Cakra
Ia tengah melayani pengunjung yang sejak sore hingga jelang petang ini membludak sampai wl (waiting list) ketika Riany memanggil namanya, "Cakra!"
"Ya?"
"Ada ponsel di loker yang bunyi terus. Tadi udah ditanya sama anak-anak, bukan punya mereka katanya. Coba kamu cek siapa tahu ponsel kamu yang bunyi."
"Habis ini Kak," ia berjanji akan segera menuju loker setelah menyelesaikan tugasnya mengantar beberapa pesanan.
Sekitar setengah jam kemudian barulah ia bisa pergi ke loker, dan terkejut demi mendapati 6 missed calls dari Kak Pocut. Ada apa?
"Ada apa , Kak?" tanyanya cemas. Semoga bukan hal yang buruk.
"Cepat pulang!" suara Kak Pocut terdengar tergesa.
"Sebentar lagi, aku selesai jam enam. Ada apa?"
"Anjani ke rumah!" jawab Kak Pocut cepat yang membuatnya kaget. Anja?
Dengan terburu-buru ia menyelesaikan semua tugas sebelum akhirnya melarikan motor dengan kecepatan tinggi pulang ke rumah. Ia bahkan tak sempat mampir ke Indoapril untuk membeli snack pesanan Sasa. Namun berjanji dalam hati, besok ia akan membelikan snack yang jumlahnya dua kali lipat lebih banyak.
Beberapa meter sebelum mencapai kediamannya, ia harus mematikan mesin motor dan menuntunnya karena Cing Mahbub, yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari tempat tinggalnya, sedang mengadakan acara tasyakuran.
"Baru pulang, Gam?" sapa Cang Romli tetangga sebelah rumah persis yang kini sedang duduk di teras rumah Cing Mahbub bersama para tetua lain.
"Iya, Cang," ia mengangguk.
"Udah ditunggu noh di rumah lu, cewek cakep," seloroh Cang Romli sambil terkekeh memperlihatkan sederet gigi palsu yang ukurannya jauh melebihi kapasitas mulutnya.
Ia hanya tertawa.
"Nyang ini beda sama yang biasa, Gam. Aye setuju dah lu ame nyang ini," lanjut Cang Romli sambil terus terkekeh dan mengacungkan dua jempol.
Membuatnya kembali tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Kerjaannya ngurusin orang lain aja lu, Rom," cibir Cang Juned yang duduk di sebelah Cang Romli.
"Eh, sebagai tetangga yang baik, gue boleh dong kasih pendapat."
"Iye, iye, gimana menurut elu aja dah."
Sambil terus tertawa ia mengangguk kepada seluruh tetua yang sedang duduk di teras dan berlalu, "Duluan, Cang."
Tak lama kemudian ia telah sampai di depan rumahnya yang malam ini terlihat tak biasa karena ruang tamu lebih benderang. Tanda jika rumah mereka tengah kedatangan tamu. Berarti Anja masih ada disini, batinnya lega.
Ia pun segera memarkirkan motor dan berniat untuk menaikkannya ke atas teras agar tak mengganggu pejalan kaki atau motor lain yang hendak lewat, namun diurungkan demi mendengar suara Mamak dari arah ruang tamu tengah bicara dengan nada tercekat,
"Maafkan Mak ya nak."
"Sudah gagal mendidik anak."
"Sudah membuat kau sengsara seperti ini."
Telak memukul relung hati yang bahkan telah hancur. Membuatnya hanya bisa berdiri diam mematung sambil bersandar di dinding depan rumah. Dan kalimat Mamak selanjutnya tak sanggup lagi untuk ia dengarkan. Hanya bisa masuk kuping kanan keluar kuping kiri, terlalu menyesakkan.
Mamak yang saat ia memberi pengakuan hanya mengucap istighfar sambil meneteskan air mata. Alih-alih memukulnya, menamparnya, memaki-makinya dengan kata-kata hina. Mamak justru terus beristighfar dengan air mata berderai. Yang membuat hatinya semakin hancur berkeping-keping.
Jujur, ia sangat berharap Mamak akan memukulnya habis-habisan, memaki-makinya dengan kalimat terburuk sekalipun, memarahinya hingga berhari-hari, bahkan tak mengajaknya bicara seumur hidup. Ia rela. Sangat rela. Karena memang pantas menerimanya.
Namun Mamak terus saja beristighfar tiada henti, lantas mengambil Al Qur'an, dan mulai membacanya meski dengan suara tersendat-sendat,
"Qad aflaḥal-mu`minụn...."
