Suasana kampus tetap ramai seperti biasanya. Padahal, kali ini mereka sedang melakukan ujian tengah semester. Tapi tetap saja, banyak diantara mahasiswa yang bersantai-santai dalam mengerjakannya.
"Eh, Wi, gimana tadi UTS? Aku susah banget ngerjainnya. Coba kamu duduk dekat aku, ya?" Monica sangat penasaran dengan jawaban soal Dewi. Seperti ujian sebelumnya, Dewi selalu bisa menyelesaikan dengan baik.
"Biasa aja. Emang susah, sih." Dewi nyengir, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Yah, elu. Biasa juga masih dapat A. Lha, kita-kita dapat apa?" Astri menimpali.
Akhirnya, ketiga sahabat itu saling tertawa melepaskan penat setelah ujian tengah semester berakhir.
"Ke kantin, yuk. Lapar." Ajak Monica yang langsung disetujui dengan anggukan oleh Astri.
Keduanya berdiri, tapi tidak dengan Dewi. Gadis itu masih duduk di posisinya.
Kedua sahabatnya tersebut saling pandang dengan mengangkat bahu penuh tanya.
"Kenapa?" tanya Monica.
"Aku enggak makan ke kantin, ya. Aku menunggu di sana aja." Tunjuk Dewi pada sebuah pohon besar.
"Lha, ngapain duduk di sana sendirian?" Astri bertanya.
"Aku lagi malas makan ke kantin. Ini bawa bekal, kalian makan aja." Dewi menjawab dengan tangan membuka tasnya, merogoh kotak bekal makan siang. Lalu mengeluarkannya, kemudian menyodorkan kepada kedua temannya.
Astri dan Monica kembali salin pandang, penuh tanya. "Kalau gitu, tungguin kita di sana ya ... bentar doang, cuma beli minum. Oke."
"Iya, nanti makan bareng," lanjut Monica.
"Aku beneran lagi gak selera makan. Tadi bawa bekal emang untuk kalian, kok." Dewi masih mencoba untuk menolak ajakan kedua sahabatnya tersebut.
"Ya udah, lu tungguin kita di sana. Gih!" Monica mendorong bahu Dewi, agar segera beranjak pergi.
Dewi berjalan menuju kursi di bawah sebuah pohon yang besar dan rindang. Dia duduk sendirian, menikmati pemandangan lalu lalang mahasiswa di sekitar kampus tersebut.
Kemudian, tanpa sengaja pandangannya tertumbuk pada sepasang kekasih yang tengah berduaan. Mereka asyik berbincang, bersenda gurau. Bagai dunia milik mereka saja, yang lain menumpang termasuk Dewi yang tengah memperhatikan tingkah laku kedua manusia tersebut.
'Kalian memang cocok,' gumam Dewi dalam hati.
Melihat sepasang kekasih tersebut, tanpa bisa ditepis ada rasa sakit yang mendera hatinya.
Rasanya, seperti ada yang meremas dada. Entah ada apa sebenarnya?
'Pantaskah aku merasakan ini? Sedangkan aku tahu hatimu sudah untuk dia.'
Kedua matanya berkaca-kaca, cairan bening itu siap tumpah. Sekuat tenaga Dewi menahannya agar tidak mengalir.
Sesekali Dewi menatap ke atas, mencegah air mata mengalir di kedua pipi. Mengibaskan sebelah tangan demi mengurai kabut yang tercipta di wajah.
'Aku kuat.' Dewi terus menguatkan hati.
Siapa sangka, jika di sana tatapan sang lelaki malah tertuju padanya. Entah dengan tatapan yang seperti apa, Andre memandangnya. Dewi tidak mampu membaca dengan jelas makna yang terkandung dalam tatapan Andre tersebut.
Namun, tiba-tiba pikiran buruk menguasai isi keapla Dewi. Dia takut jika Andre berpikir, Dewi tengah memata-matai hubungan lelaki yang berstatus suaminya tersebut dengan Anggita.
Ah, andai saja Andre tahu. Dewi tidak sengaja melihat kemesraan mereka. Mungkinkah lelaki itu berpikir hal yang berbeda?
'Aku enggak sengaja!' Dewi menjerit dalam hati.
Ingin rasanya, dia melampiaskan segala rasa dalam dadanya. Mengungkapkan segala kisah yang terpendam lama dalam hatinya. Namun, sepertinya percuma, sebab sang lelaki pujaan hanya memandangnya dengan sebelah mata saja.
Dewi berdiri, tidak tahan dengan tatapan taja. yang dilayangkan suaminya tersebut. Lantas, dia pun dengan setengah berlari meninggalkan kursi tempatnya duduk.
