Andre masih berdiri di pintu, bingung apa yang harus dilakukan. Masuk atau lebih baik keluar saja.
Rasa tidak enak itu pun kembali hadir dalam hatinya. Terlebih ketika mendengar rencana Dewi yang menurutnya, itu adalah ide gila.
Semudah itukah untuk diet.
Atau, hanya keinginan sejenak saja. Besok, saat hati wanita itu membaik, dia akan lupa dengan rencana dietnya.
Mengingat bagaimana Dewi menghabiskan setiap hidangan yang ada di depannya, belum lagi cemilan-cemilan yang sering dibuat saat waktunya senggang.
Dua pekan menikah bukanlah waktu yang lama untuk sekadar mengenal kebiasaan Dewi dalam hal makan.
Porsi makan Andre dengan tubuh atletisnya saja tentu kalah dengan porsi makan Dewi.
Tidak bisa dipungkiri, Dewi memiliki kepiawaian dalam hal mengolah makanan. Sempat terpikir jika wanita itu membuka catering makanan saja, pasti laris. Rasa masakannya itu bikin nagih. Maunya nambah ... nambah ... dan nambah lagi.
Ah, bahkan belum genap sebulan menjadi suaminya saja, Andre sudah merasa jika berat badannya pasti bertambah.
Sejanak, Andre tersenyum membayangkan jika dirinya menjadi gemuk seperti Dewi. Apa jadinya anaknya nanti? Membayangkan jika kontrakan kecil ini bakalan enggak muat mereka tempati.
Dewi berbadan gemuk, lalu Andre badannya ikutan gemuk. Lha, kemudian anak nya kelak ikutan gemuk. Bisa menjadi keluarga badut mereka.
Eh, tunggu dulu. Bisa-bisanya Andre berpikir konyol seperti itu. Kehidupan normal sebagai selayaknya pengantin baru saja belum pernah mereka jalani. Jangankan menjadi keluarga bahagia dengan anak di antara mereka, malam pertama saja belumlah mereka rasakan.
Tiba-tiba wajah Andre berubah merah, tidak hanya wajahnya ... tubuhnya pun terasa terbakar membayangkan malam pertama bersama Dewi.
Kepala Andre terasa penuh oleh pikiran-pikiran mesum yang memenuhi otaknya. 'Apa-apaan aku ini?' kesadarannya mulai memberontak oleh ketidakwarasan pikirannya. Andre menggetok kepala, agar pikirannya kembali jernih.
"Kak Andre ...," desis Dewi saat mendapati Andre yang berdiri di pintu dengan memukul-mukul kepalanya.
"Kenapa, Kak? Pusing ya ... kepalanya," tanya Dewi gusar. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir melihat Andre bersikap tidak seperti biasanya.
"Eh, itu. Enggak apa-apa kok." Andre salah tingkah menyadari Dewi yang menatapnya dengan khawatir.
"Beneran?" Dewi mendekat, meraih tangan Andre yang masih bertengger di kepala. Lalu meraba kening lelaki itu.
Dewi melirik ke atas merasai suhu tubuh Andre. Dia tersenyum lega saat merasakan suhu lelakinya normal, tidak ada yang aneh.
Namun, seketika Dewi sadar jika jaraknya dengan Andre hanya sejengkal saja. Mereka berdiri begitu dekat, bahkan sangat dekat bagi keduanya yang belum pernah saling merapat.
Sontak degup jantung Dewi bertalu, seperti genderang perang yang ditabuh.
Dewi mundur ke belakang, menjauh dari jangkauan Andre yang bisa saja lelaki itu mendengar genderang nya dalam dada.
Namun, siapa sangka ... pergerakan tubuh yang tiba-tiba membuat Dewi tak seimbang. Lututnya bengkok, badannya nyaris terhuyung ke belakang, kalau saja Andre tidak sigap menahan tubuhnya.
Waktu seolah berhenti. Memberi jeda pada dua orang yang seharusnya saling memadu kasih. Bukankah itu wajar, mereka suami istri? Semua yang dilakukan harusnya telah lama dilakukan. Jika saja, garis nasib tidak mempermainkan mereka.
Bukan, bukan nasib yang mempermainkan. Sebenarnya, mereka sendiri yang memilih bermain-main pada ikatan agung ini.
Sejenak kedua insan itu saling bertatapan dalam. Meresapi keindahan binar dalam gemerlapnya bintang di tengah telaga menghiasai malam. Mata itu begitu indah. Hanya ada dia di sana, tidak ada siapapun. Tidak pula ada masa lalu yang merusaknya.
Tatapan itu begitu hangat, seolah hanya ada dia saja di sana. Ya ... mereka saling menyelami perasaan masing-masing.
Hingga, Dewi tersadar jika Andre meringis seperti menahan sakit.
"Dew, pegel ...." Andre berkata lirih.
Seketika Dewi bangkit. Nahas, kakinya tergelincir di lantai. Sehingga tangannya harus menarik Andre. Lantas mereka pun terbaring di lantai, dengan Dewi sebagai alasnya.
Alam seolah tengah berpihak pada mereka. Dewi dan Andre kembali saling menatap.
Entahlah, Andre begitu enggan beranjak dari tubuh tambun itu. Mungkin karena merasa empuk, atau memang nyaman berbaring di atas tubuh Dewi.
"Kak, sakit ...." Dewi berkata lirih, matanya menyipit. Sepertinya, dia benar-benar kesakitan ditimpa tubuh gagah sang suami.
"Ah, maaf. Tanganku tertindih." Andre berusaha menarik tangannya. Lega rasanya saat tangan tersebut telah berhasil lepas.
Wajah Dewi merah padam, menahan malu dan juga bahagia. Tidak bisa dipungkiri, seakan ada yang menggelitik dalam perutnya.
"Aku, siapkan makan dulu ya ... Kak." Dewi segera berbalik, berjalan cepat menuju dapur. Tempat di mana Dewi bisa berkreasi dan melupakan seberat apapun masalah yang menimpa hidupnya.
Entah sedari kapan Dewi gemar memasak. Setiap pikirannya buntu, atau sedang suntuk. Bahkan saat dirinya merasa menjadi diri yang sangat tidak berguna. Maka, dapurlah tempatnya berdiam diri. Mencoba segala masakan yang diinginkan.
Ketika masih tinggal di rumah orangtuanya, tentu Dewi akan berkumpul dengan para pembantu rumah tangga dalam mengolah bahan makanan. Saling bertukar cerita dan tawa, menghilangkan segala penat yang merajai jiwa.
Berbeda dengan sekarang. Dapur ini miliknya seorang. Tidak ada pembantu, tidak ada teman. Itulah mengapa, seringkali Dewi menghabiskan waktu di dapur untuk menenangkan diri.
Saat pikirannya mendadak kosong, sebab tak mampyou berpikir tentang peliknya rumah tangga yang dia jalani. Saat itu pula, Dewi akan menghabiskan waktunya di dapur.
"Gua bantu ...!" Seruan Andre sejenak menghentikan langkah Dewi. Wanita itu berbalik, mengulas senyum tulus kepada Andre yang masih berdiri menatapnya.
Andre selalu terpana menyaksikan senyum tulus yang Dewi berikan padanya. Ingin rasanya dia menangkap senyum itu, lalu membawanya dalam dada. Mengukirnya di sana.
Jika suatu saat, Andre dan Dewi tak lagi bersama, mungkin dia akan membutuhkan senyuman itu kembali. Maka, tentu mudah baginya mencari senyuman Dewi yang telah disimpan dalam dadanya.
Andre memejamkan mata, berharap dalam hati mungkin saja dia dan Dewi tak harus berpisah. Namun, tiba-tiba sekelebat bayangan Anggita merusak harapannya menjadi kepingan-kepingan yang sulit dirangkai.
Tanpa mempedulikan tatapan heran Dewi, Andre menggeleng lantas masuk ke dalam kamar. Menutup pintu dengan kasar, membuat Dewi berjingkat karena suara kerasnya.
Andre menghempaskan diri di kasur, membenamkan kepala dalam bantal. Mencoba mengusir bayang-bayang Anggita dan Dewi yang berkelabatan secara bergantian.
Di luar kamar, Dewi yang menyaksikan setiap perubahan yang dilakukan Andre menatap nanar pintu kamar yang telah ditutup rapat si empunya.
Tanpa bisa dicegah, air mata itu mengalir deras di kedua pipinya.
Dengan cepat tangannya menghapus jejak basah di pipi. Dadanya kembang kempis menahan tangis agar tidak meledak, sehingga terdengar sosok yang bersembunyi di balik pintu kamar. Tangannya menutup mulut, agar suaranya tidak terdengar.
Apa yang harus didahulukan, memasak di dapur atau menghabiskan tangis yang tidak mau berhenti?
Dewi, kecewa lagi.
Sepasang suami istri itu sama-sama merasakan nyeri dalam dada, dalam ruang yang berbeda, tapi dalam atap yang sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
maura shi
dasar labil
2021-12-19
0
Kudelnani Kudelnani
kurang greget ceritanya
2021-03-12
3
Mien Mey
dewi nya mudah luluh ah..
2021-03-10
1