(QS Al Mu'minun : 1 )
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman...."
Suara bacaan Qur'an Mamak yang beberapa kali harus tertahan karena air mata, membuat hatinya yang telah hancur berkeping-keping menjadi semakin porak poranda. Ia pun hanya bisa terisak di belakang punggung rapuh Mamak yang terus melanjutkan mengaji.
"Wallażīna hum lifurụjihim ḥāfiẓụn...."
(QS Al Mu'minun : 5 )
"Dan orang yang memelihara ke ma lu annya...."
"Kau sudah datang?" lamunannya buyar demi mendengar suara kaget Kak Pocut yang melihat dirinya tengah bersandar di dinding depan rumah.
Membuatnya langsung menyusut sudut mata sambil berpura-pura tak mendengar pertanyaan barusan.
"Cepat masuk. Anjani sudah nunggu dari tadi!"
Ia mengangguk dan mulai menguatkan hati untuk memasuki ruang tamu, namun langkahnya terhenti tepat di depan pintu karena terpana demi melihat pemandangan yang sedang tersaji di hadapannya.
"Makan yang banyak," begitu kata Mamak sambil menyimpan sesendok besar manok (ayam) masak puteh ke dalam piring Anja yang tersenyum saat menerimanya. Membuat wajah cantiknya menjadi terlihat semakin bersinar.
"Orang hamil harus banyak makan makanan bergizi biar bayinya sehat," lanjut Mamak balas tersenyum.
"Dulu waktu Mamak hamil Agam sering makan ikan-ikanan dan sayuran yang banyak. Makanya sekarang dia bisa sebesar itu."
"Makan buah-buahan juga. Nanti ini semua dibawa pulang ya buat makan di rumah," pungkas Mamak sambil menunjuk sebaskom penuh berisi mangga, jambu, anggur, apel, dan jeruk.
"Besok Mamak buatkan ayam tangkap spesial. Dulu waktu hamil Agam ngidamnya makan ayam tangkap yang dipanggang. Belum pernah coba kan?"
Membuat kedua matanya kembali memanas.
***
Ia menatap Anja yang kini tengah melahap makanan di dalam piring seperti orang yang tak pernah melihat makanan selama seminggu penuh. Setelah beberapa menit lalu Mamak pergi berkunjung ke rumah Cing Mahbub bersama ibu-ibu yang lain. Sementara Kak Pocut menemani Umay dan Sasa belajar di ruang belakang.
"Ape lo?!" gerutu Anja sambil mendelik. "Belum pernah lihat orang makan?!"
Ia yang selama setengah jam terakhir lupa bagaimana caranya tertawa kini tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Lapar banget?"
Anja tambah mendelik, "Ya iya lah. Lo pikir gampang apa nyari rumah lo. Udah mirip kek mencari jejak ini sih!"
Membuatnya tertawa sambil terus menggelengkan kepala.
"Ada apa kesini?"
Anja semakin mendelik, "Nggak dibahas sekarang! Lo mau apa bikin orangtua lo jadi tambah sedih. Hih! Dasar nggak punya perasaan!"
Ia pun mengangguk setuju. Sudah cukup rasanya melihat Mamak melakukan semua hal hanya untuknya. Hatinya takkan sanggup lagi melihat hal lain yang sejenis. Untuk itulah ia lebih memilih mengikuti jejak Anja, mengambil piring kosong yang tersimpan di atas meja, lalu mulai mengisinya dengan nasi dan lauk.
"Ini enak bener sih," komentar Anja dengan mulut penuh. "Apa ini namanya tadi?"
"Ayam masak puteh."
"Sejenis opor ayam kan?"
"Mirip. Cuma ini bumbunya lebih banyak."
Anja mengangguk-angguk sambil kembali mengambil nasi entah untuk yang keberapa kalinya.
"Pasti ada resepnya di internet kan? Nggak harus nanya sama ibu lo?"
Ia tersenyum mengangguk, "Lo mau masak?"
"Masak?" Anja mengernyit. "Enggak lah, gue mau nyari resepnya di internet terus nyuruh Bi Enok buat masakin."
Membuatnya tertawa.
"Apa ketawa?!"
"Enggak," ia menggeleng.
"Lo ngetawain gue? Iya kan?!" Anja mendesis sebal.
"Enggak, Ja, gue nggak ngetawain elo."
