Kamu Bukan Figuran
[Untuk pembaca baru, sebelum membaca novel ini lebih dulu baca novel yang berjudul "Aku hanya Figuran" ya, karena novel ini lanjutannya. Terima kasih.]
Aku langsung membopong Diana dan membawanya ke kamar pasien terdekat. Menyuruh beberapa perawat yang ada di sana untuk merawatnya. Kemudian Aku berbalik menghadap managernya.
"Bagaimana kronologinya? Sejak kapan dia di operasi?"
"Saya kurang tahu kronologinya Pak. Tiga jam yang lalu Diana menerima telepon, yang mengabarkan kalau Pak Aaron kecelakaan. Kami langsung kemari. Kondisi Diana sangat tidak stabil, jadi Saya memutuskan untuk menghubungi keluarga. Waktu pertama datang pun dokter sudah menyarankan untuk segera melakukan operasi karena kondisi Pak Aaron sangat serius..."
"Kamu jaga dia. Aku akan mencari tahu sendiri." kataku seraya mengedikkan bahuku ke arah Diana.
"Baik Pak."
Aku keluar dari ruang pasien dan pergi menemui dua orang polisi yang tampak hadir di sana. Aku menanyakan kronologi dari kejadian tersebut.
Ternyata Aaron mengalami kecelakaan tunggal. Dia menabrak pembatas jalan dan menyetir dalam kondisi mabuk. Hal itu terdeteksi dari kandungan alkohol di dalam darahnya.
Polisi sudah membuatkan berita acara perkara berdasarkan kesaksian para saksi. Mobil Aaron yang digunakan sebagai barang bukti juga sudah diderek dan disimpan oleh pihak kepolisian. Sedangkan untuk kondisi Aaron, mereka tidak mengetahuinya dengan pasti.
Pada saat ditemukan Aaron dalam keadaan tak sadarkan diri. Tubuhnya penuh dengan darah. Bisa dipastikan bahwa pria itu telah kehilangan banyak darah. Itulah mengapa dokter memutuskan untuk melakukan tindakan cepat, yaitu melalui operasi.
Tidak ada tim medis yang bisa kumintai keterangan, karena mereka sibuk untuk melakukan operasi. Aku hanya perlu menunggu operasi selesai untuk mengetahui kondisi Aaron selanjutnya. Aku tidak suka dengan perasaan tanpa kejelasan ini. Tapi Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.
***
Aku menunggu di depan ruang operasi dengan pikiran kalut. Berharap operasi itu akan berjalan lancar dan Aaron bisa terselamatkan.
Beberapa kali Aku harus mengecek kondisi Diana, karena sepertinya kondisi psikisnya sedang tidak stabil. Berkali-kali Diana bangun, berkali-kali pula dia jatuh pingsan. Tubuh, pikiran dan hatinya seolah-olah tidak mampu menahan segala beban ini. Bisa kulihat, betapa besar cinta Diana untuk Aaron.
Dua jam kemudian, keluargaku datang. Mama langsung menghambur ke arahku. Menangis dan menjerit-jerit. Sama dengan sikap yang ditunjukkan oleh Diana sebelumnya. Tak lama kemudian, beliau pun pingsan. Aku menggendongnya dan meletakkan di kamar pasien, di sebelah ranjang Diana.
Aku mengurus dua orang wanita pingsan yang emosinya sedang tidak stabil. Belum lagi pikiranku masih terpecah menunggu kabar dari kondisi Aaron. Ponselku puluhan kali berdering. Ada beberapa panggilan dari Winda, sementara puluhan panggilan lainnya dari beberapa pimpinan anak perusahaanku. Aku meletakkan jabatanku sebagai apapun. Hari ini Aku hanyalah seorang adik yang tengah khawatir menunggu kabar hidup matinya seorang kakak.
Aaron sedang di operasi, namun sikap yang ditunjukkan oleh dua wanita yang menyayangi Aaron ini sudah seperti ini. Tidak terbayangkan rasanya bila benar-benar terjadi sesuatu pada Aaron. Mungkin kedua wanita berbeda generasi ini akan benar-benar menggila.
"Kamu temani mamamu. Biar Papa yang berjaga di sini." Papa menepuk punggungku. Menyuruhku untuk mendampingi mama di kamar pasien. Aku menuruti saran papa.
Beberapa saat kemudian, wanita yang telah melahirkanku itu tersadar.
"Al..."
"Iya Ma?"
"Ba-bagaimana kakakmu?"
"Dia masih di operasi Ma..."
