Suasana hening menyelimuti sepasang pengantin baru itu.
Dengan perasaan kikuk, Andre menghadap punggung Dewi. Tangannya terulur menyentuh gaun putih itu.
Rasa dingin mengalir ke sekujur tubuh. Andre tiba-tiba merasa menggigil. Degup jantung berpacu hebat. Sekuat tenaga dia tahan desiran gairah dalam dadanya.
Perlahan, tangannya turun membuka resleting panjang itu. Punggung Dewi mulai ter-ekspos seiring semakin turunnya tangan Andre ke bawah.
Sesekali kulit lelaki itu bersentuhan dengan kulit polos sang Dewi. Kepalanya sejenak terasa pening. Menahan gejolak dalam dada.
Suhu ruangan yang semula dingin, tiba-tiba menjadi panas. Sepanas aliran darah.
Detik waktu terasa begitu lama berjalan. Padahal, Andre ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini.
'Aku bisa gila kalau begini terus,' gerutunya dalam hati.
Setelah usai, Andre bernapas lega. Rasanya, beban ber ton-ton telah hilang begitu saja dalam dadanya. Plong!
Dewi langsung ke kamar mandi, menutup pintu dengan kencang. Mungkin sangking terburu-buru nya.
Saat Andre menoleh, badan besar itu telah hilang ditelan pintu. Lelaki itu menggelang, mengelus tengkuk kemudian bergidik ngeri membayangkan jika dirinya harus bergulat malam ini dengan Dewi.
"Ya Tuhan! Kayaknya aku belum sanggup. Tapi, kenapa bayangan punggung nya tadi enggak hilang-hilang. Sialan!" Andre terus mengoceh, sedangkan badannya berguling-guling di ranjang.
Tangannya sesekali mengacak rambutnya. Dia benar-benar seperti orang gila. Pikirannya terus berpikir yang aneh-aneh tentang Dewi dan dirinya. Namun, sekuat tenaga hatinya memberontak. Sesuatu yang tidak sinkron dalam dirinya.
Tanpa sadar, Dewi telah berdiri mematung di samping ranjang memperhatikan tingkah polah Andre.
Dewi menarik-narik baju tidurnya malam ini. Sebuah baju minim di atas lutut berwarna merah. Membuat tubuhnya terlihat di mana-mana.
Gugup bercampur malu menguasai hatinya saat ini. Dewi bingung harus melakukan apa?
Saat Andre membuka mata, betapa terkejutnya dia menyadari Dewi berdiri di samping ranjang.
"Ap-apa yang Lu lakuin, ha?!" Andre bertanya sarkas. Sejujurnya, dia gugup melihat penampilan Dewi yang menggoda.
"Ma-af ...." Air mata Dewi mengalir membasahi ke dua pipinya.
Andre bertambah bingung sekaligus merasa bersalah melihat respon Dewi yang menangis. Lama kelamaan, tangis Dewi terisak-isak.
"Maaf ... maaf. Gue gak bermaksud marahin Lo, Dew." Andre berdiri, menarik Dewi dalam pelukannya. Seketika tangisan Dewi pun pecah hingga membasahi kaos yang dikenakan Andre.
"Sudah, dong ... nangisnya, Dew. Gue enggak sengaja ngebentak tadi." Dewi sesunggukan. Kemudian tangisnya berhenti.
Dewi menarik diri dari pelukan Andre. Mengusap wajahnya yang basah sampai kering.
"Maaf, aku gak ada baju ganti yang lain. Jadi ... jadi terpaksa pakai baju ini untuk tidur." Dewi berbicara di sela isakan. Pandangannya menunduk fokus pada lantai yang berlapis karpet tebal.
"Iya ... iya, gua minta maaf. Hmmm, malam ini kita tidur di ranjang itu."
Dewi langsung mendongak, matanya terbelalak, sepertinya terkejut mendengar penuturan Andre.
"Maksud gua, kita tidur di ranjang yang sama. Tapi gua janji enggak akan ngelakuin itu sekarang." Dewi melongo mendengar penjelasan Andre.
"Lo ngerti maksud gua, kan?" Andre duduk di tepi ranjang, mengusap wajah. Melihat ekspresi Dewi, dia pun menjadi ragu. Apa yang sebenarnya akan terjadi pada pernikahannya?
Padahal, sudah jelas Andre telah berjanji pada Anggita bahwa pernikahan ini hanyalah sementara saja. Namun, mengapa hatinya diselimuti keraguan?
"Mak-maksudnya?" Dewi bertanya dengan wajah polos.
"Pernikahan kita itu, mendadak banget. Dan, sebenarnya alasan gua melamar Lo waktu itu ... karena ... karena ...?" Andre sangat bingung mengatakannya.
Namun, detik kemudian suaranya terdengar begitu lirih melanjutkan kalimatnya. "Kalah taruhan."
"Oohh ...." Hanya itu yang keluar dari mulut Dewi.
Andre terkaget mendengar tanggapan Dewi. Apa maksudnya?
"Maksud, Lo?" Dahi Andre berkerut bingung. Menunggu kelanjutan dari kalimat Dewi, tapi sia-sia. Karena wanita itu merapatkan mulutnya, seolah telah terkunci rapat.
Dewi memutari ranjang, sampai di ujung, dia pun segera naik. Berbaring di pinggir, lalu menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya, termasuk kepala.
"Dewi, apa maksudnya jawaban Lo tadi?" Andre bertanya dengan menuntut. Dia sangat tidak sabar menanti kelanjutan dari kalimat Dewi tadi.
Hening, Dewi tidak merespon. Hanya terdengar helaan napas panjang dari balik selimut itu.
'Apa dia nangis lagi?' batin Andre bertanya-tanya.
Tangannya terulur hendak membuka selimut itu, ingin melihat apa yang terjadi di dalam sana. Namun, dia urungkan. Tidak berani.
Aneh rasanya melakukan kebaikan itu, walaupun Dewi sekarang adalah istrinya. Hanya saja, semua ini masih terkesan sangat aneh dan membingungkan.
"Tenang aja, Kak. Aku enggak akan berharap lebih kok dari pernikahan kita ini. Aku tahu diri. Sampai ... hati kita masing-masing yang memutuskan. Kakak yang akan menerimaku sepenuhnya, atau aku yang akan berlari dari kehidupan Kakak." Dewi berkata pelan dari dalam selimut, tapi masih terdengar jelas oleh Andre.
"Sebelum itu semua, biarkan aku melayani keperluanmu sebagai istri. Dan ... jangan sampai orangtuaku tahu tentang kita," lanjut Dewi. Kemudian suaranya menghilang tidak terdengar lagi.
Malam ini mereka melewati malam pertama dengan tidur saling memunggungi. Sesekali terbesit keinginan pada Andre untuk melihat di balik punggungnya, tapi dia urung melakukannya.
Sampai fajar menyingsing, mengganti pekatnya malam dengan sinar yang terang benderang. Menghangatkan hari setelah berlalu melewati dingin. Sampai Andre sadar, jika di balik punggungnya tidak ada lagi siapapun.
Andre terduduk, kaget. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok Dewi yang dia yakin semalam mereka tidur bersama. Maksudnya, tidur di ranjang yang sama.
Namun, Dewi tidak ada di sana. Sontak, dia pun beranjak turun dari ranjang menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka lebar, tahu begitu, Andre tetap masuk memastikan keadaan di dalam. Kosong.
Kemudian, Andre menuju balkon. 'Ah, di sini rupanya.' Andre tersenyum mendapati Dewi yang tengah duduk menikmati pemandangan di luar melalui balkon. Seketika senyumnya memudar, menyadari sesuatu. 'Tunggu, ngapain gua sibuk nyariin dia. Bodo amat, dah.'
"Kak Andre." Suara panggilan dari Dewi, menghentikan langkah Andre yang akan berbalik meninggalkan wanita itu.
"Ah, ya ...."
"Kakak udah bangun? Mau minum kopi di sini?" tanya Dewi dengan senyum tulus.
"Ah, iya. Boleh." Andre duduk di kursi samping Dewi. Dari sini dia dapat melihat pemandangan gedung-gedung, dengan laju kendaraan yang padat di bawahnya.
"Aku buatkan kopi bentar, ya ...." Setelah mengatakan itu, Dewi berdiri meninggalkan Andre sendirian.
"Hmmm." Andre menjawab dengan gumaman, yang entah terdengar atau tidak oleh Dewi.
Tidak menunggu lama, Dewi kembali dengan membawa baki di tangan. Berisi kopi, dan roti untuk sarapan.
"Nanti, Kakak mau makan apa?" Setelah meletakkan baki di meja, Dewi ikut duduk di kursi. Mereka menikmati pemandangan yang sama dari tempat yang sama pula.
"Apa aja, deh," jawab Andre singkat.
Dewi mengangguk, kemudian berbicara pelan. "Kita, punya waktu tiga hari di sini."
"Oohh, iya."
Kemudian suasana kembali hening. Dewi menunduk, meremas jemari di pangkuan. Sedangkan Andre, berpikir apa yang akan mereka lewati setelah ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
mom's ana
laki miskin gak usah banyak gaya deehh...
2022-02-27
0
Ima Kalibaru
aku suka ceritanya enggak ada kekerasan walaupun nikah karena taruhan
2021-03-09
4
Anisa Azahra
keren thor ceritanya💪💪💪
2021-01-24
1