Istri Taruhan
"Gimana, Bro ...? Jangan lupa janjimu. Waktumu tinggal besok untuk melamar cewek itu." Celoteh Arman membuat Andre sebal.
Mau tidak mau, lelaki jangkung itu harus teringat akan permainannya dengan teman satu ganknya. Perasaan menyesal menyeruak dalam dada.
Bisa-bisanya dia kalah hari itu. 'Sial ... sial ... sial ...' Andre mengerang frustrasi.
Tentu saja itu hanya dalam hati saja. Dia tidak mau jika harus ditertawakan oleh sekawanan mereka karena tahu dia menyesal.
Menyesal luar biasa. Pertama, karena Andre kalah dalam permainan. Baginya, itu adalah kesiapan hakiki yang dia alami. Kedua, karena sesuai kesepakatan. Jika dia kalah, melamar cewek paling 'enggak banget' di kampus adalah hukumannya. Ketiga, Andre sedang menjalin hubungan asmara dengan Anggita. Sang primadona kampus.
"Ingat, kalau cewek itu lamaran lu. Lu harus siap nikahin dia." Penegasan dari Bobi, si rambut gondrong semakin membuat Andre gila.
Andre mangacak rambutnya asal. Rambut yang acak-acakan dengan wajah yang cemberut, malah semakin membuatnya menawan.
Ah, andai Andre tahu. Penampilannya saat ini semakin mengundang para pengunjung kantin melirik ke arahnya. Yang tentu saja membuat Anggita cemburu, karena harus menyaksikan pacarnya dilihatin para cewek tanpa kedip.
Sadar akan kehadiran Anggita, Andre menoleh. Lantas melambaikan tangan ke arah gadis cantik tersebut.
"Hai ... Sayang ...." Andre berdiri menyambut sang pacar yang berjalan ke arahnya.
"Eh, awas lu pada. Cewek cantik gua mau duduk.
Arman dan Bobi saling menatap, memberi kode. Lalu bersamaan menyapa Anggita.
"Hai ... Gita!" Mereka berdua kompak menyengir kuda, menampakkan geligi putih di balik cengiran.
Andre menggelengkan kepala melihat tingak kedua temannya tersebut. Tangannya masih terukur menyambut kedatangan sang kekasih.
"Hai ...." Anggita menyambut sapaan kedua teman Andre. Tangannya menyambut uluran tangan sang pacar.
Kemudian mereka duduk berempat dengan posisi berhadapan di meja tersebut.
Andre tak melepas genggaman tangannya dengan Anggita.
"Mau pesan apa, Sayang?" tanyanya lembut.
"Samain aja." Anggita membalas dengan suara yang tak kalah lembut.
Bobi berdehem kencang yang di sambut rengutan oleh Andre.
"Anggita, jangan lupa ingetin pacar lu tentang hukumannya. Tinggal besok harinya. Kita tunggu, ye kan, Man?" Bobi menyenggol bahu Arman, yang sontak dibalas anggukan.
"Sayang, kamu beneran mau ngelamar cewek itu. Udah ditentukan ya ceweknya?" Anggita bertanya dengan wajah memelas.
"Gimana kalau cewek itu nerima lamaran kamu? Aku enggak bisa terima." Anggita menundukkan wajah. Matanya mulai terasa panas. "Aku ... enggak bisa bayangin hidup tanpa kamu, Ndre ...." Pertahannya jebol, dia pun menangis.
Tak tahan melihat reaksi Anggita, Andre menarik kepala wanita yang dicintainya itu ke dalam pelukan. "Semua akan baik-baik aja. Enggak akan berubah dari hubungan kita."
Sejenak, suasana di sekitar mereka menjadi hening. Ke empat mahasiswa itu sibuk bermain dengan pikiran masing-masing. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang.
Tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka, hanya dentingan sendok yang saling beradu dengan piring. Sampai makan selesai, lantas mereka pun kembali ke kelas karena masih ada jadwal kelas terakhir.
Di dalam kelas. Pikiran Andre tak bisa fokus. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang sibuk menari dalam kepala.
Tubuhnya duduk di bangku, tatapannya juga fokus ke depan papan tulis. Namun, tidak dengan pikirannya.
'Gimana kalau cewek itu nerima lamaran gue. ******, dah!'
'Kenapa siap bener sih, nasib gue kali ini? Biasanya memang juga balapan motor ama mereka, eh, pake acara kalah.'
"Sepertinya, ada yang menggunakan kelas saya sebagai ajang melamun." Suara pak Reno tak juga mengusik lamunan Andre.
"Ndre ... Ndre ..." Arman menepuk bahu Andre, sekali ... dua kali ... sampai tepukan ke tiga, barulah Andre terbangun dari lamunan.