"Huuuuuu..." Lagi-lagi mama menangis. Aku memeluk tubuhnya, sembari menepuk-nepuk punggungnya. Tubuh mama bergetar hebat. Menunjukkan kesedihan yang luar biasa.
"Dia pasti akan baik-baik saja Ma. Jangan menangis lagi, sshhh..."
"Mama ng-nggak sanggup... Nggak sanggup... Ke-kenapa bisa seperti ini? Ke-kenapa anak Mama harus mengalami hal seperti ini? Ba-bagaimana bila terjadi sesuatu padanya? Ba-bagaimana Al?! Aarooonn!! Aarooonn!!" Bukannya berhenti, tangis mama malah lebih keras. Aku hanya bisa menghiburnya, berusaha untuk menjadi kekuatannya. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini.
"Ba-bagaimana bila operasinya gagal? Ba-bagaimana bila dia... Huuuu... Huuu... Ma-mama nggak sanggup!! Mama nggak sanggup Al!! Ka-kalau dia mati, Mama juga ikut mati... Aaroooon..."
"Dia pasti akan baik-baik saja. Mama tenanglah," Selama beberapa puluh menit ke depan, yang kulakukan hanya menghibur mama. Memeluk, mengusap air mata dan memberinya kata-kata penghiburan. Di depan mama Aku berusaha untuk kuat. Menjadi sosok yang bisa dijadikan sandaran, namun sebenarnya hatiku juga ingin menangis. Aku tidak bisa membayangkan bila benar-benar terjadi sesuatu pada Aaron. Memikirkan hal seperti itu selalu membuatku ketakutan.
Aku memeluk mama. Tangisan beliau mulai tidak terdengar. Sepertinya beliau sudah mulai tenang. Sejurus kemudian, ranjang di sebelah Mama bergerak. Aku mengalihakan pandang. Kulihat Diana sudah mulai tersadar.
Diana mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha membaca situasi. Dia melihatku dan mama dengan bingung. Lima detik kemudian, pikirannya mulai terkumpul. Dia menatap mama berlama-lama, kemudian tangisnya mulai pecah.
"Mamaaaa!!" Diana segera turun dari ranjang dan menghambur memeluk mama. Dua wanita itu saling berpelukan, meratapi nasib pria yang mereka sayangi. Ruang pasien itu dipenuhi dengan suara tangisan, isakan, raungan, dan kata-kata penghiburan. Aku harap Aaron melihat hal ini. Banyak orang yang menyayanginya. Aku harap dia tidak akan pernah meninggalkan Kami untuk selamanya.
***
Beberapa jam kemudian, keduanya sudah mulai tenang. Masih dengan posisi saling berpelukan, mereka turun dari ranjang. Mereka memaksa untuk ikut menunggu di depan ruang operasi. Saling berpelukan, berusaha menguatkan satu sama lain, meskipun Aku tahu keduanya sedang berada dalam kondisi yang tidak stabil.
Mama dan Diana memang sangat dekat. Orang awam yang melihat mungkin akan menganggap mereka adalah seorang ibu dan anak kandung. Kedekatan mereka sudah tidak seperti kedekatan seorang mertua dan menantu. Terkadang ketika melihat mereka seperti itu, Aku selalu membayangkan Mama dan Khansa. Membayangkan Mama akan memperlakukan Khansa sehangat itu. Menganggap Khansa seperti anaknya sendiri. Alangkah menyenangkannya.
Ah, Khansa...
Perasaan bersalah, bingung, sedih, kecewa dan marah berkecamuk di dalam pikiranku. Aku merasa bersalah karena sudah menodai Khansa seperti itu. Seharusnya pertemuan pertama Kami akan menjadi pertemuan yang indah. Aku akan mengungkapkan perasaanku, dan berharap Khansa menerimaku.
Namun di sisi lain Aku juga merasa bangga. Setidaknya Aku sekarang memiliki alasan untuk menjadikan Khansa milikku.
Khansa, tunggulah Aku. Setelah semua masalah ini selesai, Aku akan menangkapmu.
(episode pancingan, biar cepat lolos review)
***
Happy Reading 😊
NB : Hellow emak-emak pecinta babang kerdus. Akhirnya Kita ketemu di novel baru ya. Terima kasih buat emak-emak yang sudah rela mengikutiku ke sini ya. Mohon dukungannya semuanya 😙🤗 LopYuhAll 😙🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Yulie
kangen ketotolan Alex 😡
2024-09-12
1
Ira Suryadi
Baca Ulang ya ke-4x'ny,,🤗
2024-09-01
1
Erna Yunita
Tak pernah bosan untuk menyapa bang kardus..... nguuukkkkkkk.... I miss u... 😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘
2024-08-31
1