arman tampak tak nyaman menyaksikan interkasi pengantin baru tersebut.
Arman menggelengkan kepala, melihat Dewi berjalan tergesa meninggalkan mereka. Memajukan dagu, memberi kode kepada Andre yang hanya dibalas tundukan kepala.
Andre masih menatap punggung Dewi yang mulia menjauh, dia menerka jika gadis itu tengah menangis. Sempat tertangkap oleh matanya, saat tangan Dewi dengan cepat menyeka air matanya di pipi.
Andre menghela napas berat, tidak menyangka jika dia harus menghadapi situasi yang sulit ini.
Sebuah notifikasi dari chat terdengar nyaring di telinga, Andre segera merogoh saku celana. Mengambil ponsel di sana.
Tak sabar, dia membuka aplikasi berwarna hijau. Tidka bisa dipungkiri, dalam hati dia berharap jika itu adalah pesan dari Dewi.
Siapa sangka, dia malah menerima pesan yang membuat matanya menatap nanar pada layar persegi panjang tersebut.
Pesan dari Arman telah menohok hatinya. Andre tersenyum kecut, berulang kali membaca pesan tersebut. Sayangnya, isi pesan yang dia terima tetap sama.
Semakin Andre membacanya, maka semakin terasa nyeri dalam dadanya.
'Gua harap, suatu saat lu sadar dengan posisi lu sebagai suami.'
"Siapa?" tanya Anggita penasaran. Sebab sedari tadi, Andre tetap fokus menatap layar ponsel seolah tak menghiraukan keberadaan siapapun di sekitar, termasuk dirinya.
"Oh, ini pesan dari Arman." Andre menjawab gugup. Entah mengapa, perasaan gugup saat menjawab pertanyaan Anggita yang sebenarnya sepele selalu mendera hatinya.
Pernikahannya dengan Dewi, benar-benar telah mengacaukan semua kedamaian hidup Andre.
Lihatlah, bahkan sekarang pun Andre merasa tidak tenang saat bersama Anggita, kekasihnya.
Padahal, sebelum dia menikah. Andre dan Anggita sering menghabiskan waktu bersama walau hanya sekadar mengobrol, menikmati makan bersama atau berkumpul bersama teman-temannya.
Namun, sekarang ... saat berdua bersama Anggita saja, Andre telah merasa sangat bersalah. Pikirannya jauh kembali ke kontrakan. Memikirkan aktivitas Dewi yang entah sedang apa.
Andre menghela napas panjang, seolah ingin melepaskan beban berat yang sedang menghimpit dadanya.
"Kamu kenapa, sih? Dari tadi kayaknya enggak nyan banget?" tanya Anggita dengan nada merajuk. Pasalnya, sedari tadi dia merasa tidak diacuhkan oleh Andre. Kekasihnya tersebut sibuk dengan pikirannya sendiri. Padahal biasanya, Andre adalah sosok yang ceria. Namun, tidak untuk saat ini.
Akhir-akhir ini, Andre seringkali murung. Memikirkan entah apa, seperti banyak beban pikiran yang diemban oleh kepalanya yang cerdas.
Ya ... walaupun memiliki kecerdasan di atas rata-rata, jika Andre terus memikirkan hal-hal di luar kapasitas kepalanya. Tetap saja, kecerdasannya tiba-tiba menjadi lemot. Lama untuk berpikir dan waktunya banyak digunakan untuk melamun.
"Ya udah deh, kalau kamu mau pulang sekarang enggak apa-apa. Besok-besok aja kita nontonnya." Akhirnya, itulah keputusan Anggita. Sekuat apapun dia menahan Andre untuk tetap berada di sisinya. Semuanya akan menjadi percuma, jika Andre terus melamun. Pada akhirnya, dia yang akan merasakan kesakitan seorang diri.
Meminta Andre untuk pulang, sekadar istirahat itu lebih baik. Mungkin saja, jika pikiran lelaki itu telah tenang. Dia akan menghubunginya. Anggita masih percaya penuh pada kekuatan cinta mereka. Hanya saja, untuk saat ini mereka butuh waktu untuk menerima keadaan dan status baru, jika Andre bukanlah seorang lelaki single yang dia kenal.
Setelah pernikahan Andre dan Dewi berlangsung, secara otomatis pula lelaki itu telah berubah status menjadi seorang suami. Maka, sudah tentulah Andre memikul tanggungjawab dalam rumah tangganya sampai batas waktu yang telah disepakati. Anggita hanya perlu bersabar, ya ... perlu bersabar.
Biarkan waktu yang akan menjawab semua tanya dalam benak mereka
"Sungguh?" Andre tidak mampu menyembunyikan binar bahagia di kedua matanya.
