KAMAR SHAGA
Kini ia berbaring di atas kasur, harum ruangan yang telah tercampur dengan aroma parfum yang selalu Shaga pakai, membuatnya terasa tenang dan nyaman, dipejamkan matanya untuk sekedar merehatkan kekalutan yang menimpanya, begitu berisik isi kepalanya. Terus terekam hal-hal yang tidak ingin Zena ingat atau rasakan kembali. Sulit?, memang tapi harus ia lakukan untuk bisa menghapus rasa itu.
Drrtt… drrtt… drrtt…
Drrtt… drrtt… drrtt…
Panggilan masuk yang terus bergetar pada handphone nya, dilihatnya notifikasi panggilan itu, membuat Zena enggan untuk menjawab. Ia memilih untuk beranjak dari tidurnya, dan membaca beberapa koleksi buku yang dimiliki Shaga, lumayan tersusun rapi buku-buku yang tersimpan di rak sederhana itu.
Ternyata Shaga masih menyimpan buku yang pernah Zena beri di hari ulang tahunnya. Hiasan koleksi miniatur itu menambahkan rak buku terlihat menjadi aesthetic.
Hobby sejak kecil Shaga yang hingga saat ini tidak pernah berubah, Camera dan Guitar adalah barang kesayangannya sejak kecil. Fotografi salah satu hobby sama yang dimiliki Shaga dan Zena, mereka mempunyai satu Camera yang hampir sama.
Kerap kali beberapa teman Shaga, menganggap mereka seperti sepasang kekasih bukan sahabat, yang sering kali Zena bantah saat beberapa orang menyangka mereka berpacaran. Sulit di tebak bagaimana perasaan Shaga terhadap Zena dan sebaliknya. Sejauh ini perasaan itu belum ditemukan diantara keduanya.
“Bi Tina…” panggilnya pelan. Ia menghampiri Bi Tina yang berada di dapur sedang merapihkan beberapa alat makan.
“iya nak Zena?”
“Zena pamit pulang dulu ya Bi.”
“tidak menunggu Nak Shaga dulu?”
“engga Bi, takutnya masih lama dia, udah mau sore juga, Buna udah pulang kayanya.” Jelasnya.
“yaudah, nanti Bibi sampaikan ke nak Shaga.”
“makasih ya Bi Tina, Zena pamit ya Bi, permisi” ia mengangguk pelan.
***
Pekarangan rumah yang sunyi tanpa terlihat ada kehidupan di dalam rumah itu. ia pun menyimpan motor di dalam garasinya, ia parkirkan motor kesayangannya itu di dekat mobil Black Metalic milik kedua orang tuanya. Terparkir nya mobil itu, menandakan bahwa Hadwin berada di rumah.
Harum kopi dan rempah-rempah seperti kayu manis, membuat suasana tenang dan nyaman, ciri khas harum yang selalu ia rindukan setelah bepergian. Kini ia berada di kamarnya, dibaringkan kembali tubuhnya di atas kasur ternyaman nya. Yang seketika membuat ia merasakan kantuknya.
Drrtt… drrtt…
Sahaga
Biaaa kemana?, gue pulang lo gak ada
kebiasaan Sabiaa
tau-tau ilang
Gue udah bilang, gue keluar sebentar, malah pulang
Begitulah Zena, ia selalu lupa atau memang sengaja tidak memberi tahu Shaga, rentetan spam chat yang di kirim oleh Shaga di abaikannya begitu saja, ia sedang enggan untuk membalasnya. Ada kalanya Zena tidak akan merespon notifikasi di handphone nya dari siapapun itu, baik itu chat atau panggilan telepon.
Sebentar yang Shaga maksud bisa menghabiskan beberapa jam, jelas Zena tidak nyaman berada di rumah Shaga jika pemilik rumah tidak ada, meskipun ia sering kali di persilahkan untuk tidak sungkan, karena Zena sudah mereka anggap sebagai keluarga.
~ ~ ~ ~
“Ibu boleh tanya?”
“boleh Bu.”
“kamu kenapa lebih banyak diam diantara teman-teman kelas mu?”
“apa ada yang mengganggu pikiran mu?”
“tidak ada Bu.” Ucapnya dengan tersenyum simpul.
“ada teman-teman yang mengganggu mu tidak?”
“tidak ada Bu.”
“kalau ada yang mengganggu mu atau teman-teman di kelas memperlakukanmu tidak baik, kamu bisa cerita dan lapor pada Ibu ya.”
“iya Bu, terimakasih sebelumnya.”
berjalan diantara suasana yang ramai, cengkrama saling saut menyaut diantara keramaian itu, tatapan kosong membuat lamunannya seketika senyap, dilihatnya sekeliling ruangan itu seperti tidak ada siapapun. Kehadirannya yang tidak begitu diharapkan seolah tidak terlihat. Marah, kecewa, takut, bersatu dalam rasa yang tidak ingin ia rasakan.
Bisikan yang selalu ia abaikan, ternyata tak semudah itu, terus menerus menggema dalam pikirannya ingin sekali ia teriak kepada semua orang yang selalu mengabaikannya tanpa tau kebenarannya, yang hanya mendengar dari satu mulut ke mulut lainnya. Benci?, sudah pasti, tetapi selalu ia tolak dan abai terhadap rasa itu, hati dan pikiran yang selalu bertolak belakang, membuatnya semakin kalut dalam diam.
“tuh-tuh, liat jalannya, pendiam banget sih.”
“aneh banget deh”
“jarang ngomong ga pegel apa?.”
Tak di hiraukan bisikan itu, ia bawa dirinya kembali duduk ditempatnya, teman sebangku selalu bergantian, entah kenapa dan mengapa. Yang ia lakukan hanyalah sekolah dan membuat bangga orang tersayang.
“hei Ze”
Ia hanya melirik teman sebangkunya dengan tersenyum, meskipun ia malas untuk pura-pura seolah baik-baik saja.
“aku benci kamu.” Katanya dengan tersenyum, seolah perkataannya terdengar menyenangkan.
Apa yang sebenarnya terjadi?, mengapa tiba-tiba saja berubah, baru saja ia senang mendapatkan teman semasa putih biru di tingkat awalnya, yang selalu orang-orang bilang masa paling menyenangkan sebelum masa putih abu. Mendengar tutur itu ia hanya tersenyum simpul tak mau menanggapinya dengan serius, bisa saja mungkin hanya bercanda, tetapi kata itu sudah dikatakannya beberapa kali, tanpa tau apa penyebabnya.
Hingga detik ini ia tidak pernah tau, mengapa ia begitu dibenci oleh beberapa teman sekelasnya.
“Zee”
“Zena sayang”
Di usapnya sudut mata yang sedikit basah itu, membuat ia mengerjapkan matanya, ternyata rasa itu ia bawa dalam bangun dari tidurnya, mimpi yang terasa nyata dan selalu berulang seperti menghantui di setiap tidurnya.
“bangun sayang, gak baik tidur menjelang sore.” diusap lembut pipi putrinya itu.
Zena memposisikan tubuhnya duduk sejajar dengan Bunanya. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih setengah mengantuk.
“Buna kapan pulangnya?”
“baru beberapa menit yang lalu.”
“ayo kita makan, pasti kamu belum makan siang kan tadi?”
ia hanya tersenyum simpul tanpa menjawab pertanyaan Buna nya itu.
“jangan dibiasakan telat makan Na, kalau udah waktunya makan, kamu harus makan.” Tuturnya lembut, yang sering kali Alana khawatirkan dari putrinya itu, ia selalu lupa waktu jam makan. Terkadang jika alana terlalu sibuk dengan pekerjaannya di Cafe, sering kali Zena hanya makan pagi saja, dan lebih banyak berdiam diri di dalam kamarnya itu.
“iya Buna.”
“yaudah, kamu cuci muka dulu gih, Buna tunggu di meja makan ya.”
Hendak Alana beranjak dari duduknya, tangannya di cekal oleh Zena, yang membuatnya sedikit heran.
“kenapa Na?.”
“Papah ada di meja makan juga Bun?”
“gak ada, Papah lagi keluar dulu.”
Sedikit lega saat mendengar ucapan Bunanya itu, membuat Ia segera bangkit dari duduknya yang kini sejajar dengan Bunanya. Dirangkulnya tangan Alana oleh Zena menuju lantai bawah dengan rasa tenang dan nyaman yang tidak tahu begitu tiba-tiba saja ia rasakan. Di elusnya punggung tangan Zena membuat Alana merasakan kebahagiaan yang cukup baginya hanya bersama dengan anak-anaknya saja.
