"Mencari Saya?" Ayah Khansa kembali menatapku dengan bertanya-tanya. Mungkin beliau lupa dengan wajahku. Terakhir kali Aku ke rumah Khansa ketika akan berangkat ke Jakarta sepuluh tahun yang lalu. Jadi wajar kalau beliau sudah lupa.
"Iya Pak. Saya ada perlu dengan Bapak dan Ibu." Ayah Khansa berada di depan pintu, sementara Aku berada di luar pagar. Meskipun di wajahnya masih tampak tanda tanya besar, namun Ayah menghampiri pagar dan membukakan pintu untukku.
"Marketing ya? Mau menawarkan tabungan? Saya sudah punya tabungan di bank..."
"Bu-bukan Pak. Saya kemari karena ada keperluan pribadi. Tidak ada sangkut pautnya dengan perbankan atau perusahaan lain."
"Oh, keperluan pribadi. Saya pikir marketing bank. Ayo masuk." Ayah membukakan pintu untukku. Mempersilakanku untuk masuk. Aku merasa telah masuk ke kandang harimau, yang entah apa bisa keluar dari dalamnya hidup-hidup. "Bu, bikinkan kopi. Kita kedatangan tamu." teriak Ayah.
Beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya berwajah kalem memasuki ruang tamu. Informasi yang kuperoleh dari mengintai Khansa selama bertahun-tahun membuatku tahu bahwa wanita paruh baya itu adalah ibu tiri Khansa yang tampaknya memperlakukan Khansa dan adiknya dengan baik.
"Tamunya Ayah?"
"Tamu Kita berdua. Katanya ada keperluan dengan Kita. Ibu tidak sedang berhutang di bank kan?" Ayah bertanya dengan penuh selidik.
"Nggak dong Yah. Mana berani Ibu hutang tanpa sepengetahuan Ayah. Ibu buatin minum dulu ya." Kemudian Ibu berlalu ke dapur. Hanya tinggal Aku dan Ayah di ruangan itu. Aku benar-benar sangat gugup. Ayah menatapku dengan pandangan menyelidik.
"Sebenarnya Saya sudah tidak sabar ingin mendengarnya. Tapi mari Kita tunggu istri Saya dulu."
"Iya Bapak." Kami saling berdiam diri. Tujuh menit kemudian, Ibu datang sembari membawakan dua cangkir kopi untuk Kami. Entah mengapa Aku sangat takut melihat cairan panas itu. Aku takut Ayah akan melemparkan cairan itu ke wajahku begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Aku semakin pucat pasi.
"Nah, sekarang sudah lengkap. Kalau boleh tahu, Kamu siapa? Ada keperluan apa? Kok bisa ada keperluan dengan Kami berdua?" tanya Ayah membuka percakapan. Aku mengambil napas dalam-dalam. Menyiapkan mentalku atas segala kemungkinan yang terjadi.
"Perkenalkan Bapak, Ibu, nama Saya Alex. Saya adalah teman SMA Khansa. Dulu waktu SMA Saya cukup sering kemari. Kedatangan Saya kesini berkaitan dengan Khansa..."
"Kamu mau cari Khansa? Dia ada di Surabaya. Kerja di sana. Dua bulanan yang lalu juga ada yang nyari Khansa. Maksa minta nomornya. Apa Kamu ke sini tujuannya juga seperti itu?" Ayah menatapku dengan tatapan curiga. Membuat nyaliku semakin ciut. Melihat anak perempuannya dicari oleh laki-laki saja Ayah sudah seprotektif itu, bayangkan bila beliau tahu Aku telah menghamili anak kesayangannya. Aku pasti akan dikuliti hidup-hidup!!
"Bu-bukan Ayah... Sa-saya ke sini bukan untuk mencari Khansa. Saya tahu Khansa dimana..." karena terlalu gugup, Aku memanggil Ayah Khansa dengan panggilan *ayah*.
"Lalu untuk apa Kamu ke sini?"
"Saya datang untuk meminta restu. Khansa sedang hamil anak Saya. Ijinkan Saya untuk menikahinya." Aku langsung beranjak dari kursi dan berlutut di hadapan kedua orangtua Khansa. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Aku sudah mengungkapkan tujuanku. Sekarang Aku hanya bisa pasrah.
Suasana tampak hening. Aku menahan napas. Menunggu adegan selanjutnya yang akan terjadi. Mungkin Aku akan menerima pukulan, tendangan dan sikap kekerasan lainnya. Tidak apa-apa, asalkan Aku direstui untuk menikahi Khansa, Aku rela diperlakukan seperti apapun.
"Co-coba ulangi... Ta-tadi Saya tidak begitu dengar..." suara Ayah tampak gemetar. Tampak tak yakin dengan berita yang baru saja didengarnya. Sementara kudengar suara isakan. Ibu sudah menangis.
"Saya Alex. Saya sudah menghamili putri Bapak. Tolong ijinkan Saya untuk menikahinya." Aku mengeraskan suaraku. Hening, tak ada suara. Yang terdengar hanya suara isakan Ibu yang semakin intens.
