Makan Malam

"Cheerss!!"

Segelas kecil wine diteguk habis, semua orang bersorak sebagai pembukaan atas makan malam yang diadakan di sebuah restaurant daging itu.

Dewa yang menjadi pemimpin mempersilahkan sepuluh karyawannya juga Manda dan Justin untuk makan lebih dulu. Masing-masing di depan mereka sudah ada steak dari daging kualitas terbaik.

Pemandangan yang menyenangkan. Dewa selalu senang melihat bawahannya tersenyum bahagia. Dia akan sedikit tertular walau hanya sementara. Namun mulai saat ini dia akan lebih lama untuk membiasakan diri dalam senyum rekahnya itu. Seperti Manda yang katanya telah berdamai dengan keadaan, dia pun harus melakukannya.

"Kamu nggak makan, Wa?" Sinta yang duduk di sebelah Dewa menanyakan hal yang seketika merubah suasana hati. Konteks makan malam ini masih berhubungan dengan kantor, namun Sinta lagi-lagi sesuka hati memanggilnya, "mau aku potongkan?" tawarnya.

"Terima kasih, tapi saya masih bisa melakukannya sendiri. Kamu mengerti." Dewa menekan kalimatnya, menautkan kedua tangannya di depan wajah. Dia berikan tatapan peringatan pada Sinta agar tak melewati batas.

"Tidak apa. Aku ingin melakukannya untukmu."

"Tapi saya tidak mau." Dewa mengambil kembali piringnya yang diangkat oleh Sinta tanpa ijin itu, "jangan melewati batas, saya tau maksud kamu dan saya tidak suka. Diam, atau besok kamu tidak perlu lagi menjadi asisten saya," bisiknya.

Sinta menelan ludah, tertunduk tak berani menatap sekeliling yang mulai melihatnya. Dia berusaha memanas-manasi Amanda karena dia tau betul siapa wanita yang menjadi model baru D&A Jewelry itu. Namun lagi-lagi penolakan yang dia dapatkan. Sial memang.

Ricard menyungging smirk melihatnya. Sudah biasa dia melihat kecentilan Sinta yang tak pernah terbalas. Jujur saja dia juga muak melihat gigihnya Sinta merebut hati Dewa. Harusnya jika punya harga diri, penolakan yang sering didapat membuatnya sadar dan berhenti.

"Makan punya saya." Di seberang meja, Justin menukar piringnya yang dagingnya telah dipotong-potong kecil dengan milik Amanda. Mereka saling bertukar senyum setelahnya dan mulai menikmati daging itu.

Nyeri di hati, tentu. Namun Dewa tahu konsekuensi atas undangan yang dibuatnya sendiri padahal Ricard sudah menawarkan untuk membatalkannya. Dia menampakkan wajah biasa, malah cenderung tersenyum pada romantisnya Justin dan Amanda. Dia pun mulai menikmati dagingnya seolah tidak melihat apa-apa.

Dengan begini, suasana makan malam akan tetap kondusif dan penuh keceriaan. Niat Radewa untuk menyenangkan, bukan membuat kegaduhan. Namun juga sekaligus melihat bagaimana dekatnya hubungan mantan istrinya itu dengan kekasihnya. Yang dilihatnya kemarin sama sekali tidak menampakkan kenaturalan. Dia sungguh penasaran.

Dewa mengusap bibirnya, beranjak dari kursi.

"Mau ke mana, Wa?" Lagi-lagi Sinta memanggil tanpa embel-embel pak.

"Card, saya mau ke kamar mandi. Tolong jagakan ponsel saya." Tidak mungkin langsung menegur, namun dengan sikapnya yang cuek, rasanya cukup untuk memperingati Sinta sekali lagi. Mempermalukannya di depan yang lain adalah cara yang manjur karena Sinta kembali tertunduk dengan wajah cemberut.

Bukan karena kepanasan melihat kedekatan Justin dan Amanda, Dewa benar-benar ingin pergi ke kamar mandi.

Puas membuang apa yang tertahan, Dewa berkaca sejenak untuk melihat penampilannya. Dia sadar jika dirinya berubah lebih kurus, dan kini dia akan lebih giat berolahraga untuk semakin membentuk ototnya.

"Masih ada celah. Masih terlihat dibuat-buat, tenang saja Dewa." Dewa tersenyum, jelas sekali Justin sengaja menukar piringnya tadi untuk membuatnya cemburu. Padahal jelas-jelas dia dan Manda memilih kematangan daging yang berbeda, yang akhirnya membuat Manda tak bisa menghabiskannya. Bahkan untuk menelan dia terlihat tidak berselera, warna dagingnya masih merah sementara yang dipesan adalah yang matang sempurna.

Tak mau berlama-lama sebelum dikira menghindar, Dewa keluar dari kamar mandi. Tapi rupanya ada seseorang yang kebetulan sekali keluar dari bilik perempuan.

Entah sejak kapan, tapi kenapa bisa tepat sekali waktunya. Amanda, wanita yang dia pikirkan sejak tadi itu menyapa dengan baik, tersenyum ke arahnya yang awalnya enggan untuk berhadapan.

"Kamu cocok dengan dia," kata Amanda.

Dewa mengerutkan alis. "Kamu keluar hanya untuk mengatakan ini?" Semoga benar karena rasanya aneh jika tiba-tiba bertemu padahal Manda bisa saja menghindar.

