Cinta datang di waktu yang terlambat. Kalimat itulah yang menggambarkan bagaimana perasaan Radewa saat ini. Usai perpisahan, usai dipertemukan kembali, cintanya pada Amanda kian terasa kuat, namun wanita itu bukan lagi miliknya, ia adalah miliki Justin, laki-laki yang terlihat begitu menghargai perasaan wanitanya.
Sialnya, di pagi yang masih terasa sejuk, saat matahari baru mengudara setengahnya, mata Dewa harus menangkap keharmonisan hubungan wanita yang dicintainya itu. Seperti sebuah keluarga kecil, Amanda, Azura juga Justin begitu bergembira sebelum mereka masuk ke dalam mobil.
Dewa meringis, tapi pandai menyembunyikan rasa sakitnya. Dia yang juga hendak pergi, masuk ke dalam mobilnya tanpa menoleh sedikitpun. Sapaan dan teriakan Azura yang dia dengar sengaja diabaikan agar tidak terjadi salah paham. Dia masih harus mengatur diri agar hari ini berjalan lancar. Ada meeting di kantor yang harus ia jalani.
Lima belas menit berlalu dengan cepat. Begitu sampai, wajah yang semula sumringah berubah menjadi masam. Bagaimana tidak, saat dia tengah terbayang pertemuan nanti dengan Amanda, di lobby telah menyambut Sinta, si gadis muda yang terus mengejarnya itu.
"Pagi, Pak." Sinta menyapa.
Tidak mau ada kontak mata, Dewa tegak berjalan lurus menuju tujuan lift yang terpampang nyata di depannya setelah memberi anggukan tanpa suara apapun.
"Pak tunggu, ada yang mau saya katakan."
Memang sudah diduga, mau menghindar bagaimanapun selalu ada celah untuk Sinta menghentikannya. Tapi setidaknya pagi ini dia tidak kurang ajar memanggil nama tanpa embel-embel seperti kemarin.
"Cepat katakan, saya tidak bisa lama-lama," terpaksa Dewa menoleh pada gadis itu.
"Saya ingin melapor, jika urusan mengenai pameran sudah clear. Stok barang dan sistem Po juga sudah diatur sesuai keinginan bapak."
"Ya bagus. Tapi saya tetap ingin mengeceknya sendiri. Kamu tahu kan kalau saya tidak bisa hanya dengan mendengar tanpa memastikan dengan mata saya sendiri."
"Iya, Pak."
"Lain kali tidak perlu dikatakan."
"Ada lagi, Pak."
"Jangan bertele-tele, Sinta!"
"Sabar dong, Pak. Saya juga butuh ambil nafas. Jadi gini, untuk meeting nanti siang, tidak perlu lagi karena semuanya sudah selesai. Bapak ada jadwal lain, yaitu meeting bersama klien dari Surabaya di siang nanti, di hotel Deli. Saya sudah reservasi tempat juga menyiapkan materinya."
Dewa tersenyum miring, berkacak satu tangan. "Kamu ditugaskan untuk mengatur jadwal yang saya inginkan, bukan mengubah jadwal-jadwal itu seenaknya. Pertemuan dengan klien dari Surabaya terjadwal besok dan dilakukan saat malam hari. Punya hak apa kamu mengatur-atur saya dengan merubah jadwal yang sudah saya setujui sebelumnya!!"
"Pak, saya kan cuma mau efisiensi waktu biar Bapak gak kecapean."
"Jangan melewati batas, Sinta. Saya tetap akan melakukan sesuai jadwal yang kamu sampaikan kemarin."
"Ta-tapi, Pak. Klien dari Surabaya sudah akan terbang ke sini."
"Mereka tidak mungkin terbang mendadak. Mereka pasti tahu perubahan jadwal ini sejak beberapa hari lalu. Kamu sengaja mengatakan perubahan jadwalnya hari ini kepada saya agar saya iba pada klien itu?" Dewa menggoyangkan telunjuknya, "saya adalah bos kamu, tidak akan saya mau diatur-atur apalagi oleh kamu. Mulai hari ini, kamu kembali jadi staff biasa. Ricat yang akan ambil alih tugas kamu, termasuk kekacauan jadwal yang kamu lakukan!" tegasnya.