Berlari ke mana saja, asal tidak lagi melihat Andre dan Anggita.
Namun, sialnya, tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang. Semua buku yang dibawa Dewi tercecer berantakan.
"Lu, punya mata enggak, sih?" cecar wanita itu. Jarinya menunjuk ke wajah Dewi yang menunduk memunguti buku-bukunya yang berserakan.
"Eh, ku budek, ya? Dasar wanita gendut," lanjut sang wanita tersebut.
Dewi masih menunduk, sampai pada sebuah buku yang diinjak oleh sang wanita yang ditabraknya tadi.
Dewi merasa bersalah, tapi juga tidak merasa bersalah. Karena dia memang tidak sengaja.
"Maaf, gue gak sengaja tadi." Dewi berucap lirih, sembari menarik bukunya yang masih bertahan dalam ijakan sang cewek.
"Enak aja lu. Minta maaf doang. Eh, cewek gendut. Badan lu udah melar ke mana-mana, pipi melebar ke mana-mana, pantas aja mata lu gak ngelihat jalan." Sepertinya wanita berpakaian minim tersebut belum juga puas menghina Dewi.
Mata Dewi memerah, menahan marah, tangis juga malu. Karena menjadi tontonan mahasiswa yang lain. Sepertinya pertunjukan mempermalukan orang lain telah menjadi tontonan yang menarik saat ini.
"Gue beneran minta maaf, karena gak sengaja tadi. Sekarang, tolong angkat kaki lu. Gua mau ambil buku yang lu injak." Dewi masih menahan diri untuk tidak meledak. Dia tetap menunduk, memegang buku di bawah. Pemandangan tersebut seolah Dewi tengah mengemis bersujud meminta maaf.
"Eh, apa-apaan ini?" Terdengar seseorang menyela aksi mereka. "Bubar .... bubar ...!"
"Huuuuuu" Sorak sorai para penonton yang kecewa, lalu membubarkan diri satu per satu.
Dewi mendongak tampak Arman berdiri di sampingnya. Kemudian lelaki itu tidak segan membantu ya berdiri. Sejenak mereka saling bertatapan.
Dewi mengalihkan pandangan, tak jauh darinya, tampak Andre tengah berdiri bersisian dengan Anggita yang merangkul lengan lelaki itu erat.
Dewi menghela napas dalam, tidak ingin menambah masalah. Tidak pula ingin berlarut dalam sakit yang didera hatinya..
Dewi tersenyum pada Arman, yang dibalas senyuman pula.
Lantas Arman kembali membungkuk, mengambil buku yang sebelumnya diinjak oleh sang wanita yang ditabrak Dewi tadi.
"Gue mewakili dia, minta maaf atas ketidaksengajaan ya tadi." Arman berucap tulus. Menatap hangat pada sang wanita.
"Emang dia siapanya elu?" tanya wanita itu ketus.
"Ini Dewi, temen gua. Dia terburu-buru tadi, makanya gak lihat kalau ada lu di depannya."
"Oke." Wanita itu pun berlalu meninggalkan Dewi dan Arman. Sekilas matanya melirik ke arah Andre dan Anggita yang masih memperhatikan mereka, seulas senyum tipis dia layangkan kepada Andre dan Anggita.
"Makasih, ya Kak. Udah tolongin aku." Dewi berucap lirih sembari menerima uluran buku dari tangan Arman.
"Gak masalah, kalau ada apa-apa kamu bisa bilang ke aku. Oke." Arman tersenyum. Dewi membalas senyuman Arman dengan tulus.
Di tempatnya berdiri, Andre menatap kedua orang itu dengan tatapan bingung. Sejak kapan, Arman sahabatnya dan Dewi istrinya saling akrab satu sama lain?
Andre menerka-nerka kemungkinan yang terjadi. Saat taruhan itukah? Atau saat lamaran di kantin? Atau saat resepsi pernikahannya?
Tanpa disadari Andre, sedari tadi Anggita telah memanggil-manggil namanya.
"Ndre ... Ndre ... Sayang ...!"
"Eh, iya?" Andre membalas gugup. Sejenak tatapannya beralih pada Dewi yang ternyata tengah menatapnya.
Menyadari Anggita memanggil dengan panggilan 'sayang', ada yang tak nyaman di hatinya.
Menangkap raut sedih yang ditunjukkan Dewi padanya. Ada apa dengan Dewi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Tulip
sabar wi, arman dukung lo
2022-08-24
0
dian rahma
adakah kisah lalu antara Dewi dan andre?? atau hanya Dewi yg udh merhatiin Andre sejak lama dan menyimpan perasaan untuknya.
2021-06-05
0
Pertiwi Tiwi
diet dewi
2021-04-25
0