"Tidak, kebetulan saja tiba-tiba perkataan ini keluar. Tapi kamu benar cocok dengan dia. Namanya Sinta kan."

"Dia hanya sekretaris saya. Adik dari seorang yang membantu usaha saya."

"Oh jadi kenal sudah lama. Tapi sepertinya dia menyukai kamu, kenapa tidak dibalas saja. Maksudku yang lalu biarlah berlalu, kamu harus memulai hidup baru."

"Apa setakut itu jika sampai saya mengejar kamu kembali?"

"Ah, itu tidak mungkin bukan. Kamu yang mengatakannya sendiri jika kamu ingin aku pergi."

"Tidak ada yang tidak mungkin. Apalagi kamu yang memberikan kesempatan baru untuk saya. Kamu tidak lupa dengan perjanjian kita bukan?"

"Kamu mengharapkan aku gagal?"

"Tidak."

"Sudah seharusnya seperti itu. Jadi jangan berharap apa-apa. Aku sudah memiliki kekasih dan kami mungkin akan secepatnya menuju langkah yang lebih serius lagi."

"Silahkan." Dewa memberikan gestur mempersilahkan yang justru membuat Amanda kebingungan. Rupanya Justin menyusulnya.

"Ada apa?" tanya Amanda, pasalnya Justin juga membawa barang-barangnya. Lelaki itu membisikkan sesuatu.

"Maaf, Tuan Dewa, sepertinya kami berdua harus pulang lebih cepat. Ada sesuatu terjadi dan kami harus segera pergi," kata Justin.

"Silahkan. Hati-hati di jalan." Dewa mempersilahkan sekali lagi, menyilangkan kedua tangannya dan melihat pasangan itu yang semakin menjauh.

"Kalian sama saja," katanya menyungging smirk.

Sementara itu Amanda berjala cepat menuju mobil. Justin mengatakan jika Azura demam tiba-tiba. Dia ingin segera sampai ke rumah untuk melihat dan memastikan kondisinya langsung.

"Hei, kenapa kamu santai sekali!" Amanda tak habis pikir, Justin malah dengan tenangnya memakai seat belt.

"Maaf jika saya berbohong."

"Hah, maksudnya!"

"Azura baik-baik saja. Saya hanya malas berlama-lama di sana."

"Ya Tuhan... Kamu bikin jantungku hampir copot, Justin!"

"Kamu marah?" Untuk pertama kalinya nada suara Amanda membentak.

Amanda memejamkan matanya. Dia benar tidak suka dengan cara Justin yang seperti ini. Namun dia akan tetap tenang, tidak akan dia ungkapkan kekesalannya. "Tidak, maafkan aku. Aku hanya kaget."

"No-no... kamu tidak perlu minta maaf. Saya yang salah, saya yang minta maaf. Sekarang kamu baik-baik saja kan."

"Hmm."

"Tidak apa kalau kita pergi kan?"

"Iya."

"Hei, kamu marah pada saya. Maksud saya baik, saya tidak mau membuat kamu tertekan di dalam sana. Pasti sulit berhadapan dengan Dewa langsung."

Sejujurnya tidak ada yang tertekan. Amanda merasa baik-baik saja bisa duduk bersama dengan Dewa maupun yang lainnya. Dia tidak masalah, namun demi menghargai Justin dia menggeleng.

"Aku tidak marah, aku hanya kaget. Aku juga tidak masalah jika kamu membawaku pergi. Memang di dalam sana tidak nyaman," ucapnya berbohong.

"Saya tahu pasti kamu merasakan ketidaknyamanan itu. Tapi tadi Dewa tidak melakukan apa-apa kan. Saya khawatir makannya saya menyusul dengan membawa kebohongan. Ternyata benar kamu sedang bersamanya."

"Kami sekedar berpapasan. Sama-sama keluar. Tadi aku lama di dalam kamar mandi karena celana jeansku agak susah diatur," bohongnya kembali, dia sengaja keluar saat Dewa keluar untuk berbasa-basi, sulit melakukannya ketika di dalam ruangan resto dengan status mereka yang diketahui banyak oranng. Takut menimbulkan gosip baru.

"Syukurlah jika memang seperti itu. Saya takut sekali kamu akan diapa-apakan."

"Tidak perlu khawatir, aku bisa bela diri," gurau Amanda untuk menetralkan suasana.

"Kita cari resto lain, ya. Kamu tidak makan dagingnya dengan baik. Memang bukan pilihan resto yang bagus."

"Pulang saja. Aku memang sedang tidak selera makan berat. Rasanya ingin makan yang manis-manis. Es krim dari kamu masih banyak, ingin kuhabiskan." Bukan pilihan restonya, tapi piring yang ditukar yang membuat Amanda kehilangan selera makan. Dagingnya masih separuh mentah dan dia sama sekali tidak suka. Mau menolak tawaran Justin juga tidak enak. Pria itu sedang berusaha menunjukkan effortnya di depan Dewa, meski karena ambisinya itu dia sampai lupa jika Manda lebih suka daging yang sepenuhnya matang.

"Saya bolehkan tapi jangan dihabiskan."

Manda mengangguk sembari tersenyum, padahal dia juga tahu batasan. Dilarang-larang memang terkesan disayang, namun ada kalanya dia merasa terlalu berlebihan.

***

Tbc

Dukung author dengan like, komen dan follow. Jangan lupa beri nilai juga. Terima kasih ❤️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!