Kontrakan sempit itu kali ini tampak ramai. Di dapur, Dewi semangat memasak berbagai hidangan.
Sedangkan di ruang tamu, tampak teman-temannya tengah mengobrol ria.
Syukurlah, tidak sulit untuk meminta izin kepada Andre, suaminya. Saat kemarin Dewi bilang jika teman-temannya akan datang, Andre mengangguk begitu saja.
Tidak ada penolakan apalagi perdebatan. Sejujurnya, Dewi ingin bertanya kenapa Andre begitu mudahnya memberikan izin kepadanya?
Namun, mulutnya seakan terkunci. Tak mampu mengeluarkan kata-kata. Hanya ucapan makasih yang mampu terlontar dari lisannya.
Sebelum temannya datang, Andre telah keluar sedari pagi. Tidak juga berniat mengantarkan Dewi ke pasar sekadar belanja kebutuhan.
Inginnya, Dewi tak ambil pusing. Namun, siapa yang bisa menahan rasa khawatir yang merongrong dadanya. Pasalnya, beberapa hari ini suaminya itu tampak berbeda. Lelaki itu menjadi lebih pendiam dari biasanya, dan ... tampak sering melamun. Wajahnya pun murung.
Entah karena alasan apa, Dewi belum menemukan jawabannya. 'Mungkin nanti akan aku tanyakan pada Kak Arman,' tekadnya dalam hati.
Lantas, Dewi pun membeli segala kebutuhan untuk menu makan siang dan cemilan menyambut ke tiga sahabatnya.
Dan ... di sinilah Dewi sekarang. Di tempat favoritnya, dapur. Meracik semua bumbu untuk menghidangkan makanan yang istimewa.
Setelah selesai, Dewi pun bergegas menyiapkan makanan di ruang tamu.
Yaa, ruang tidurnya khusus hari ini telah di sulap menjadi ruang tamu.
Dewi sangat berterimakasih kepada Andre yang mau membantunya pagi-pagi sekali. Membereskan rumah kontrakan mereka.
"Waahh, harum sekali masakanmu ini, Wi. Rotinya juga enak banget lho," puji Amika dengan sepotong bolu di tangan kanannya. Tidak menunggu sekedipan mata, bolu di tangannya langsung dilahap habis. "Hmmm." Amika mengacungkan dua jempol. Lalu mengambil puding.
"Banget ... kumpul begini terus, kita bisa gemuk ini. Hahahaha," celetuk Monica tak kalah seru.
"Buka warung makan aja deh, atau catering gitu. Pasti laris." Astri menimpali. Yang langsung mendapat anggukan setuju dari ke dua temannya yang lain.
"Bener itu." Monica menelan puding di mulutnya dengan paksa, sampai terlihat batang lehernya bergerak turun. Namun, tiba-tiba dia tersedak, lantas terbatuk-batuk.
Dewi mendekati Monica, lalu menepuk-nepuk punggung sahabatnya tersebut. Sedangkan yang lain, tertawa terbahak melihat tingkah Monica yang terkesan konyol.
"Makan tuh, jangan sambil ngoceh. Telen dulu, baru ngomong," celoteh Astri dengan gelak tawa.
"Huss, temen lagi kesakitan diketawain." Amika menyela.
Dewi tidak banyak bicara, dia mengambilkan minum lalu membantu Monica minum air dalam gelasnya. Setelah itu, Dewi pula yang meletakkan gelas yang kosong tersebut.
"Dewi kenapa?" Amika yang melihat perubahan sikap Dewi, menyenggol lengan Astri dan berbisik.
Astri menoleh pada Dewi yang berjalan ke dapur, lantas mengedikkan kedua bahu tanda tidak mengerti apa yang telah terjadi.
"Udah, dia udah jadi istri orang. Jangan langsung bertanya apalagi kalau itu urusan rumah tangganya. Gak sopan." Monica mengibaskan tangan di antara Monica dan Astri.
Mereka berdua serentak berseru. "Huuuu! Sok bijak, lu."
"Emang." Monica membalas cuek seruan kedua sahabatnya tersebut.
Di dapur, Dewi merasa gelisah. Hatinya tidak tenang dengan pikiran ke mana-mana memikirkan Andre. Entah apa yang terjadi, dia sendiri tidak mengerti. Hanya saja, pikirannya itu selalu tertuju pada suaminya.
Setelah menyimpan menu makan siang untuk Andre. Dia menuju kamar. Ingin menghubungi Andre, tapi ragu.
Beberapa saat menimbang, menelepon atau tidak. Berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali menggigit jarinya.
Dewi memutuskan untuk menghubungi Andre, sekadar mengecek keadaan suaminya tersebut.
Pada panggilan ke dua, Andre menjawab panggilannya.
Dewi bernapas lega mendengar suara Andre di seberang sana.
"Halo! Kenapa, Dew?" tanya Andre.
"Ha-halo, Kak." Entah kenapa, pikirannya tiba-tiba menjadi buntu. Padahal baru semenit yang lain, pikirannya menggebu ingin menghubungi lelaki itu. Namun, setelah mendengar suaranya, Dewi malah bingung harus bicara apa.
"Iya, ada apa, Dew?" tanya Andre lagi.
"Ka-kakak, di mana?" tanya Dewi. Jantungnya kini berdegup kencang tidak mampu di kontrol.
"Lagi sama Arman, di kampus. Temen-temen kamu masih di rumah?"
"I-iya, masih." Kedua mata Dewi membola, mendengar Andre mengatakan "kamu" padanya. Ini pertama kalinya, lelaki itu mengatakan "kamu." Biasanya selalu menggunakan "lu-gua."
"Dew ... masih di sana?" Suara Andre mengagetkannya.
"Iya, Kak."
"Ada apa, tumben nelpon? Bentar lagi aku pulang, sama Arman ya ke rumah. Sekalian kumpul sama teman kamu. Boleh?"
"Boleh ...!" Tidak bisa ditahan lagi, Dewi berseru riang menyambut niat Andre padanya.
"Iya, bentar lagi. Aku mau bimbingan dulu, doakan ACC ya. Biar bisa cepet ujian."
"Aamiin."
"Daah."
"Daah."
Dewi memeluk ponselnya erat, meletakkan tepat di dada kirinya. Jantungnya masih bergemuruh, seiring senyuman di wajah.
Dewi keluar kamar, tidak lupa dia meletakkan ponselnya di kasur. Senyumnya masih bertahan manis di wajahnya.
Ketiga sahabatnya terheran, melihat ekspresi Dewi yang tiba-tiba berubah drastis. Sedari tadi, Dewi hanya cemberut saja. Sangat berbeda dengan sekarang yang tersenyum bahagia.
"Wi ...." Amika memanggil Dewi lirih. Dia mencondongkan wajah, agar dapat melihat senyum Dewi dengan jelas. Tampak rona merah di kedua pipi tembam itu. "Lu, enggak kenapa-kenapa, kan?"
"Eh, apa?" Mata Dewi menatap ke enam pasang mata yang menatapnya fokus penuh tanya. "Enggak ... enggak apa-apa, kok."
"Oohhhhh." Ketiga gadis itu pun kembali menikmati hidangan mereka seperti tidak terjadi apapun.
"Hmm, itu kak Andre bentar lagi pulang sama kak Arman."
"Oohh!" Lagi, mereka menjawab dengan serentak.
Amika mengode Dewi, menyiratkan tanya pada apa yang telah Dewi ucapkan.
Dewi mengangguk, seperti kesepakatan mereka berdua. Hubungan Amika dan Arman masih menjadi rahasia di antara mereka berdua saja.
Satu jam berlalu, mereka menghabiskan makanan yang dihidangkan tidak bersisa. Untung saja, Dewi telah menyisihkan makanan untuk Andre. Jika tidak, sudah tentulah suaminya itu tidak akan kebagian sedikit pun.
Terdengar suara ketukan di pintu. Buru-buru Dewi berjalan untuk membukanya.
Sebuah senyuman menyambut kedatangan Andre dan kedua temannya.
"Kalian duduk dulu, ya. Sorry, sempit. Kalau kurang lebar lu pada duduk di luar aja," ucap Andre dengan seringai menggoda.
"Yeee, niat kagak sih ngajakin kita?" Bobi menyela, merasa tidak setuju dengan ucapan Andre.
"Siapa yang ngajak, lu pada yang mau ikut." ketus Andre.
"Sudah ... sudah ... malu dilihatin cewek-cewek." Arman berbicara menjadi penengah. Andre masuk diiringi kedua temannya.
"Gua ke kamar dulu, ya." Andre berbicara pelan, seraya berlalu masuk kamar. Matanya mengode Dewi agar mengikuti langkahnya.
"Ck. Iya ... mesraan teruuss!" seru Bobi.
Semua orang tertawa mendengar seruan Bobi tersebut. Wajah Dewi telah merah padam. Sedangkan Andre tidak acuh pada mereka. Dia menarik tangan Dewi untuk segera masuk ke kamar.
Sesampainya di kamar, Andre menutup pintu lalu menguncinya.
Tanpa kata, Andre memeluk Dewi erat. Entah karena alasan apa, Andre ingin sekali memeluk istrinya kali ini. Menumpahkan segala rasa yang dia miliki.
"Makasih ya," ucapnya lirih.
Dewi mengangguk dalam rengkuhan Andre. Tubuhnya masih tegang mendapatkan perlakukan yang berbeda dari suaminya tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Rumi Pemalang
kapan dibikin kurus thor,masa gendut peran utamanya 😀bikin biar andre klepek-klepek sama dewi
2022-04-16
0
la beneamata
temanya bagus,tapi maaf ngk aku kasih like,terlalu bertele2 crtanya
2021-10-12
0
Dewi Ariyanti
lulus andre y
2021-05-09
0