"Pak, Pak, bukan gitu maksud saya. Saya akan ubah secepatnya sesuai keinginan Bapak. Tapi jangan turunkan jabatan saya, Pak."
"Sudah cukup saya mentoleransi tingkah laku kamu!"
"Dewa!"
Tak mau menggubris lagi, begitu pintu lift terbuka, Dewa segera masuk dan meninggalkan Sinta yang kini menjadi buah bibir resepsionis juga karyawan lain yang telah datang.
Lelaki dengan setelan jas itu melonggarkan dasinya. Bukannya bertobat Sinta malah semakin menjadi-jadi. Enak saja merubah jadwal yang dimana di meeting nanti akan ada Amanda yang datang. Dewa yakin sekali jika Sinta sengaja agar dirinya dan Amanda tidak bertemu.
"Halo, Cat. Kamu ambil alih tugas Sinta dan datang ke ruangan saya sekarang." Satu kalimat setelah panggilan terangkat dan akhirnya terputus. Tak lama pintu lift terbuka. Dewa segera masuk ke dalam ruangannya yang suhunya telah diatur itu.
Baru saja duduk, Ricat yang dimintanya datang mengetuk pintu dan masuk. "Mendadak sekali. ada apa?" tanya Ricat.
"Kurang ajar sekali dia merubah jadwal saya. Dia pasti sengaja membuat saya tidak datang di meeting nanti agar tidak bertemu Amanda!" kesal Dewa.
"Oh...." Ricat manggut-manggut paham, "calm down. Saya atur sekarang. Kamu duduk saja, nanti kalau sudah waktunya saya panggil. Sekalian saya bantu benarkan dasinya biar tidak malu saat ketemu Amanda nanti."
Dewa menunduk, dasinya memang melonggar terlalu jatuh. Dia mau mengelak kalau bukan karena dia tidak pandai memakainya, namun Ricat sudah lebih dulu keluar. Yasudah mau bagaimana lagi. Nanti saja saat bertemu kembali dia jelaskan.
***
Waktu yang ditunggu telah tiba. Serapih mungkin Dewa dengan pakaiannya. Bahkan dia sempat mencuci muka sebelum Ricat datang menjemput.
"Dasi saya longgar bukan karena saya tidak bisa memakainya. Tapi saya gerah dengan tingkah Sinta," ucapnya sebelum Ricat menyinggung kejadian tadi pagi, padahal pria yang kini merangkap jadi asistennya itu bahkan sudah melupakan kejadian tersebut.
"Saya tahu," kata Ricat menjadi cekikikan.
Keduanya kini melangkah bersama menuju ruangan di mana meeting akan dilakukan.
"Hai, Om. Om kok di sini?!" Tepat saat akan berbelok, Azura muncul dan menyapa, membuat kaget Radewa dan juga Ricat.
"Kamu kenapa di sini?" tanya Dewa.
"Ikut Mama."
"Azura...." Suara Amanda terdengar, juga derap langkah yang kian dekat, "maaf mengganggu. Anak saya tidak mau ditinggal. Bagaimana kalau saya tidak perlu masuk ke dalam. Justin akan mendengarkan dengan seksama dan menjelaskan dengan baik pada saya. Atau saya ikut meeting online saja, bagaimana?"
"Bawa masuk. Saya tidak masalah asal tidak membuat kekacauan." Singkat saja, Dewa bahkan sampai menurunkan jabatan Sinta untuk pertemuan ini.
"Benarkah kalau boleh?"
"Hmm. Pastikan Azura tidak mengira jika kita sedang bermain. Cukup saya dijadikan mainannya kemarin."