Karena kaget, Andre sontak berdiri dari kursi. Lantas mengambil tas yang diletakkan di lantai, mencangklongnya. Lalu berjalan ke depan kelas begitu saja. Tanpa mengindahkan suara Arman yang memanggil.
Sontak semua mahasiswa yang berada di kelas memperhatikan tingkah polah Andre. Dengan menahan tawa, kelas seketika menjadi riuh.
"Eh, kamu mau ke mana? Kelas saya belum selesai." Hardik Pak Reno menyadarkan kecerobohan Andre.
Seketika lelaki jangkung itu pun mengangguk, melirik ke arah Arman yang tengah menahan tawa di bangku belakang.
'Ah, sial!' rutuknya dalam hati.
"Eh, itu ... Pak, saya mau ke toilet sebentar. Udah kebelet banget, Pak." Andre menjawab asal demi menghilangkan malu.
"Mau ngilangin pikiran mesum itu, Pak ...." celetuk salah seorang temannya sekelas. Yang dibalas gelakan tawa teman yang lainnya.
"Sudah ... sudah ... Diam!" Pak Reno memukul meja. Sontak membuat seluruh mulut terdiam, terkatup rapat. Seperti terkunci seketika.
"Kamu ...." Pak Reno menunjuk wajah Andre yang memerah. "Kembali duduk. Di depan." Kemudian jarinya menunjuk salah satu bangku kosong yang ada di depan.
Andre menurut, tanpa bisa membantah. Dia pun duduk dengan menahan malu. Sekilas menoleh ke belakang, mengepalkan tinju ke arah Arman yang tertawa di sana.
"Awas lu."
****
Hari yang ditunggu oleh Bobi dan Arman pun tiba. Tidak sabar rasanya mereka berdua menyaksikan pertunjukan Andre hari ini.
Sekuat tenaga dua sejoli itu menarik keras tangan Andre agar menemui sang cewek yang jadi sasaran taruhan.
Dengan terpaksa Andre mengikuti kemanapun kedua temannya itu membawanya. Dalam hati dia terus melantunkan doa, agar si cewek menolak lamarannya hari ini.
Mereka bertiga menuju kantin tempat di mana sang cewek tersebut sedang menikmati santap siang bersama teman-temannya.
"Dewi ...!" Bobi memanggil nama sang cewek penuh semangat.
Dewi menghentikan tawanya. Seketika, sorotan penuh tanya dari temannya pun mengusik kesadarannya.
"Nama kamu Dewi, kan?" Kembali, Bobi bertanya memastikan.
Dewi hanya menjawab dengan anggukan. Tatapannya fokus dengan menyimpan tanya ada apa?
"Iya, nama cewek ini, Dewi. Ada apa ya?" Salah seorang teman Dewi bertanya mewakili yang lain.
"Lu siapa?" Bobi mengerutkan dahi, balik bertanya.
"Gue, Amika. Temen Dewi. Di sini gue mewakili dia untuk bertanya, ada perlu apa kalian mencari Dewi."
"Ooh, Amika. Temen Dewi." Bobi manggut-manggut, diikuti Arman. Sedangkan Andre hanya diam membuang pandangan.
"Gini ... ini Andre, temen gua. Dia yang ada perlu sama temen lu, si Dewi." lanjut Bobi sok bijak.
"Ndre ...." Arman berbisik kepada Andre.
Tentu saja, Andre masih bergeming. Masih membuang pandangannya asal. Rasanya ingin segera berlari dari sini.
"Bisa diganti aja gak?" Akhirnya mulut rapat itu pun bersuara dengan wajah memelas.
Andre membuang semua egonya sekarang. Meletakkan harga dirinya entah kemana. Cap dari temannya sebagai pecundang tak lagi dihiraukan.
"Enak aja. Udah di sini juga. Ayo ...." Bobi membalas tegas.
Dengan ogah-ogahan, Andre menatap cewek yang bernama Dewi yang tengah menatapnya tak berkedip.
Rasa risih menyelimuti dirinya. Namun, janji tetaplah janji. Walaupun Andre telah membuang harga dirinya, tetap saja ... kedua temannya tersebut tak mau jika dirinya mengingkari janji.
Akhirnya dengan nada yang sangat pelan dan dengan perasaan yang campur aduk, Andre pun berucap pelan.
"Dewi, maukah kamu menikah denganku?"
Duar!
Bagai petir di siang bolong, tanpa hujan atau pun angin yang menyambar hati Dewi saat itu juga. Dia bingung harus menjawab apa, tidak menyangka karena lelaki itu mengajaknya menikah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Tulip
gak boleh dewi jdkan taruhan ntar dia berubah cantik kalian nyesal
2022-08-24
0
Ita Imus
nah lohhhh
2022-03-13
0
Meylin
ko langsung di tanggapi Sih kenal juga kaga🥴
2022-01-25
0