"Lo pikir gue nggak bisa masak. Iya kan?!" sungut Anja.
"Gue nggak bilang gitu."
"Hah! Udah kelihatan di mata lo ngomong gitu!"
"Lo bisa baca mata gue?"
Pertanyaannya sontak membuat Anja kembali mendelik marah, "Apa sih?! Buru makannya, abis ini anterin gue pulang!"
Setengah jam kemudian mereka berdua telah berjalan kaki menuju jalan raya menyusuri gang yang semakin malam justru terasa kian semarak dengan banyaknya orang dewasa yang saling bercengkrama dan anak-anak kecil yang bermain-main dengan riang, berlarian kesana kemari. Tak ketinggalan para penjual makanan keliling yang menjajakan dagangannya. Karena masih banyak rezeki yang bisa diraup meski hari telah beranjak malam.
Ia sengaja meninggalkan motor di rumah karena Anja bilang, "Gue nggak mau naik motor. Dingin."
Jadi ia akan memesan Taxi Online untuk mengantarkan Anja pulang ke rumahnya.
Mereka berjalan sambil berdiam diri karena gang yang dilewati ramai oleh keriuhan para penduduknya. Tak memungkinkan mereka untuk saling bicara. Sesekali ia harus memindahkan kresek dari tangan kanan ke tangan kiri karena sempitnya jalan yang dilewati. Kresek berisi buah-buahan yang sengaja Mamak beli di pasar begitu Kak Pocut memberitahu jika Anja datang ke rumah. Ditambah seplastik ayam masak puteh yang tadi sempat membuat Anja menambah nasi berkali-kali.
"Harusnya tadi buah-buahannya nggak usah dibawa," ujar Anja memecah keheningan ketika mereka melewati deretan langgar (masjid) dan sekolah madrasah yang gelap dan sepi.
"Nggak papa," jawabnya. "Emang Mak sengaja beli buat kamu."
Anja menatapnya sambil mengkerut, "Padahal mendingan buat dimakan sama adik-adik lo."
"Keponakan."
"Ya apalah terserah."
"Iya, gue tahu lo bisa beli sendiri buah-buahan kayak gini," lanjutnya sambil tersenyum. "Tapi ini kan udah dikasihin, jadi ya terima aja."
Anja hanya mencibir, terus berjalan mendahuluinya di depan.
"Di sekitar sini ada cafe nggak?"
Ia tertawa, "Ini di kampung. Mana ada cafe. Adanya warung kopi, mau?"
"Ya tempat apalah yang bisa buat ngobrol. Gue perlu ngobrol penting sama lo!"
Ia harus melihat pergelangan tangan kanan sebelum menjawab, "Udah malam. Mendingan lo pulang. Kita ngobrolnya besok lagi aja."
"Enak aja!" salak Anja cepat. "Gue maunya sekarang!"
"Ya udah ngobrol disini. Ini juga kita lagi ngobrol."
Anja menoleh ke belakang sambil melotot, "Masa ngobrol di gang kayak gini?! Yang bener aja lo! Yang mau gue omongin ini serius banget!"
Ia menghela napas, "Ya udah, lo mau ngobrol dimana?"
Dengan menggunakan Taxi Online mereka akhirnya meluncur menuju cafe di pinggiran kota, tempat mereka pernah bertemu beberapa waktu lalu. Cafe tua khusus lansia yang sepertinya akan menjadi tempat tujuan utama mereka berdua saat harus bicara.
Dan di malam minggu ini, cafe terlihat lebih ramai dibanding siang hari saat mereka datang kemari untuk pertama kalinya. Sekelompok pria wanita paruh baya dan lanjut usia memenuhi kursi pengunjung. Membuat mereka kebagian meja di tempat yang paling tidak diinginkan, yaitu pojok ruangan dekat dengan dapur.
"Disini nggak papa?" ia khawatir Anja merasa tak nyaman karena meja mereka menjadi jalan utama pegawai Cafe lalu lalang mengantarkan pesanan pada para pengunjung.
"Nggak ada tempat lagi kan?!"
Ia mengangguk. Masing-masing hanya memesan minuman karena masih merasa kenyang setelah makan di rumah tadi.
"Gue tadi ke klinik," ujar Anja membuka pembicaraan. Membuatnya terperanjat dan langsung berusaha melihat perut Anja yang tertutup meja. Jangan bilang kalau....
"Apa lo lihatin gue?!" damprat Anja kesal karena ia berusaha melihat perut Anja dengan lebih jelas.
"Lo udah ngelakuin itu?" tanyanya dengan suara tercekat. Takut Anja benar-benar telah melakukannya.
"Gue kan udah bilang kalau lo mau ngelakuin itu kasih tau, biar gue antar!"
"Dengerin dulu jangan motong omongan orang!" Anja memukul tangannya yang tersimpan di atas meja dengan sangat keras sampai membuatnya mengaduh.
"Gue tadi udah ke klinik, tapi nggak jadi...."
"Alhamdulillah....," ia langsung berucap lega.
BUG!
Anja kembali memukul tangannya dengan tangan terkepal. "Dibilang jangan motong!"
"Sori...sori...," ia meringis karena memang pukulan Anja dilakukan dengan sekuat tenaga. Membuatnya tak habis pikir dengan karakter cewek berisik yang meledak-ledak ini.
"Karena gue kabur pas mau di bius, duit gue nggak bisa balik lagi," lanjut Anja dengan mimik serius.
"Enam juta," kali ini sambil melotot. "Gue udah bayar enam juta ke klinik tapi nggak jadi ditindak. Then, duit gue hangus. Nggak ada."
"Jadi sekarang, gue mo nagih sama lo, duit enam juta itu."
Membuatnya mengernyit heran.
"Lo pikir gara-gara siapa gue sampai kehilangan duit liburan gue?! Gara-gara elo lah yang bikin gue jadi kayak gini!"
"Oke....oke....," ia mengerti sekarang. "Berapa hutang gue?"
"Enam juta. Ongkos Taxi, biaya browsing, dan lain-lain nggak gue hitung. Tuh, baik banget kan gue?!"
Ia mengangguk-angguk mengerti, "Gue minta waktu dua minggu."
"Hah?! Dua minggu?! Lama amat?!" Anja memekik kesal.
"Gue maunya sekarang! Lo sekarang ada duit nggak?!"
Ia menghembuskan napas dan menggeleng. Ia memang memiliki tabungan, tapi bukan untuk aborsi. Rencananya ia akan mencari pinjaman ke Retrouvailles (lagi).
"Tuh kan," Anja mencibir. "Lo aja nggak megang duit sama sekali tapi pede banget mau bertanggungjawab!"
"Anja!" potongnya tak suka. "Megang duit sama tanggungjawab itu beda urusan."
"Sama lah!" sahut Anja cepat. "Lo mau tanggung jawab pakai apa kalau nggak ada duit? Lo pikir kita hidup nggak pakai biaya?!"
"Iya...oke...oke...," ia mengerti. "Enam juta bakal gue bayar secepatnya. Tapi itu artinya, lo setuju buat nerusin kan?"
"Nerusin apa?!"
"Kehamilan elo. Sampai anaknya lahir."
Anja tak menjawab, lebih memilih untuk menyesap minuman pilihannya, secangkir cokelat hangat yang masih mengepulkan asap.
"Intinya gue mau tanggungjawab. Semua terserah elo. Gue ikut rencana elo."
Anja menatapnya sambil mencibir, "Gue tadi kabur dari klinik, bukan berarti mau terus lanjutin sampai lahir."
"Hah?"
"Gue cuma perlu waktu buat jeda," Anja kembali menyesap cokelat hangatnya. "Ntar kalau udah siap, gue bakal cari tempat yang lebih bagus buat aborsi. Pastiin lo yang bayar biayanya!"
"Anja?!" ia menggeleng tak setuju. "Kandungan lo udah empat bulan lebih. Mau lima bulan. Dan keadaan semua sehat."
"Kalau lo mau tetep ngelakuin itu di usia kehamilan yang sekarang, justru bahaya. Nyawa lo jadi taruhannya."
"Nggak bahaya kalau ditangani sama ahlinya, profesional," jawab Anja yakin. "Gue bakal nyari referensi yang lebih meyakinkan lagi. Ntar kalau udah ketemu, gue kontak lo biar lo bisa siapin duitnya!"
"Oh ya, sama jangan lupa, yang enam juta. Gue nggak mau nunggu sampai dua minggu."
"Lebih cepat lebih baik."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Mrs.Kristinasena
Anja..Anak manja..kepala batu..wkwkk
2025-02-27
0
Raufaya Raisa Putri
huuft....hrs banyak stok sbr ngadepin ank manja
2024-09-16
1
Raufaya Raisa Putri
mamak terlaaaaafffff
2024-09-16
1