Perdebatan Kecil

"Mama."

"Iya, Sayang."

"Aku jelek ya?"

Meja makan yang hening mendadak penuh dengan tawa kecil. Amanda sampai tersedak mendengar ucapan putri kecilnya. Semua orang selalu mengatakan padanya sebagai gadis yang cantik, tapi tiba-tiba saja dia merasa buruk. Siapa yang mengejeknya, Manda merasa itu bukanlah ucapan yang bagus karena sebagai seorang ibu, dia selalu menumbuhkan kepercayaan diri yang tinggi pada putrinya itu.

"Siapa yang mengatakannya. Kamu itu cantik sekali loh, semua orang tau itu," kata Manda usai meneguk air putih.

"Kalau Azura cantik, kenapa Om yang di depan itu tidak mau dekat-dekat Zura." Senyum pudar begitu saja. Amanda, Justin, Baron juga Santika saling pandang.

"Maksudnya tidak mau dekat-dekat?" tanya Santika.

"Om itu selalu pura-pura sibuk kalau Zura deketin, Omah. Tadi saja Om itu bohongin Zura. Katanya kalau Zura ijin dulu, Zura boleh ikut Om itu lari. Tapi pas Zura masuk ke rumah, Om itu kabur. Untung Zura pintar, Zura tau kalau Om itu sebenarnya mau ninggalin Zura."

"Bukan Zura yang tidak cantik. Om itu saja yang tidak suka dengan anak kecil. Jangan dekat-dekat, nanti kamu dimarahin Om itu!" telak Justin, rasanya kesal sekali mendengar Zura yang sukarela meminta dekat dengan Radewa, sementara dulu dia harus usaha keras agar Azura mau dekat dengannya.

"Om itu mungkin memang sibuk, Sayang. Azura tidak boleh mengganggu orang lain seperti itu ya. Lain kali kalau Omnya tidak mau, Zura juga tidak boleh memaksa." Amanda menambahi.

"Tapi Mama, Om itu kelihatan baik sekali, Zura kalau dekat Om itu rasanya senang sekali. Sepertinya Zura harus bawa sesuatu biar Om itu senang dan mau dekat sama Zura."

Kembali mereka semua saling pandang. Darah memang lebih kental dari air. Mau dijauhkan sampai ujung dunia pun, naluri anak pada orang tuanya tidak akan hilang begitu saja. Azura merasa senang, Azura merasa ingin dekat, itu karena Dewa adalah Papa kandungnya. Jadi tanpa perlu usahapun, Dia akan otomatis nyaman dengannya.

"Habiskan dulu sarapannya, nanti kita obrolkan lagi." Amanda membelai rambut Azura yang mengangguk, perbincangan jika diteruskan hanya akan membuat suasana semakin tidak enak. Terlebih Justin sudah tertunduk abai, terus melahap makanan di piringnya. Dia sama sekali tidak bisa mengontrol rasa cemburunya.

Baron dan Santika pun tidak bisa berkata apa-apa, mereka takut salah berucap. Jadi mereka juga diam, kembali menghabiskan sisa makanan di piring.

Sepuluh menit berlalu dengan cepat, makanan habis tak tersisa. Amanda meminta putrinya agar bermain bersama susternya di atas, sementara dia dan yang lainnya harus bertahan di lantai dasar, mereka harus mengobrolkan segera permasalahan yang terjadi.

Adapun yang memang ingin Baron katakan. Dia menunggu lebih dulu di ruang keluarga bersama Santika.

Semuanya berkumpul, Baron dan Santika duduk berhadapan dengan Amanda dan Justin.

"Papa sudah menemukan lokasi yang lebih bagus. Jika mau, Papa akan bayar dan segera kita lakukan renovasi. Nanti setelah kerja sama kamu selesai dan kita sudah pindah rumah, baru kamu katakan pada Dewa tentang siapa Azura," kata Baron membuka kata.

"Lantas setelah itu bagaimana? Setelah dipikir-pikir, lebih baik tidak perlu dikatakan. Toh setelah kontrak selesai, sesuai perjanjian, Amanda dan Dewa tidak akan lagi saling mengenal. Jika Dewa tahu tentang Azura, yang ada dia akan balik mengejar. Syukur kalau sifat aslinya tidak kembali keluar." Justin menyahut.

"Tapi Dewa berhak tau jika dia mempunyai Azura. Berdosa jika kita terus menyembunyikannnya. Jangan lupa jika akibat kebohongan kita, hidupnya menjadi hancur." Santika tak suka hidup dengan rasa bersalah. Usai diberitahu sehancur apa hidup Dewa karena kebohongan mereka, untuk tidur dengan tenang pun dia kesulitan. Hampir setiap malam, sebelum dia benar-benar bisa nyenyak, dia merasakan rasa bersalah itu.

"Kamu jangan khawatir Justin, dia tidak akan berani bersikap semena-mena lagi. Setelah dia tahu jika Azura putrinya, dia mungkin hanya meminta haknya sebagai seorang ayah." Baron menambahi, untuk menenangkan Justin yang dia sadari khawatirnya.

"Kamu pun setuju?" Justin bertanya pada Amanda.

Amanda mengangguk. "Dia berhak tau."

"Jika dia meminta Azura seutuhnya bagaimana?"

"Dia tidak mungkin bisa. Sejak kecil aku yang merawatnya seorang diri. Aku pun punya pekerjaan tetap yang bisa memenangkanku di peradilan seandainya Dewa menuntutku nanti."

Amanda, mengusap tangan Justin yang mengepal. "Aku bisa mengatakannya dengan baik-baik, akan aku tawarkan juga opsi terbaik agar semuanya tetap damai. Azura juga berhak tau jika Dewa adalah papa kandungnya. Aku tidak meremehkan kasih sayangmu pada Zura, tapi darah lebih kental dari air. Aku yakin, Dewa juga akan mengerti nantinya. Dia pasti hanya meminta waktu sedikit untuk bersama Zura setiap minggunya. Kita bisa membagi itu."

Justin menarik tangannya. "Terserah kamu saja. Kamu orang tuanya."

"Papa aku mau main sama Papa!!!" teriak Azura dari lantai atas.

"Tuh kan, Zura itu sayang sekali sama kamu Justin. Kamu tidak perlu khawatir dia akan melupakan kamu." Santika menyungging senyum.

Justin menarik nafas, pada akhirnya semua memang harus berjalan sesuai dengan rencana. Panggilan Azura padanya mampu meredakan khawatir dengan cepat. Jika dia ingin terus bersama keluarga ini, maka dia harus berusaha sekali lagi. Selangkah kembali dan dia tidak akan menyerah.

***

Tbc

Dukung author dengan like, komen dan Follow. Terima kasih

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!