Aku menyuruh Diana untuk mempacking baju-bajuku, kemudian mengirim pesan pada Winda untuk mengambil koperku di rumah Diana sebelum ke kosan Khansa. Setelah semua urusan selesai, Aku kembali memandangi Khansa yang masih tampak makan dengan sangat lahap.
Hatiku menghangat melihatnya. Perasaanku begitu meluap-luap. Aku begitu menyayangi wanita ini. Bukan lagi cinta, tapi sayang. Menurutku kadar sayang lebih tinggi dibandingkan cinta. Aku sampai pada tahap, bahwa Aku akan tetap menyayangi Khansa, apapun yang akan wanita itu lakukan padaku. Aku akan tetap memaafkan dan menyayanginya. Sebesar itu perasaanku untuknya.
"Pelan-pelan makannya." Tanpa sadar tangan bodohku telah bergerak sendiri. Mengusap sisa makanan yang menempel di bibir Khansa. Seperti biasa, Khansa kembali menepis tanganku. Sakit hati? Tentu saja. Tapi tidak apa-apa. Saat ini Khansa memang belum mencintaiku, lambat laun Aku akan membuatnya mencintaiku.
Setelah selesai makan, Aku melajukan mobil ke kosan Khansa. Kami sama-sama terdiam. Terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak lama kemudian, Kami sampai di tempat itu. Aku menatap bangunan tempat Khansa selama beberapa bulan ini bersembunyi. Aku menghembuskan napas lega, mengetahui Khansa memilih lingkungan yang aman sebagai tempat tinggalnya.
Aku berjalan di samping Khansa, mengikuti dengan ketat langkah kecil wanita itu.
"Mau kemana?" tanyanya.
"Ikut masuk." jawabku dengan ringan.
"Maaf Pak, laki-laki tidak boleh masuk." seorang security yang bertugas menghentikan langkahku. Khansa tampak tersenyum penuh kemenangan dan berjalan masuk ke dalam kosan. Sepertinya wanita itu sangat puas karena berhasil menghindar dariku.
Aku menatap security itu dengan tajam. Tidak suka karena dia sudah menginterupsiku. Aku bisa saja menghajar security itu, namun Aku tidak ingin memancing keributan. Aku memilih jalan damai.
"Biarkan Aku masuk." kataku sembari membuka dompet.
"Maaf Pak, laki-laki dilarang masuk. Ini kosan khusus perempuan."
"Aku suami wanita itu. Aku akan menjemputnya." Aku mendekati security dan menempelkan beberapa puluh lembar uang pecahan seratus ribuan. "Buka gerbangnya untukku." bisikku dengan nada penekanan sekaligus ancaman. Security menatapku, kemudian beralih menatap lembaran uang di tangannya. Dua detik kemudian, dia dengan sigap membuka gerbang itu untukku.
"Silakan Pak." Security memberi hormat padaku, layaknya Aku adalah komandannya. Terkadang uang memang dibutuhkan untuk memperlancar hal-hal kecil seperti ini. Tapi seberapa banyak pun uang yang kumiliki, tidak akan bisa serta merta membuat Khansa menjadi milikku. Khansa adalah salah satu hal yang tak bisa kubeli dengan uang. Butuh hati yang tulus, pengorbanan, dan perjuangan untuk mendapatkannya. Dan Aku sedang bersiap-siap untuk melakukan itu semua.
***
Aku menatap kamar kecil itu. Untuk ukuran kamar kos, kamar ini terbilang memiliki fasilitas yang lengkap. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Perhatianku terpaku pada ranjang di tengah ruangan. Membayangkan Khansa tidur di ranjang itu membuatku tanpa sadar melangkahkan kaki ke sana dan merebahkan diri. Ada aroma Khansa di sana. Aku menghirup aroma itu dalam-dalam. Seketika bayangan pada malam itu berkelebat di dalam kepalaku. Membuatku kembali menginginkannya.
Berada dalam satu kamar dengan Khansa seperti ini sungguh sangat menggoda sifat kelelakianku. Aku ingin mendekap wanita itu dan mencumbunya. Kerinduan di dada ini begitu besar untuk bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Khansa terlihat sangat tidak nyaman berada satu ruangan denganku. Dia terlihat gelisah. Beberapa kali dia mencoba mengusirku, tapi Aku tetap bersikukuh dengan pendirianku. Kami mulai berdebat tentang beberapa hal. Terutama masalah pernikahan. Wanita itu benar-benar tidak ada keinginan sedikit pun untuk menikahiku. Menyakitkan ditolak beberapa kali seperti ini. Tapi Aku tidak bisa mundur. Aku tetap harus menjadikan Khansa sebagai istriku.
