Diskusi Keluarga

Malam berlalu begitu cepat, pagi kini datang dengan sangat cerahnya. Mentari bersinar begitu terang. Hari yang baru saja dimulai, mendatangkan Justin yang semalam pulang saat telah larut.

Kedatangan pria yang berstatus sebagai kekasih Amanda itu tak lain dan tak bukan adalah untuk membahas mengenai tinggalnya Dewa di rumah seberang. Pagi ini adalah waktu yang tepat, sebelum Baron berangkat menuju kantornya.

"Memang kalau baru jadian, hawanya penginnya ketemu terus," ledek pria berstelan jas yang akan menikmati sarapannya itu.

"Udah, Pah, kamu ini suka sekali godain mereka." Santika bergabung, membawakan segelas susu kalsium untuk kesehatan tulang suaminya.

"Sebenarnya Justin ke sini bukan sekedar ingin bertemu Manda, tapi ada hal yang lain yang mau dibicarakan." Manda to the point saja, lebih cepat lebih baik.

Baron dan Santika saling pandang dengan bertukar senyum pula. Mereka mencurigai sesuatu, pagi dan serius adalah kombinasi yang akan membawa kabar baik sepertinya.

"Ada apa?" tanya Baron tak mengindahkan senyumnya.

Manda mengangguk, bertukar kode dengan Justin. Dia yang akan berbicara. "Dewa tinggal di depan rumah kita," kata Manda sukses membuat kedua orang tuanya terkejut. Sorot mata yang penuh binar hilang seketika, pikir mereka Manda dan Justin akan meminta ijin untuk melangkah lebih serius.

"Ba-bagaimana bisa?" tanya Baron, melonggarkan dasinya, "Dewa mana mampu membeli properti di sini," imbuhnya menohok, pasalnya harga untuk satu rumah di komplek dengan privasi sangat bagus ini butuh biaya yang tidak sedikit dan Baron tau sehancur apa pria itu tiga tahun lalu.

"Kenyataannya dia ada di sana. Sore kemarin mobil kami saling beriringan. Awalnya Justin mengira Dewa menguntit Manda, namun setelah ditanyakan pada developer, rupanya dia tinggal di sini lebih dulu, sekitar sepuluh bulan lebih cepat." Justin memberikan penjelasan lebih lagi.

"Bagaimana reaksinya melihat kamu? Apa dia masih sebringas dulu?" Baron bertanya kembali, merasa bersalah. Dia kecolongan, harusnya dia bisa menanyakan lebih tentang siapa saja yang tinggal di komplek itu.

Amanda menggeleng. "Dia justru meminta agar kita tidak saling mengenal saja. Dan lebih parahnya lagi, brand yang menjadikan Manda model adalah brand miliknya."

Semakin kaget saja dibuatnya, Baron seketika kehilangan nafsu makannya. Amanda pun menjelaskan lebih detail tentang apa yang terjadi kemarin. Tentang penolakan, rasa bersalah, penyesalan serta perjanjian.

Kali ini bukan hanya Baron, Santika pun tampak pias mendengarnya. Dia iba pun ikut merasakan rasa bersalah yang sama seperti putrinya.

"Dia sudah tahu tentang Azura?" Santika langsung teringat mengenai cucunya, harap-harap Manda mengatakan yang sebenarnya.

Namun wanita berambut panjang itu menggeleng. "Amanda terbawa emosi saat pertama kali bertemu, jadi Manda bilang jika Zura adalah anak adopsi."

"Ya Tuhan, Amanda...."

"Maafkan Manda, Mah, Pah. Amanda benar-benar kehilangan kendali. Waktu itu Dewa seolah menyudutkan Manda. Tapi jika nanti di waktu perjanjian selesai, Amanda akan katakan yang sebenarnya."

"Lantas jika Dewa meminta Azura, apa yang akan kamu lakukan?" Baron menanyakan sesuatu yang belum Amanda dan Justin pikirkan.

"Justin akan membantu Amanda untuk tetap mempertahankan Azura. Kami memang belum memikirkannya namun kami akan bertaruh nyawa demi melawan dia. Dewa sudah tidak sehebat dulu." Justin memberikan kata penenang.

"Jangan meremehkan dia, Justin. Dia bisa bangkit kembali saja sudah menakutkan. Kebohongan Amanda sangat besar sampai dia begitu hancur. Kita tidak tahu dia akan menuntut setelah tahu tentang kebenarannya. Papa akan segera carikan tempat tinggal yang lain yang lebih aman, untuk saat ini jangan biarkan Azura tanpa pengawasan. Lainnya kita pikirkan nanti."

