Tiga hari berlalu begitu saja terlewati. Sepasang pengantin baru yang seharusnya saking bermesraan, malah sebaliknya. Mereka seperti orang asing yang tidak saling mengenal.
Duduk di bangku penumpang dengan jarak saling berjauhan. Sama-sama duduk di pinggir pintu, sehingga tersekat jarak kosong di antara mereka.
Selama perjalanan, mereka tidak saling bicara. Tidak saling memandang, tidak pula saling tersenyum seperti pasangan pengantin kebanyakan. Mereka lebih seperti dua orang yang saling bermusuhan.
Sebelumnya, Andre dan Dewi telah sama-sama menerima pernikahan ini. Walaupun tidak ada kontak fisik lebih lanjut di antara keduanya. Namun, mereka telah sepat untuk menerima hubungan dan status baru ini.
Namun, sebuah panggilan yang masuk pada ponsel Andre merubah segalanya. Dia kembali menjadi sosok dingin dan cuek.
Anggita menelpon, mengabarkan tentang kerinduan pada sang kekasih yang telah beberapa hari tidak berjumpa.
Seperti alarm, telpon dari Anggita mengingatkan hubungan mereka dan asal mula pernikahan ini terjalin.
Taruhan, hanya taruhan saja. Dan peneikajan mereka akan segera berakhir. Setidaknya, hanya butuh satu tahun ke depan hingga pernikahan mereka selesai.
Bukankah sepatunya, dia tidak membuka diri pada Dewi?
Andre harus ingat tujuan awal pernikahan mereka.
Sampai pada akhirnya, Andre marah saat mendapati Dewi naik ke ranjang untuk membaringkan diri.
"Lo, pindah ke sofa. Atau pergi saja sekalian. Gua gak suka liat tampang Lo itu. Lemak di mana-mana, tubuh Lo itu membuat gue mual." Usir Andre berang.
Dewi terkejut mendengar perkataan Andre. Padahal baru saja mereka menonton televisi bersama. Tertawa bersama. Tidak menyangka jika Andre tiba-tiba berubah seperti sekarang.
Dewi beringsut mundur, menuju sofa tanpa bicara. Wajahnya telah basah bersimbah air mata. Rasa sakit itu menjalar ke dalam tubuh seperti penyakit yang menggerogoti dirinya.
Sampai pagi hari, Dewi diam tak lagi bersuara. Dia hanya menggeleng dan mengangguk saat Andre menanyakan sesuatu atau mengajaknya bicara.
Dewi, tidak mau mendengar Andre berkata kasar lagi padanya. Dia harus menutup telinga rapat-rapat, agar tidak mendengar kemarahan itu.
"Dew, baju gue mana?" tanya Andre saat mereka tengah bersiap pulang.
Dewi tidak bersuara. Dia langsung menghentikan aktivitasnya menyusun baju ke dalam koper. Menghampiri Andre, membuka koper milik suaminya. Mengambil kaus tanpa sepatah kata.
Setelah itu, Dewi langsung kembali menyibukkan diri dengan apapun.
Andre berdecak kesal, mendapati Dewi yang bungkam seperti mayat hidup.
"Dew, ambilin gua minum. Haus." Andre berubah menjadi majikan sok perintah. Memberi perintah kepada Dewi ini itu.
"Dew, ambilin sepatu gue."
"Dew, kopernya bawa semuanya."
"Dew, pesan taksi sekarang."
"Dew, duduk di sana."
Dewi menuruti semua perintahnya tanpa membantah, tanpa kata. Persis budak yang mengikuti perintah tuannya.
Mereka tiba di kontrakan. Setelah menikah, Andre meminta agar mereka langsung mengontrak sendiri.
Selain karena ingin dekat dengan kampus, Andre tidak ingin keluarga mereka curiga dengan hubungan pernikahan mereka yang tidak biasa.
Kontrakan ini terbilang sederhana, terdiri dari tiga pintu. Kontrakan mereka tepat di pinggir, dengan dua pintu yang lain.
Satu kontrakan ini terdiri dari empat ruangan. Dapur, kamar, kamar mandi dan kamar tamu.
"Susun semua dalam satu kamar. Gue tidur di kamar ini, lu tidur di depan." Andre memberi penjelasan singkat.
Dewi hanya bergeming tidak merespon. Tidak menolak, Tidka pula mengiyakan. Dia masih berdiri di pintu kamar yang hanya di tutupi gorden saja tanpa daun pintu.
Sebenarnya, kedua orangtua Dewi meminta mereka tinggal di sebuah ruang yang lebih layak dari ini.
Namun, Andre menolak. Dengan alasan, ingin bertanggung jawab sepenuhnya pada pernikahan mereka. Dan dia ingin belajar mandiri.