Zena menuju kamar mandi membasuhi wajahnya untuk menyegarkan dari rasa kantuk yang masih menerjangnya. Di sisi lain Alana tengah sibuk menyiapkan lauk pauk yang sudah ia buat pagi hari tadi, kini sudah ia hangatkan kembali, tersusun rapi di atas meja makan dengan berbagai menu makanan ia buat itu, dan tidak lupa telur mata sapi menu makan favorit putri bungsunya itu.
Yang selalu Zena lakukan sejak kecil hingga sekarang, ia selalu duduk di samping Alana ketika di meja makan. Seolah kursi itu sudah punya ke pemilikannya, yang tidak boleh di duduki oleh siapapun kecuali hanya dirinya saja. Sudah tidak heran, jika Zena dan Aksa selalu berebut tempat duduk saat berada di meja makan. Bukan Aksa namanya jika tidak mengusili Zena hingga membuatnya kesal.
“nih telur mata sapinya.”
“waaahh… my favorite.” Matanya berbinar, senyum lebar yang menunjukannya ia sangat bahagia, meski hanya telur mata sapi yang tidak seberapa, tapi itulah Zena, dengan kesederhanaan yang ia miliki.
“jangan cuma nasi goreng sama telur, sayuran dan lainnya juga dimakan dong Na.”
“aye aye captain.” Ucapnya dengan mengangkat kedua ibu jarinya itu.
“tadi Shaga ke Cafe, Buna kira bareng sama kamu.”
“Ze gatau kalau Haga mau ke Cafe Buna.”
“tapi tadi ke rumahnya Shaga kan?”
“iya, tadi dia sempet keluar dulu bentar, tapi gak tau kemana.”
“tadi Shaga sempet bantuin Buna di Cafe, tapi gak lama dia pergi lagi waktu nerima telponnya.”
Di tengah percakapan yang sejak tadi mengalir begitu saja, membuat Alana seketika mengingat masa-masa kecil Zena dan Shaga, yang selalu bersama kemanapun seperti anak kembar yang tidak bisa dipisahkan.
“Buna jadi keinget waktu jaman kalian kecil…” Sedikit terjeda dalam perkataannya, seperti merasakan rindu yang tak tertahan. “karakter kalian tuh… suka bikin Buna senyum sendiri kalau inget. Shaga yang selalu foto-fotoin kamu tapi kamunya anti banget sama Camera, kamu suka foto-fotoin pohon, awan, dan lainnya, tapi gak pernah mau foto diri kamu sendiri, kalian punya hobby yang sama dari kecil, suka banget sama namanya Camera, jadi dulu kalau mau beliin barang atau apapun itu harus sama, karena banyak banget kesamaan kalian tuh.”
Setelah mendengar apa yang sudah Bunanya ceritakan itu, membuat Zena merekam ulang masa kecilnya dengan Shaga. Ia tak percaya bisa bersama selama ini, sahabat terlama yang ia miliki. Hanya Shaga lah yang menerima Zena dengan apa adanya di masa itu.
“dulu Haga gak usil kaya sekarang.” Ucapnya terkekeh.
“dia begitu karena menunjukan rasa sayangnya, sama halnya Bang Aksa suka usili kamu.” Jawab Alana dengan tertawa kecil.
“sama aja sebelas dua belas mereka tuh.” Protesnya, memang Zena malas jika Bang Aksa selalu mengusilinya, dulu ia selalu minta perlindungan di balik tubuhnya Shaga, tetapi seiring berjalannya waktu entah kenapa, Shaga jadi seperti Bang Aksa selalu mengusili Zena.
“bareng-bareng terus sama Shaga ya Na, dia baik anaknya, dan keliatan sayang banget sama kamu, ngejagain kamu layaknya seorang Kakak. Buna seneng liat kalian tumbuh bareng-bareng.”
“anak Buna engga hanya dua, anak Buna semuanya ada 4, Bang Aksa, kamu, Shaga, dan… Kakak kedua mu.” Ucap lirih Alana, saat menyebutkan nama terakhirnya.
“Buna…” panggil Zena pelan, ia mengusap lembut punggung tangan Bunanya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments