Andre masih terpaku. Hatinya bergetar, gugup. Keringat dingin mengucur deras di balik bajunya.
Ah, ini memang hari kesialannya.
Mulutnya komat-kamit merapal doa. Matanya fokus menatap Dewi yang menunduk.
Seakan menghipnotis lewat tatapan. 'Tolak ... tolak .... Ayo, tolak gue.'
"Gimana, Dew ...?" Arman bertanya tak sabar.
Sedangkan Bobi menanti jawaban gadis itu dengan harap cemas.
Sementara itu terdengar kasak kusuk di bangku panjang kantin tersebut. Tiga orang wanita berstatus mahasiswi itu tengah berbisik-bisik kepada Dewi, yang menjadi pusat perhatian mereka saat ini.
"Udah ... terima aja Dew."
"Kapan lagi ada lelaki ganteng yang melamar ... belum tentu juga bakalan ada lagi, kan?"
"Bener ... hari ini adalah hari keberuntungan Dewi."
"Terima aja."
"Dewi, kalau lu gak mau, gue gak bisa maksa." Suara Andre memutus lamunan Dewi. Serta merta, pandangan Dewi tertuju padanya.
"Kak Andre beneran ... melamar saya?" tanya Dewi lebih pada meyakinkan diri sendiri.
"Tentu ... tentu ... Andre beneran melamar lu, Dew." Bobi langsung menimpali pertanyaan Dewi.
Kening Dewi terlihat banyak kerutan di sana. Dia tengah berpikir, kalau saja ini hanya candaan belaka.
"Boleh saya jawab, besok?" tanya Dewi lagi, ragu.
"Oohh, tidak bisa ... lu harus jawab sekarang." putus Andre cepat. Senyum miring tersungging di bibirnya.
Wajah ragu Dewi seolah mengisyaratkan, jika gadis itu keberatan untuk menerima lamarannya yang dadakan.
"Jadi harus jawab sekarang, ya ...." Dewi bergumam.
"Kamu bakalan nyesel kalau engggak nerima lamaran dia, Dewi." Amika berbisik dengan nada mengancam.
"Jadi, lu gak mau, kan?" Andre bertanya penuh semangat. Senyum penuh kemenangan terpancar dari wajahnya.
"Nah, kalian tahu sendiri, kan. Cewek ini kagak mau sama gue. Yuk ... cabut!" Andre segera berbalik arah. Hendak meninggalkan mereka, sebelum Dewi merubah keputusan, pikirnya.
Langkahnya terhenti tiba-tiba, saat mendengar seruan. "Tunggu! Saya kan belum menjawab, Kak."
Andre berhenti di tempat, tubuhnya serasa terpaku di bumi. Tak sanggup membalikkan badan.
"Saya menerima lamaran Kak Andre." Dewi menjawab pelan. Pipinya bersemu merah, semerah tomat. Jantungnya berdentam hebat, seiring deru napas yang semakin berat.
"Lu denger, Ndre. Dewi menerima lamaran lu untuk jadi istrinya." Bobi bersorak riang disambut Arman yang ikut bersorak.
Hari ini, untuk pertama kalinya. Andre mengalami hal yang tak pernah terpikirkan dalam hidupnya.
Melamar seorang gadis yang sangat tidak diharapkan. Terlebih lagi, ternyata gadis tersebut menerima lamarannya.
Andre mendongak, saat akan berbalik badan. Tatapannya bertemu dengan tatapan seorang wanita yang selama ini telah mengisi hatinya. Anggita sedang berdiri di pintu kantin dengan tatapan nanar.
"****** gua," gumam Andre.
"Bro, gua duluan yaa ... ada urusan penting." pamit Andre sembari meninggalkan teman-temannya.
"Eh, tunggu dulu, Bro. Pamitan dulu dong ama calon istri lu." Bobi mencekal lengan Andre dengan seringai menggoda.
Andre berdecak kesal. Namun, tak urung tetap menuruti keinginan sahabatnya. Dia membalikkan badan, lalu berpamitan pada Dewi yang tengah digoda teman-temannya.
Andre meninggalkan kantin dengan tergesa. Masih terdengar jelas godaan para cewek-cewek itu di belakang punggungnya.
"Cieee, Dewi. Akhirnya ... ada yang nembak. Gak nyangka banget. So sweet ...."
Setelahnya, Andre berlari mencari keberadaan kekasihnya, Anggita.
Tidak lagi lelaki itu hiraukan, jika tengah menjadi pusat perhatian orang yang lalu lalang. Tak pula dia hiraukan, jika masih ada mata kuliah di jam selanjutnya. Baginya, menemukan Anggita adalah hal yang utama.
Rasanya, seluruh wilayah kampus telah Andre datangi. Sayangnya, seseorang yang dia cari tidak ada di manapun. Rasa lelah dan putus asa mulai bergelayut dalam dirinya. Namun, wajah kesedihan Anggita terus terbayang di pelupuk mata.
"Ah, sial!" Andre mengerang frustrasi. Menendang apapun yang dia temui ke segela arah.
Mencoba menghubungi, tapi tetap tidak ada jawaban. Sekali, dua kali ... sampai sambungan itu mati sendiri.
"Kamu di mana, Gita?" gumamnya.
Tiba-tiba sebuah ide tempat terlintas dalam benaknya. Bagaikan lampu pijar yang menerangi gelap malamnya tanpa cahaya.
Andre bergegas menuju tempat yang ada di pikiran. Sebuah tempat yang sering mereka habiskan berdua di kala sore menjelang.
Membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh menit untuk sampai ke tempat tersebut.
Bergegas Andre turun dari mobil, lalu ... dengan setengah berlari dia memasuki area taman.
Tampak di sebuah kursi yang menghadap ke danau. Duduk seorang wanita yang amat dikenalnya.
Senyum Andre terbit menghiasi wajah. Senyum kelegaan. Betapa hatinya kebat-kebit dilanda khawatir sedari tadi, mencari sosok yang telah mengisi hari-harinya selama ini. Ternyata tengah duduk di pinggiran danau.
Andre duduk dengan hati-hati. Tidak ingin mengganggu ketenangan wanita yang tengah menangis itu.
Ada yang terusik dalam hatinya saat melihat Anggita menangis seperti ini. Tak tahan dengan keadaan diri, dia pun merengkuh bahu wanita yang tengah duduk di sampingnya.
"Gita ... maaf, aku di sini." Tatapan Andre lurus ke depan. Merasakan sesak dalam dada, aliran darahnya pun mulai terasa panas.
"Eh, siapa ... lu? Peluk-peluk sembarangan." Suara dari wanita dalam rengkuhan, mengagetkan Andre.
"Busyet ... dah. Gua salah orang." Sontak Andre berdiri. Berkacak pinggang, melihat pada wanita yang masih duduk di bangku taman dengan wajah merah.
"Sorry ... sorry, gua salah orang." Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Andre bergegas berlari meninggalkan area taman tanpa menghiraukan panggilan wanita itu.
"Yaelah, ketiban apes apa gua? Udah ngelamar anak orang yang enggak gua harapkan. Terus, ditinggal pacar entah ke mana. Di cari-cari, belum ketemu. Eealah, malah meluk wanita yang entah siapa." Andre bergumam di balik setir kemudi.
"Apes ... apes .... Sayang, kamu di mana?"
Mengingat Anggita, pikiran Andre kembali kacau. "Kali ini adalah tujuan terakhir. Kalau enggak ada juga, aku enggak tahu lagi harus nyari kamu kemana Gita."
Sesampainya di kost-an Anggita, Andre segera turun dari mobil. Lalu berlari menuju kamar wanitanya. Mengetuk pintu berulang kali. Tidak sabar. Beberapa kali ketukan, akhirnya pintu terbuka.
Tampaklah wajah kusut dengan mata sembab berdiri malas di depan pintu kamar. Herannya, wajah itu tetap terlihat cantik di mata Andre.
"Akhirnya ... ku menemukanmu ...." Andre langsung memeluk Anggita, yang di tepis kasar oleh wanita tersebut.
Betapa terkejutnya Andre menerima perlakuan Anggita yang tidak seperti biasanya.
"Gak perlu menjelaskan apapun. Lagipula kita seharusnya sudah gak memiliki hubungan apapun sekarang. Karena kamu udah punya calon istri, dan itu bukan aku." Ucapan telak dari Anggita membuat Andre bungkam seketika.
Entah bagaimana cara dia menjelaskan kepada Anggita, yang sebenarnya wanita itu juga tahu apa yang terjadi padanya. Sesuatu yang membuatnya sial sepanjang waktu.
Karena baginya, ide menikah dengan wanita yang tidak harapkan adalah sebuah kesialan yang hakiki.
"Aku cintanya cuma sama kamu, Anggita. Enggak ada yang lain."
Anggita tetap bergeming, tidak menyuruhnya masuk dan tidak pula mengusirnya.
"Kamu tahu sendiri, lamaran itu hanya ajang taruhan aku sama dua sialan itu. Tapi, aku juga harus menepati janji kan, ama mereka." Andre melanjutkan perkataannya, yang dibalas tak acuh oleh Anggita.
"Setelah ini, kita pikirkan lagi jalan keluarnya bagaimana ... ya? Percaya sama aku."
Luruh sudah air mata Anggita. "Aku enggak bisa hidup tanpa kamu, Ndre ...." ujarnya di sela Isak tangis.
'Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Alya Yuni
Dasar prmpuan bodoh amat main trima gk tau ap jdi
2022-02-18
0
Dinda Natalisa
Hai author aku mampir nih kasih like jangan lupa mampir di novel ku "menyimpan perasaan" mari saling mendukung.
2021-03-12
0
Angelika'nya Askari
visualnya thor 😀😀😀
2021-03-11
0