Beberapa saat kemudian Winda datang. Kehadiran Winda sangat melegakan. Aku harus bertindak cepat. Aku akan membiarkan Khansa berada di bawah pengawasan Winda, sementara Aku sendiri akan berangkat ke kota J*****.
***
Dari perjalanan ke bandara hingga berada di dalam pesawat, dadaku tidak bisa berhenti berdebar. Aku begitu gugup dan gelisah. Aku tidak pernah merasa segugup ini. Aku begitu bingung harus memulai darimana?
Aku pihak yang paling bersalah di sini. Aku telah menghamili anak gadis orang, dan sekarang Aku sedang dalam perjalanan menuju rumah orangtua si gadis untuk melakukan pengakuan dosa besar.
Menghadapi profesor, investor, atau direktur perusahaan besar tidak pernah membuatku setakut ini. Tapi menghadapi orangtua Khansa benar-benar membuatku takut. Segala kepercayaan diriku rasanya menguap seketika. Aku hanyalah seorang pria putus asa yang begitu ingin menikahi wanita yang dicintainya.
Pikiran-pikiran buruk berkeliaran di kepalaku. Bagaimana bila orangtua Khansa menolakku? Bagaimana bila mereka tidak mengijinkanku untuk menikah dengan Khansa? Bagaimana bila mereka menyuruh Khansa untuk membuang anaknya? Membayangkan hal-hal seperti itu membuatku ketakutan.
Tidak sampai satu jam, pesawat telah mendarat di bandara kecil di kotaku. Aku semakin gelisah. Aku memutuskan untuk ke toilet dan membasuh wajahku dengan air. Aku menatap pantulan wajahku di cermin. Aku melihat wajah tidak yakin dari seorang pria. Aku menghela napas dalam-dalam. Berusaha mengontrol pikiranku. Tidak disangka, melamar anak gadis orang akan membuatku segugup ini. Andaikan beberapa bulan lalu Aku menuju rumah Khansa, apakah hasilnya akan berbeda?
Hampir tiga puluh menit Aku berada di dalam toilet. Menenangkan hati yang gelisah dan mensugesti diri sendiri. Setelah kurasa siap, Aku keluar dari toilet dan melangkah keluar dari area bandara. Aku memesan taksi dan langsung menuju rumah Khansa.
Aku pasti bisa!! Aku pasti bisa!! Aku pasti bisa!
Aku meyakinkan diri sendiri untuk menenangkan hati. Semakin mendekati rumah Khansa, hatiku semakin berdebar. Tanganku mulai berkeringat. Begitu pula dengan keningku. Aku benar-benar sangat gugup.
Taksi berhenti tepat di depan rumah Khansa. Rumah itu sudah mengalami renovasi. Dinding bambu di bagian belakang rumah yang kulihat beberapa tahun yang lalu sudah tidak ada lagi, digantikan oleh dinding tembok yang kokoh. Aku tahu, pasti Khansa yang membuat rumah ini di renovasi. Aku benar-benar bangga pada Khansa. Wanita itu benar-benar bisa mengubah perekonomian keluarganya.
Aku berdiri mematung di depan rumah Khansa. Melamunkan hal-hal yang dulu. Tanpa Aku sadari seorang pria paruh baya keluar dari rumah itu.
"Cari siapa ya?" ucapnya. Aku tersentak dan memfokuskan pandanganku. Aku melihat ayah Khansa berdiri di depan pintu. Menatapku dengan pandangan menyelidik, dari atas ke bawah, kemudian kembali ke atas lagi.
Ayah Khansa tidak berubah. Hanya ada tambahan sedikit uban di rambutnya dan guratan halus di wajahnya. Aku menatap wajah itu dengan ragu-ragu. Mata yang penuh selidik itu semakin membuatku gugup dan gelisah. Seolah-olah mulutku tak bisa berkata-kata.
"Cari siapa Nak? Temannya Fian? Tapi Fian tidak mungkin punya..."
"Saya mencari Bapak." tandasku dengan terburu-buru.
***
Happy Reading 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Maryani Yani
akhir tahun baca lgi
2023-12-14
2
SUGA 💙💚💛💜💝💘
tebbalkan muka mu lex, semangat 💪.... begitu emang resiko cinta dalam diam 😊
2023-07-20
1
Erny Manangkari
lanjut thor
2023-02-08
0