Sebenarnya, Andre tidak peduli apakah Dewi bisa bertahan hidup miskin atau tidak?
Bahkan dia sangat berharap, Dewi akan lelah dan meminta cerai lebih dulu padanya karena tidak bisa hidup miskin seperti ini.
Bagaimanapun, Dewi adalah seorang anak dari keluarga kaya dengan fasilitas yang memadai.
Anehnya, Dewi mau menerima tinggal di kontrakan kecil ini. Bahkan sangat jauh dari kehidupan mewah yang biasa dia terima. Tanpa penolakan.
"Ngapa Lo, masih berdiri di situ? Enggak suka tidur di luar. Mau tidur barengan. Ha?"
Dewi menggelang, segera dia menuju dapur. Memasak air berniat membuatkan kopi untuk Andre, suaminya.
"Dasar, aneh. Dari kemarin diajak ngomong, diam terus. Kayak patung berjalan," gerutu Andre, lalu merebahkan diri di kasur.
Di dapur, Dewi kembali menangis. Bukan ... bukan kehidupan miskin ini yang dia tangisi. Dia sedang meratapi diri, sampai kapan Andre akan bertahan hidup dengannya di tengah hubungan lelaki itu bersama kekasihnya. Lantas di mana posisi dia saat ini?
Setelah menyeduh kopi, Dewi memberikannya kepada Andre yang sedang menghadap layar ponsel. Dewi meletakkan di meja, kemudian langsung keluar.
Beberapa menit berlalu, Andre baru menyadari jika rumah ini sepi. "Ke mana perginya si Dewi?"
Andre menuju dapur, kosong. Membuka kamar mandi, kosong.
"Apa dia sering hilang, sih? Badan gendut begitu, kok bis agak kelihatan ya? Ke mana dia?"
Andre berdiri di pintu. Mencari kontak bernama Dewi, lalu menghubungi.
"Sial, mana gak bawa hp lagi?"
Andre mondar mandir di depan pintu kontrakan. Ingin bertanya pada penghuni di sebelahnya, tapi merasa enggan.
Akhirnya, dia pun memutuskan menunggu berdiri di depan. Rasa pegal mulai terasa di kedua kakinya. Lumayan lama dia menunggu. Namun, sosok Dewi belum juga muncul.
"Ya ampun, Dew. Kalau lu ilang, gimana gua ngomongnya sama bokap Lu. Bisa-bisa gua ditembak di tempat." Andre mengacak rambut frustrasi.
Sekitar satu jam Andre berdiri di depan pintu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Dengan membawa beberapa bungkus plastik di tangan.
Dahi Andre berkerut bingung. Tidak menunggu lama, dia pun memberondong pertanyaan kepada Dewi saat wanita itu telah berada di hadapannya.
"Dari mana, Lu? Lu enggak tahu, gua nyariin dari tadi. Mana hp enggak bawa lagi? Lu sengaja ya?"
Betapa kesalnya Andre, saat pertanyaan-pertanyaannya malah diacuhkan oleh Dewi.
Dewi berlaku masuk ke dalam rumah, tanpa berniat menjawab satu pun pertanyaan darinya.
Dengan bodohnya, Andre mengikuti langkah Dewi dari belakang. Mengambil kantong-kantong plastik di tangan wanita itu. Lalu meletakkannya di meja dapur.
"Lu budek, ya?!" Suara Andre mulai meninggi. Kesabarannya tadi mulai terkikis kala mendapati Dewi tetap bungkam.
Dewi membuka bungkusan tersebut, mengeluarkannya lalu memasukkannya ke dalam kulkas.
Berbagai sayuran dan buah, serta bumbu-bumbu memenuhi isi dalam kulkas.
Sebenarnya, hanya dengan melihat saja Andre tahu ke mana perginya Dewi tadi. Hanya saja, dia merasa kesal dan marah, karena Dewi tidak bilang mau pergi. Padahal, dia tidak akan keberatan jika Dewi memintanya menemani.
Namun, Dewi memilih pergi tanpa katam Dan pulang tanpa kata.
Tidak, lebih tepatnya, sepulang dari hotel bahkan sedari semalam Dewi tidak berbicara sama sekali. Walaupun sekadar senyum pun tidak.
'Ada apa dengannya?' batin Andre bertanya.
Kesadarannya mulai terusik dengan tingkah Dewi yang tidak biasa. Diam sepanjang waktu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
mom's ana
iiihh cungur lu nyebelin..gue tabok pake sendal
2022-02-27
0
mom's ana
laki kere so soan lu...liat aja tar kalo kurus..lo dijamin nyesel dan jadi gembel yg haqiqi
2022-02-27
0
Hidayati Wiwid
dewi rubah penampilan supaya andre ngemis cinta ke dewi
2022-01-08
0