Alzena
“Bunaa… Zena berangkat dulu ya.”
Pamit Zena di depan pintu, ia tengah menggunakan sepatu.
Alana menghampiri putri bungsunya itu yang berada di depan pintu, dengan celemek masak yang masih dikenakannya.
“Bekalnya udah di bawa nak?” Alana memastikan, karena ia tahu putri bungsunya itu selalu lupa.
“Harusnya sih udah Zena masukin ke tas ya Bun.” Zena membuka tasnya untuk memastikan kembali.
Alana yang memperhatikan putrinya itu, hanya menggeleng kepala.
“Nah kan lupa lagi.” ucapnya, ia mencubit pelan pipi putrinya dengan gemas.
“Hehee… lupa Zena masukin ternyata Buna.” jawab Zena dengan terkekeh pelan.
“Tunggu sebentar, Buna ambil dulu di meja makan.”
“Ok Buna.”
Sambil menunggu, Zena melanjutkan kembali menggunakan sepatunya yang sebelah kiri. Tidak lama, Alana menghampiri Zena dengan membawakan bekal untuk makan siang.
“Sini tas nya, Buna masukin bekalnya, kamu lanjutin pake sepatunya.” Alana memasukan bekal makan siang pada tas Zena. Zena kembali melanjutkan menggunakan sepatunya itu.
“Makasih Buna bekal makan siangnya.”
“Zena berangkat ya Buna.” tidak lupa Zena mencium tangan dan mencium kedua pipi Alana.
itulah kebiasaan Zena di setiap pagi ataupun berpergian, bisa dibilang itu sebuah rutinitas yang tidak boleh ia lewatkan.
Alana membalas dengan memeluk dan mencium pipi putri bungsunya itu.
“Hati-hati ya sayang, inget pesan Buna?”
Jawab Zena sambil menggunakan helmnya “Jangan kebut-kebutan, biar pelan yang penting selamat.”
“Jangan lupa kalau udah sampai kasih kabar Buna.” sambung Alana.
“Iya. BUNA BAWEL KU SAYANGGG.” Zena mencubit pelan pipi Bunanya itu dengan bercanda.
“Kamu nih ya dasar, udah sana berangkat nanti telat.” jawab Zenna dengan terkekeh.
“Yaudah Zena berangkat ya Buna, Assalamualaikum.” pamit Zena dengan menjalankan motornya.
“Waalaikumsalam, hati-hati ya nak.” setelah menutup pintu pagar, Alana pun masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan kembali memasaknya.
*Meja Makan *
Aksa yang sedang asik menyantap sarapan pagi di meja makan, ditemani dengan handphone di tangan kirinya, Aksa tidak menyadari bahwa Bunanya itu sudah duduk di meja makan bersebrangan dengannya.
Aksa adalah putra sulung Alana, yaitu Abangnya Zena.
“Kalau lagi makan taruh dulu handphone nya Bang.” titah Alana pada putra sulungnya. Dengan memotong sayuran untuk di masak siang nanti.
“Ehh.. Buna.” Aksa sedikit terkejut karena Alana tiba-tiba saja ada di hadapannya. Alana yang melihat itu, hanya menggelengkan kepalannya dengan tersenyum tipis.
“Oh iya Buna, nanti Abang pulangnya agak malam, Buna jangan nunggu Abang pulang ya.” jelas Aksa.
“Hari ini Abang ada lembur lagi di kantor?” Alana memastikan.
“Enggak Bun, pulang kerja Abang ada acara reuni SMA.” Lanjut jelas Aksa “Nanti kunci aja ya Bun, Abang bawa kunci rumah kok.”
“Jangan lupa nanti kasih kabar Buna ya kalau udah sampai.” pinta Alana pada putra sulungnya, meskipun Aksa anak laki-laki dan sudah remaja berusia 24 tahun, rasa sayang dan perhatian Alana tetap sama, dulu hingga sekarang.
“Siap Buna.” ucap Aksa.
“Zale udah berangkat Buna?”
Zale adalah panggilan Aksa kepada Zena, ia ambil nama belakang Zena untuk panggilan sayangnya. Hanya Aksa yang memanggil dengan sebutan Zale.
“Udah, beberapa menit yang lalu.” sambung Alana lagi “Adik kamu tuh Bang, pelupa banget duuuhh.”
“Lupa apa lagi emang dia Bun?” Tanya Aksa, dengan penasaran.
“Biasa bekal makannya, padahal setiap hari kalau Zena lagi sarapan, Buna selalu bawel jangan lupa bekalnya bawa.” jelas Alana dengan ekspresif.
“Deuh… si Zale kebiasaan banget, tenang Bun nanti Abang ceramahin.” katanya dengan terkekeh.
“Kamu nih Bang ada-ada aja.” jawab Alana dengan tersenyum. Aksa melanjutkan kembali menyantap sarapannya.
*Halaman Sekolah*
Zena baru saja sampai di parkiran halaman sekolah, tidak lupa ia bawa Helmet kesayangan nya yang akan ia titipkan pada Pak Satpam.
“Pagi pak Hendra.” sapa Zena pada penjaga
sekolah dengan ramah.
“Pagi juga nak Zena.” jawab pak Hendra dengan menghampiri Zena.
“Mau titip lagi Helmnya di dalam?” tanya pak Hendra dengan nada lembut dan senyum yang ramah.
Sudah terbiasa Zena menitipkan Helm pada Pak Hendra, sebenarnya di samping Pos Satpam sudah di sediakan tempat penyimpanan Helm, tetapi Zena sudah terbiasa menitipkan Helm kesayangannya pada Pak Hendra, karena Zena pernah kehilangan Helm saat ia taruh di tempat penyimpanan.
“Hehe.. iyaa Pak, Maaf ya Pak kalau Zena sering titip Helm di dalam Pos.”
Sebenarnya Zena tidak enak kalau harus sering kali menitipkan Helm nya di dalam Pos, tidak di tempat penyimpanan. Itu karena, Zena tidak mau kejadian kehilangan Helmnya terulang kembali. Padahal sekolah sudah memfasilitasi tempat penyimpanan Helm, untuk semua Siswa/Siswi yang membawa Motor.
“Ya gapapa toh nak, sini simpan saja di dalam Pos.” Pak Hendra mengulurkan tangannya, untuk menggambil Helm yang masih berada di tangan Zenna.
“Makasih banyak ya Pak, maaf Zena jadi ngerepotin Bapak.” sungkan Zena dengan memberikan Helmnya pada Pak Hendra.
“Sama-sama nak, tidak merepotkan sama sekali, dari pada nanti terkena marah lagi oleh Papah nak Zena gimana?” tanya kembali Pak Hendra pada Zena.
Zena hanya bisa tersenyum malu. Karena apa yang di ucapkan Pak Hendra memang benar. Saat itu Zenna sempat bercerita sedikit kepada Pak Hendra, Dimana kejadian Helmnya yang sempat hilang, membuat ia terkena marah oleh Papahnya. Dari situlah ia selalu menitipkan pada Pak Hendra.
~Sedikit cerita tentang Pak Hendra.~
Pak Hendra adalah Satpam di sekolahku, yang sangat ramah, dia tidak hanya ramah pada lingkup sekolah saja. Diluar lingkup sekolah pun, Pak Hendra selalu ramah pada siapa pun. Umur Pak Hendra terbilang sudah setengah abad, tetapi jiwa semangatnya tidak pernah pudar.
Dia selalu semangat bekerja untuk menafkahi istrinya. Pak Hendra sempat mempunyai seorang anak, tetapi takdir berkata lain. Anak Pak Hendra sudah lebih dulu dipanggil oleh yang Maha Kuasa, tidak tahu penyebab anak Pak Hendra meninggal karena apa. Zenna tidak berani untuk menanyakannya, karena saat menceritakan tentang anaknya mata Pak Hendra selalu berkaca-kaca. Zenna tidak mau membuat Pak Hendra menjadi sedih, karena mengingat kembali mendiang anaknya.
Zenna sudah menganggap Pak Hendra seperti orang tuanya dan sebaliknya, Pak Hendra pun sudah menganggap Zenna seperti anaknya. Dia bilang anaknya mirip dengan Zenna, dari sikap, sifat dan karakternya sama seperti Zenna.
Pak Hendra bilang, dia tidak pernah sama sekali membentak ataupun memarahi anaknya, dia sesayang itu dengan putrinya. Saat kehilangan anak semata wayangnya itu. Pak Hendra sedih dan hancur, hingga dia masuk rumah sakit.
Saat itu Zenna menjenguk dengan teman-teman kelas, dan Guru-guru. Pada saat Pak Hendra jatuh sakit, Satpam di sekolah sempat digantikan oleh Pak Dedi, saudara Pak Ghandi Guru BK, hanya untuk sementara waktu saja, hingga keadaan Pak Hendra sudah membaik dan kembali bekerja di SMA BAKTI.
Turut prihatin melihat betapa hancurnya Pak Hendra kehilangan putri semata wayangnya itu, karena begitu sayang dan cintanya Pak Hendra pada putrinya. Dan Betapa beruntungnya anak Pak Hendra di sayangi dan dicintai dengan hebat oleh seorang Ayah seperti Pak Hendra.
Zenna sempat merasa iri, saat mendengarkan Pak Hendra menceritakan tentang putrinya itu.
Tetapi ia merasa beruntung bisa kenal beliau, karena beliau adalah figur seorang Ayah yang baik untuk keluarganya. Pak Hendra selalu mengingatkan dan menasehati Zenna tentang hal-hal baik. Banyak sekali pelajaran yang di dapat dari kehidupan dan pribadi beliau.
****
Zena melirik jam tangan yang ia kenakan, waktu menunjukan pukul 06.45 WIB. Zena sudah memasuki ruang kelasnya XI IPA 1.
“Zenaaa.” panggil Sabrina yang memanggilnya saat masuk ruang kelas.
Zena melambaikan tangannya, dengan senyum ceria, terlihat samar lesung pipinya itu.
“Tumben banget baru dateng jam segini, biasanya lo selalu lebih awal nyampe kelas.” tanya Sabrina penasaran.
“Semalam gue baru bisa tidur jam 1, terus kesiangan deh bangunnya.” jawab Zenna dengan menyimpan tasnya di kursi.
tanya lagi Sabrina, dengan menatap Zena yang tengah berdiri di depannya. “Lo ngapain baru bisa tidur jam segitu?” tanyanya penasaran.
Zena tidak langsung menjawab, ia sempat diam sejenak, untuk memikirkan alasan apa yang harus ia jawab.
Sabrina menjentikkan jarinya di depan wajah Zena, “Hehh..-malah bengong."
ALZENA
ALANA
AKSA
.........
Terimakasih yang sudah membaca, semoga kalian suka..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Melia Andari
hai kk, aku mampir saling support dan tidak boom like yah 🥰
2025-02-23
1
DeanPanca
hai kk, aku mampir. aku bacanya pelan" ya.😁
2025-02-24
1
DeanPanca
🌹 buat author, semangat
2025-02-24
1