Semuanya sepakat mengangguk, namun tidak ada satupun yang mau melanjutkan sarapan. Mereka kehilangan nafsu bersamaan. Hanya bisa meneguk air lantas duduk saling pandang.

"Mama....." Azura, gadis kecil yang baru saja dibicarakan berteriak kencang dari arah ruang tamu. Suaranya riang sekali, seketika meredakan ketegangan di meja makan. Dia baru saja pulang dari jalan pagi bersama Susternya.

"Iya, Sayang, ada apa?" Amanda menyambut dengan baik, memangku putri kecilnya itu.

"Mama tahu tidak, Om yang waktu itu Azura tabrak ternyata tinggal di depan rumah kita loh." Ucapan Azura kembali membuat mereka saling pandang.

"Oh, ya. Kok Zura bisa tahu?"

"Iya, Mamah. Zura tidak sengaja melihat Om itu waktu masuk ke mobil. Zura panggil-panggil Omnya kencang sekali, tapi Om itu pura-pura tidak mendengar. Jadinya Zura samperin dan ketuk kaca mobilnya."

"Itu tidak sopan, Sayang. Siapa tahu Om-nya memang tidak dengar." Justin mengusap kepala Azura.

"Tidak, Papa. Om itu lihat Zura, tapi dia buru-buru masuk ke dalam mobil. Sewaktu Zura tanya kenapa Om-nya sombong, Om-nya bilang dia sedang sibuk, mau berangkat kerja. Ah Om itu pasti alasan, dia dari awal ketemu Zura juga selalu pergi begitu saja."

"Berarti Om-nya memang sibuk. Lain kali jika Om-nya tidak mau menyapa, Zura tidak boleh ketuk-ketuk lagi kaca mobilnya, ya. Tidak sopan, Sayang."

"Padahal Zura cuma mau kenalan. Zura kan, mau punya teman juga."

"Teman itu harus seumuran dengan Zura. Besok Mama sekolahkan saja ya, biar Zura punya teman."

"Tapi Zura juga mau temenan sama Om itu, Mama. Memangnya tidak boleh apa. Om itu kelihatan baik sekali. Zura suka lihatnya."

Terjadi saling pandang lagi. Mau diindahkan bagaimana, nyatanya Azura dan Radewa memang satu darah. Dan anak kecil seperti Zura pasti lebih peka. Wajar jika dia tiba-tiba merasa ingin dekat padahal biasanya dia tidak mau berkenalan dengan yang jauh lebih dewasa. Bahkan dengan Justin, saat lama tak bertemu dia kadang juga merasa canggung.

"Hmm, Sayang, kalau kita pindah rumah bagaimana. Di sini Mama merasa ada yang kurang. Mama mau carikan rumah yang lebih besar dan bagus lagi. Nanti kamar kamu Mama hias lebih cantik lagi. Mau kan?" Amanda mengalihkan pembicaraan. Dia juga ingin memberikan pengertian jauh-jauh hari sebelum pindah agar Azura tidak kaget.

"Tidak mau. Aku suka rumah ini Mamah. Rumahnya seperti yang di Canada. Aku tidak suka rumah yang sangat besar. Seram!"

"Yaudah nanti bikin rumah yang seperti ini lagi."

"Tidak mau, Mamah. Azura tidak mau pindah-pindah lagi. Di sini saja!"

"Sayang, tidak boleh begitu. Azura harus nurut."

"Tidak mau. Papa...." Azura menangis, meminta gendongan Justin yang tangkap menenangkan gadis kecil itu. Membawanya ke taman belakang.

Santika mendekat, mengusap tangan Amanda. "Jangan dipaksa, beri pengertian sedikit demi sedikit, nanti dia mengerti."

Amanda mengangguk. Dia meman merasa salah telah memaksa. Terlalu banyak yang dipikirkan hingga dia tidak bisa mengontrol emosinya. Sangat disayangkan karena Azura menjadi korban.

Amanda menghela nafas, memejamkan matanya. Dia harus menetralkan diri untuk meminta maaf pada Azura.

Pagi ini diskusi berakhir dengan tidak baik. Dan mungkin memang baiknya dibuat mengalir saja sampai waktunya nanti tiba.

***

TBC

Dukung author dengan like, komen dan follow, juga nilai untuk cerita ini ya. Terima kasih ❤️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!