"Be-berani!! Berani-beraninya!!"
BUUUKKKK!!
"Ayah!!" teriak Ibu.
Aku merasa nyeri di pipi kananku. Aku tersungkur ke belakang. Rupanya Aku telah menerima pukulan.
"Hentikan Yah!!"
"Lepas!!" Ayah mengibaskan tangan Ibu yang menahannya dan kembali mendekat padaku. Beliau memegang kerah bajuku dan kembali memukulku.
"Baj*ngan Kamu!!"
BUUUUKKK!!
Sekarang pipi kiriku yang terkena pukulan. Aku membiarkan Ayah memukulku. Itu ganjaran buatku karena sudah bercinta dengan Khansa sebelum menikahinya. Ganjaran buatku karena telat mencari Khansa. Pukulan ini tidak seberapa.
"Fian!! Fian!! Bangun!! Pegang Ayah!!" Ibu berteriak-teriak. Beberapa saat kemudian Fian muncul dari arah kamar. Wajahnya tampak mengantuk. Namun begitu melihat adegan di depan mata, dia langsung berlari dan menahan tubuh Ayah.
"B*jingan Kamu!! B*jingan!! Berani-beraninya pada putriku!!" Ayah sangat emosional. Wajahnya memerah. Terdapat kilat kemarahan di matanya. Fian memegang tubuh Ayah. Mencegahnya untuk tidak memukulku. Tubuh Ayah gemetar, tampak sangat menahan amarah. Fian membawa Ayah ke kamar, berusaha menenangkannya. Sementara Ibu mulai mendekatiku. Wajahnya dipenuhi dengan airmata. Ibu membimbingku untuk kembali duduk di kursi. Kemudian beliau mulai membersihkan darah di bibirku yang pecah karena hantaman pukulan Ayah.
"Ap-apa benar yang Kamu katakan itu Nak?" tanya Ibu sembari tetap membersihkan luka kecilku. Aku menganggukkan kepala. Tangisan Ibu semakin deras. Aku merasa sangat bersalah terhadap beliau.
"Se-sekarang dia dimana? Aahh, putriku yang malang... huuu..." Ibu kembali terisak. Selesai membersihkan lukaku, Ibu ke kamar. Sepertinya beliau sedang menenangkan Ayah yang tampak emosi.
Hampir satu jam Aku menunggu, sebelum akhirnya Ayah kembali menemuiku di ruang tamu. Wajahnya sudah nampak tenang, meskipun masih ada kilatan kemarahan di dalamnya.
"Ceritakan semuanya." ucap beliau dengan tenang. Merasa diberi kesempatan, Aku mulai menceritakan semuanya. Rasa sukaku pada Khansa semenjak SMA. Perpisahan selama bertahun-tahun. Bertemunya Kami dalam sebuah reuni, yang menyebabkan Kami bersama. Musibah yang ditimpa keluargaku, hingga mengharuskanku berbulan-bulan berada di luar negeri. Keterlambatanku mencari Khansa. Pertemuanku dengan Khansa hari ini di Malang dengan perut yang sudah membesar. Hingga penolakan Khansa untuk menikah denganku.
Tangisan Ibu semakin keras mendengar penjelasanku. Sementara Ayah sebaliknya. Beliau tampak sangat murka.
"Ini, ini bukan sepenuhnya salahmu!! Kamu salah!! Tapi anak itu juga salah!! Berani-beraninya dia membohongi orangtua?! Keluar dari pekerjaan!! Pindah ke Malang!! Dan hamil di luar nikah?! Sejak kapan dia pintar berbohong seperti itu?! Aku tidak akan memaafkannya!!" Ayah tampak sangat geram. Aku merasa sangat bersalah pada Khansa.
"Tidak Pak. Itu sepenuhnya salahku. Aku yang membuatnya seperti itu. Aku yang telat mencarinya..."
"Kamu salah!! Tapi dia lebih salah!! Kalau dia bisa menjaga diri dengan baik, dia tidak mungkin mau berhubungan denganmu, padahal kalian baru saja bertemu!! Itu artinya dia tidak bisa menjaga diri!! Tidak memikirkan perasaan orangtua!! Tidak takut pada Tuhan!! Dia sangat salah!!" Ayah menjadi lebih murka. Apapun perkataan yang akan kugunakan untuk membela Khansa tidak akan ada gunanya. Ayah berteriak-teriak, yang intinya dia menyalahkan Khansa. Puas berteriak, dia memusatkan perhatiannya padaku.
"Lalu, apa rencanamu?!" tanyanya.
***
Happy Reading 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Be snowman
ikut tegang ,nelen ludah /Whimper/
2024-11-24
0
Azizah Mehrunnisa
part Tahan Nafas ...
2023-03-21
1
Erny Manangkari
ya tujuan Alex ta membawa ayahx Khansa agar Khansa maw menikah dengan alex
2023-02-08
0