Ricat mengatupkan bibir, atasannya itu jelas sedang pamer sekaligus menunjukan skill menjadi cepat akrab dengan anak kecil. Syukur-syukur Amanda sadar bahwa Dewa layak menjadi ayah sambung untuk Azura.
"Zura dengar? Zura boleh masuk, asal Zura duduk dengan tenang. Jangan mengganggu siapapun, mengerti?"
"Mengerti Mama."
Percakapan selesai. Mereka kembali pada tujuannya, melakukan meeting bersama. Sejumlah karyawan sudah masuk dan duduk di tempatnya. Space kosong yang harusnya diduduki Sinta kini diduduki Azura.
Gadis kecil bergaun biru muda itu begitu menurut. Dia benar duduk dengan tenang, mempertahankan penjelasan demi penjelasan dengan baik.
Tak terasa, satu jam berlalu dengan cepatnya. Perihal pameran, tinggal menunggu eksekusinya nanti, sebab mengenai materi, semuanya sudah terkonsep dengan baik. Foto-foto yang dihasilkan dari paduan antara Justin dan Amanda juga sangat apik. Sesuai dengan apa yang diinginkan Dewa.
"Promosi tipis-tipis bisa dilakukan hari ini. Amanda saya minta tolong untuk memposting foto yang diberikan oleh pegawai saya."
Amanda mengangguk. Dia akan bekerja sebaik mungkin agar dia berhasil. Sebab sejujurnya, diapun takut akan gagal. Tidak mungkin dia harus kembali bersama Radewa jika itu terjadi.
"Baik, pertemuan hari ini kita sudahi. Terima kasih atas kerja samanya dan lakukan yang terbaik untuk pameran nanti. Fighting!"
"Fighting!" serentak semua orang bersorak.
Ada agenda lain, tentu saja. Mereka semua tidak langsung bubar, melainkan Dewa membuat acara lain untuk memperlama pertemuan. Dia dan Ricat mengundang restaurant sushi untuk mengadakan perjamuan makan siang. Jadi alih-alih kembali ke ruangan masing-masing, semua karyawan termasuk Manda dan Justin tetap setia duduk di tempatnya.
Dewa beranjak, berpamitan untuk ke kamar mandi lebih dulu. Hanya menuntaskan apa yang tertahan sebentar, tapi lagi-lagi seseorang mengikuti. Siapa lagi jika bukan Amanda, yang kedatangannya membuat Dewa semakin besar kepala karena bukan sekali wanita itu terus menyusul dirinya.
"Terima kasih sudah membiarkan Azura ikut masuk ke dalam." Lagi-lagi pula bukan Dewa yang bersuara lebih dulu. Padahal awalnya pria itu ingin mengabaikan Manda dan berlalu kembali ke ruang meeting.
"Tidak perlu berterima kasih, saya cukup fleksibel dengan kehadiran anak karyawan di sini. jadi sudah biasa."
"Hmm. Oh ya, saya akan melakukannya dengan baik. Saya akan pastikan launching produk anda akan lebih berhasil kali ini."
"Sudah seharusnya bukan. Saya membayar kamu bukan untuk menggagalkan produk saya."
Mati kutu Manda karena sikap Dewa yang sok acuh. Wanita itu mendengkus sebal, namun masih bisa ditahannya dengan baik.
"Mari masuk kembali, yang lain pasti sudah menunggu. Tapi sebentar, saya ingin bertanya, yang di leher Azura, kamu yakin itu bekas gigitan nyamuk. Tidak mau kamu periksakan. Saya lihat tadi, bekasnya masih ada dan bertambah."
"Terima kasih sudah mau khawatir, Azura baik-baik saja. Bekasnya sudah mulai memudar, anda tidak perlu memikirkannya."
"Hanya memastikan karena bekas itu sangat familiar, tapi tidak seperti gigitan nyamuk.."
"Maksudnya?"
****
Maksudnya apa coba? hayo?
Maaf baru bisa update lagi....
dukung author dengan like, komen dan follow ya. Tbc❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments