Hingga detik ini, Zena belum mengetahui kenapa penyebab Kakak keduanya meninggal dalam kandungan Bunannya. Ia ingin sekali menanyakan hal itu, tetapi Zena tidak ingin membuat Bunanya sedih karena harus mengingat kembali masa lalu.
Banyak sekali pertanyaan di benak Zena, ingin sekali ia menanyakan semua hal yang selalu ia pendam saat ini. Ada kalanya ia pun lelah dengan semua terkaan di benaknya itu. tak menemukan jawaban apapun. Alana dan Zena memiliki karakter yang hampir sama, selalu pandai menyembunyikan hal apapun itu.
Rahasia yang selalu Zena simpan rapat-rapat hingga detik ini, jika ia mencoba menceritakan hal itu, ia takut orang yang ia sayangi merasakan sakit dan sesak bila mendengarnya. Mungkin suatu saat Zena akan menceritakannya pada Alana, entah itu kapan, ia sendiri pun masih diambang ketakutan dan kebingungan.
“aduh… kok jadi mellow gini sih, udah kita lanjut makan lagi yuk.” Ucapnya, mencairkan suasana yang sesaat sedikit mengandung bawang.
“hmm…” angguk nya dan melanjutkan kembali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya itu.
Ucapnya lagi, “Buna juga makan dong… masa dari tadi Zena doang yang makan.”
“iya sayang ini Buna makan.” Senyumnya tidak bisa menutup kesedihan yang ia rasakan, selalu saja ia tutup dengan senyuman palsu, ia tidak ingin sekitarnya mengkhawatirkan dirinya.
Tawa canda bergema di ruang makan itu, seolah kebahagiaan menyelimuti mereka, nyatanya tak banyak orang mengetahui apa yang mereka rasakan. Alana maupun Zena, mereka pandai sekali untuk mengelabui semua orang bahwa mereka selalu baik-baik saja dan bahagia.
Sering kali orang-orang sekitar merasa iri dengan keluarga Hadwin Alvino Bratajaya dan Alana Clarista. Sepasang suami istri yang selalu terlihat harmonis di depan orang-orang. Layaknya aktris yang pandai berakting di depan Camera.
Lelah?, sudah pasti Alana lelah dengan kepalsuan yang selalu ia tunjukan itu, mau bagaimana lagi, inilah cara satu-satunya ia menyelamatkan dan bertahan dalam rumah tangganya itu. ia bertahan demi anak-anaknya, ia tidak mau anak-anaknya menjadi korban broken home.
Tanpa Alana sadari, dengan mempertahankan rumah tangganya itu, sudah sangat membuat Zena merasakan keretakan di antara kedua orang tuanya.
Broken home tidak hanya perceraian saja, rumah yang selalu berisik, pertengkaran kedua orang tua yang kerap kali terulang terus menerus tak mengenal waktu. Pernikahan kedua orang tuanya itu bagaikan pernikahan di atas kertas saja.
Zena sudah muak dengan sandiwara yang selalu ia lihat, tapi ia memilih untuk diam dan seolah-olah tidak pernah mengetahui apa yang tengah terjadi dengan kedua orang tuanya. Ingin sekali ia meminta agar Alana dan Hadwin bercerai saja, tapi ia tidak mampu untuk mengatakan hal itu, bukan hal yang mudah yang bisa ia utarakan begitu saja.
Seolah tau apa yang di rasakan oleh Bunanya itu. Alana yang sakit karena Hadwin dan lebih sakit pula tidak bersama Hadwin, entah apa yang membuat Alan mempertahankan pernikahan nya, yang pasti hanya Alana yang tahu cobaan yang menimpa pernikahannya itu.
…
Malam itu langit-langit mulai meneteskan titik gerimisnya, dengan hembusan angin yang menerpa rambutnya. Ia baru saja keluar dari mini market, dengan kantong kresek yang di dalamnya berisi beberapa cemilan.
Seseorang tengah duduk di bangku tepat dekat pintu masuk minimarket itu, dengan satu kaki ter angkat, bertumpu pada kaki satunya. Yang tak terlihat wajahnya karena tertutup oleh masker, dengan menggunakan jaket hoodie hitam.
Zenna berjalan menghampiri motor yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Saat hendak ia menaiki motornya, matanya tak sengaja melihat pria berperawakan jangkung itu tengah memperhatikannya dengan sebatang rokok yang terselip diantara dua jarinya itu.
Zenna pun mengalihkan tatapannya dengan segera. Menggunakan Helmnya dan pergi sesegera mungkin dari mini market itu. Pikirnya pria itu adalah orang jahat yang mungkin menguntitnya sejak tadi?. Zenna menancapkan pedal gas motornya, rasanya ia ingin sekali cepat sampai ke rumah.
Pria itu terkejut saat Zenna menancapkan pedal gas motornya mungkin dengan kecepatan tinggi. Tak menunggu lama lagi, ia melempar sembarang rokonya itu. Mengikuti Zenna dari belakang dengan jarak yang agak berjauhan, tetapi masih bisa terlihat dari kaca spion motor Zenna.
Zenna memang sudah biasa mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, yang mungkin bisa membuatnya jatuh dari motor. Tidak ada kata jera dalam dirinya selagi ia menyukai hal itu. Zenna memang sudah mahir menggunakan motornya, ia sudah berlatih dengan Papahnya saat ia kelas 4 SD. Dan itu bisa membuatnya mengendalikan motor tanpa ragu.
Fokus melihat kaca spion kanan dan kirinya, untuk mengecek bahwa pria tadi tidak mengikutinya lagi. Jelas Zenna masih melihat motor dengan warna hitam pekat itu, masih mengikutinya. Tanpa ia sadari saat tengah memasuki gerbang komplek rumahnya, ia hampir saja menabrak seseorang yang tengah berolahraga di malam hari. Orang tersebut ialah Shaga.
Karena rem yang mendadaknya hampir saja Zenna terjatuh dari motornya. Dengan cepat Shaga menahan motor itu agar Zenna dan motornya tidak terjatuh. Nafas yang terengah dengan perasaan panik melanda di antara keduanya.
“hati-hati Biaa...” lirihnya, dengan tangan yang masih menahan motor itu.
“Haga. Sorry.” Ucapnya bergetar, dicampur rasa ketakutan yang masih melandanya.
Shaga mengambil alih kemudi motornya itu. Seolah memberi isyarat agar ia yang mengendarainya dan Zenna di belakang jok penumpang. Sebelum dilajunya motor itu, Shaga menarik tangan Zenna agar berpegangan pada dirinya, di elus lembut punggung tanggan Zenna untuk menenangkannya dari apa yang baru saja terjadi.
“pegangan ya, jangan dilepas. Atur nafas dulu biar lebih tenang.” Dilajunya motor itu tidak menuju rumah Zenna, melainkan ia dibawa untuk bertepi di taman komplek. Shaga lebih dulu turun dari motor, ia membuka kaitan Helm yang masih Zenna kenakan. Di genggamnya tangan Zenna untuk berduduk di kursi taman itu.
Shaga mengambil kantong keresek yang ada di motor Zenna, ada banyak cemilan dan air mineral yang Zenna beli tadi di mini market. Shaga memberikan mineral botol yang sudah ia buka itu diberikan kepada Zenna.
Tetapi Zenna enggan untuk mengambil mineral botol itu, ia hanya melamun menatap kosong ke arah danau yang ada di taman itu. di raihnya tangan Zenna oleh Shaga
“udah lebih tenang?” Shaga memastikannya.
“hm..”
“boleh gue tanya?” yang langsung di jawab oleh Zenna dengan anggukan.
“kenapa kebut-kebutan, hm.?” Tanyanya lembut, membuat Zenna hanya bisa menatap Shaga dan tidak menjawab pertanyaannya.
“Sabiaa…” panggilnya pelan membalas tatapan mata sayu Zenna.
“gakpapa Haga .” Jawabnya pelan terdengar seperti bisikan.
“ada yang ngikutin lo tadi?” tanpa Zenna sadari, Shaga sudah memperhatikannya saat motor Zenna melaju masuk menuju gerbang kompleknya. Ia juga sempat melihat gerak-gerik seperti seseorang sedang mengikuti dengan jarak yang tidak terlalu jauh dibelakang Zenna. Refleks Shaga berlari ke arah Zenna, dan membuatnya hampir tertabrak oleh motor Zenna.
Itulah Shaga tanpa Zena jelaskan ataupun bercerita, Shaga selalu tahu apa yang tengah terjadi kepada Zenna. Sudah hal biasa bagi Zenna, Shaga pasti akan tahu tanpa ia beri tahu. Tanpa Zenna jawab pun, Shaga sudah tahu apa jawaban Zenna.
“boleh bantu gue?”
“maksudnya?” Pertanyaan Shaga jelas membuat Zenna bingung, apa yang dimaksud dari kata membatunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Melia Andari
kasihan Alana
2025-02-25
1
Diana (ig Diana_didi1324)
bisa dibilng kluarga brokenhome
2025-02-24
1