Tanpa dia sadari, Anggita merasa terluka dengan binar itu. Karena sejak tadi, Andre hanya melamun saja. Barulah binar itu bersinar di wajahnya saat Anggita memutuskan untuk membatalkan acara nonton mereka.
"Iya ... nanti hubungi aku aja kalau kamu udah siap." Anggita mengangguk dalam. Mencoba mencari kekuatan dalam hatinya.
"Makasih banyak, Sayang ...." Andre segera berlalu, tanpa pamit, tanpa lambaian tangan seperti biasanya, bahkan tanpa menoleh lagi untuk sekadar melihat ekspresi Anggita melepas kepergiannya. Dalam pikiran lelaki itu telah dipenuhi oleh wajah Dewi yang menangis, dan membungkam mulut seharian.
Ya, Andre sekarang telah hafal kebiasaan Dewi apabila sedang marah atau memiliki masalah yang dipikirkan wanita itu. Dewi akan bungkam seharian penuh, sampai dia merasa tenang.
Tanpa dipikirkan sebelumnya, Andre sekarang berencana untuk menjadi orang pertama yang mengukir senyum di wajah tembam Dewi saat wanita itu dilanda masalah ataupun sedang merasa kesal.
Andre mengukir senyum di wajah tampannya, kala mengingat senyum Dewi yang manis dengan kedua mata yang menyipit bahkan nyaris terpejam. Andre suka pemandangan baru itu.
***
"Lu tadi ke mana? Kab udah dibilang, tunggu di bawah pohon. Eh, pake ngilang aja." cerocos Monica dari sambungan telepon.
Baru saja Dewi membuka pintu kontrakan saat ponselnya berdering, menampilkan nama Monica di sana.
"Aku langsung pulang. Capek banget." Dewi membalas dengan suara lemah. Dalam otaknya terus terngiang perkataan wanita yang ditemuinya tadi, "cewek gendut."
Dewi menunduk, memperhatikan tubuhnya yang terlihat berisi di mana-mana. Dari sudut manaotaun orang lain memandang, tentulah lemak di tubuhnya terlihat dengan sangat jelas. Lantas, Dewi mencebik. Ada rasa kecewa dan penyesalan dalam hati. Andai dulu orangtuanya setuju dia menjadi atlit seni bela diri, sudah tentulah tubuh itu terlihat cantik dan seksi.
Ah, sepertinya ... penyesalan ini hanyalah sia-sia. Pada kenyataannya, mau bagaimanapun Dewi memohon orangtuanya tidak pernah menyetujui pilihan hidupnya.
"Enggak usah ke mana-mana. Enggak usah jadi terkenal, Mama enggak suka. Lagian, Mama sama Papa engga bisa pisah dari kamu lama-lama." Begitulah alasan kedua orangtuanya dulu. Saat dia terpilih menjadi atlit ke Singapura.
Pada akhirnya, mimpi itu harus dikuburnya dalam-dalam. Melampiaskan semua kecewa pada lahapnya Dewi menyantap semua makanan yang ada. Alhasil, berat badannya naik tanpa bisa dibendung lagi.
Dewi yang bertubuh kecil berubah menjadi Dewi yang bertubuh besar. Kejadian tadi di kampus bukanlah kali pertama dia mengalaminya, sejak memutuskan untuk memasukkan semua jenis makanan ke dalam perutnya, Dewi telah menerima banyak celaan dan hinaan dari temannya.
Selama ini, Dewi acuh pada hinaan-hinaan tersebut. Namun, berbeda dengan hari ini. Saat dia harus direndahkan di depan Andre suaminya, yang bahkan Andre tidak sudi untuk membelanya sedikitpun.
'Aku memang tidak berarti untuknya,' bisik hati Dewi pilu.
"Hei, Wi ... lu masih di sana, kan?" suara Monica membuyarkan lamunan Dewi.
"Eh, iya. Masih, kok."
"Lu udah makan belum?"
"Sepertinya, aku butuh diet." Jawaban dari Dewi membuat kedua sahabatnya tercengang kaget. Termasuk Andre yang tengah berdiri di pintu.
Betapa kagetnya Andre dengan ucapan Dewi yang ingin diet.
'Sesakit itukah yang Dewi rasakan?' tanya Andre dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
🍀 chichi illa 🍒
ya iya lah ndree pasti sakit banget itu hati nya
2022-03-16
1
maura shi
body shaming nih
2021-12-19
0
Shanty Alviani
ini beneran direvisi total ya. perasaan dlu prtama BCA mereka tuh duduk d bangku SMA n critanya gk bgini....
2021-09-15
0