Hidup sempurna, memiliki keluarga yang masih utuh, anak yang cantik dan pintar, juga seorang kekasih baik hati nan pengertian. Nyatanya Amanda masih melamun seorang diri. Ada sesuatu yang kosong, yang tidak dia pahami tentang apa.
Hujan di sore ini deras sekali. Teras di taman belakang sampai basah terkena cipratan air. Amanda hanya bisa melihat hujan itu dari pintu, menghirup aromanya yang menenangkan.
"Sejak semalam sampai hari ini, Mama lihat kamu jadi pendiam sekali. Sebenarnya apa yang dipikirkan. Bukannya makan malamnya berjalan lancar." Santika tak berani mengusik sejak tadi, namun dia rasa sudah terlalu lama putrinya berdiam di sana. Hujan sore ini bukan hanya deras, tapi juga membawa angin yang cukup kencang.
"Ada yang mengganggu pikiran kamu?" Manda sejak hamil memang menjadi lebih tenang, tapi dia tidak pernah sediam sekarang.
"Kalau suatu saat nanti Dewa melihat Azura, apa yang harus Manda katakan, Mah?" Wanita yang mengenakan sweater hijau itu berbalik badan perlahan.
"Kamu melihatnya semalam?"
"Entahlah, Manda tidak bisa memastikan. Mungkin hanya mirip saja. Tapi karena hal ini, kepala Manda tidak bisa diam sejak semalam."
"Bukannya kamu sudah tau apa yang harus dilakukan. Kamu juga yang meyakinkan bahwa tindakan kamu nanti adalah yang terbaik. Jika memang waktunya telah tiba, katakan pada Dewa yang sebenarnya. Azura harus tau, jika dia memiliki Papa. Kesalahan Dewa memang besar, tapi dia tidak melakukan kejahatan yang sampai menghancurkan hidup kamu. Kamu dan dia juga melakukannya tanpa paksaan bukan. Dosa besar jika kamu terus memisahkan mereka."
"Apa papa tahu kabarnya?"
Santika menggeleng. "Tidak ada jejak selain kehancuran perusahannya yang Papa dan Mama ketahui. Semua asetnya telah dijual satu bulan semenjak kerja sama berakhir. Mereka benar-benar hancur."
Pernikahan mereka dimulai dengan perjanjian yang disepakati berdua. Malam itu juga terjadi atas persetujuannya hingga berakhir dengan adanya Azura. Satu-satunya kesalahan Dewa yang besar adalah saat dia memaksa untuk mempertahankan pernikahan mereka. Sesuatu yang wajar dilakukan seseorang tapi tak bisa ditolerir oleh Amanda. Hingga akhirnya kehancuran lelaki itu pun terjadi padahal dia juga tersakiti atas pernikahan mereka. Kabarnya hilang bak di telan bumi secara tiba-tiba.
Terkadang Amanda merasa bersalah. Dia juga merasa sama egoisnya, mengiyakan untuk bertahan dan tiba-tiba mengatakan muak, pasti Radewa sangat kaget mendengarnya hingga membuatnya nekad. Dia juga dalang dari kekacauan di malam itu. Sandiwaranya membuat kemarahan Baron tak terkendali hingga dalam waktu singkat lelaki itu bisa mengancurkan perusahaan besar yang telah berdiri bertahun-tahun lamanya itu.
Rasanya jika sampai Radewa jatuh miskin, apa yang pria itu dapatkan tidak sebanding dengan kehidupannya yang masih baik-baik saja. Alih-alih kesulitan karena harus mengandung dan membesarkan anak seorang diri, dia malah tetap hidup dengan tenang dan bahagia.
"Mah, Amanda ingin tahu apa yang terjadi pada Dewa. Mereka tidak mengusik perusahaan Papa, tapi Papa menghancurkan mereka hingga aset terbesar mereka harus dijual. Apakah itu adil?"
"Kadang Mamah juga berpikir yang sama meski rasa sakit hati atas ucapan Nyonya Sedayu masih terngiang-ngiang. Tapi pada kenyataannya, kamu dan kandungan kamu masih baik-baik saja. Tidak tahu dengan Dewa yang pada waktu itu diseret oleh orang-orang Nyonya Sedayu."
"Tapi Papa tetaplah Papa. Meski mungkin ada rasa bersalah yang muncul, Papa tetap tidak akan mau merasa bersalah secara terang-terangan. Jadi, jika seandainya kalian bertemu kembali, meminta maaflah karena sudah membohonginya, dia berhak tau jika dia memiliki putri yang cantik dan pintar."
Amanda mengangguk. Mungkin yang dikatakan Santika adalah jawaban atas kekosongan yang Manda rasakan. Kebahagiaan yang berada di atas kebohongan pada seseorang menang tidak akan membawa tenang. Sebelum terselesaikan, maka hidup Amanda akan terus berada di tanda tanya. Dia harus menemukan Radewa secepatnya.
"Dibanding terus melamun seperti ini, lebih baik ikut Mama belanja kebutuhan rumah. Banyak yang masih kosong, terutama kulkasnya," ajak Santika.
"Azura ikut ya. Sekalian kita nanti makan malam."
"Kalau begitu Mama hubungi Papa supaya langsung menyusul, kita makan bersama."
Amanda lebih bergairah, dia mengangguk dan segera menuju lantai atas untuk bersiap. Lagi pula dia tidak punya kegiatan apapun, jika hanya diam, dia akan terus melamun seperti tadi.
***
"Mama, aku ingin membeli coklat yang banyak biar isi kulkasnya seperti isi kulkas yang aku lihat di video."
"Boleh membeli, tapi tidak boleh banyak-banyak. Kamu kan hanya boleh memakan satu potong kecil, terus kalau kebanyakan nanti bagaimana menghabiskannya. Lama-lama coklatnya akan busuk dan mengotori kulkas, terus kulkasnya jadi rusak. Yah, kita gak punya kulkas lagi deh."
"Eh iya ya. Kok Mama pintar ya. Yasudah deh, Zura beli dua aja seperti biasa."
"Zura juga pintar karena menurut dengan Mama."
"Coklatnya di mana ya, Mama. Aku tidak sabar ingin mengambilnya. Aku takut Mama nanti lupa."
Manda tertawa kecil, ada saja tingkah putrinya setiap hari. "Di sebelah sana, rak yang dekat buah. Minta temani Sus ya."
"Oke Mama!!" Azura segera berlari.
"Aw!!!"
"Azura, sayang... kamu kenapa?" Panik, Amanda yang tengah berada di rak bumbu segera berlari meninggalkan troly-nya.
"Zura...." Membeku Amanda melihat apa yang terjadi pada putrinya. Gadis kecil itu jatuh, menubruk Radewa yang kini tengah membantu Azura berdiri kembali.
"Om lagi... Zura minta maaf ya, Om." Gadis kecil itu menunjuk Radewa, "Mama, Om ini yang aku tabrak semalam."
"Om tidak apa, lain kali lebih hati-hati." Radewa belum sanggup untuk bertatap muka meski kini Amanda melihat dirinya. Lelaki itu berbalik badan, tidak siap untuk berhadapan.
"Om, kok pergi!" teriak Azura.
"Sus tolong jaga troly saya setelah ambil coklat. Saya mau ambil sesuatu di sana." Amanda buru-buru, menyusul Radewa yang terus melangkah begitu cepatnya.
"Tunggu!" Amanda berhasil menahan tangan Dewa, "kamu tidak mau menyapa setelah sekian lama?"
"Untuk apa? Untuk melihat kebahagiaan kamu." Radewa berbalik badan usai menghela napas berat, dia harus kuat.
"Pergi begitu saja setelah memutus hubungan secara sepihak, menghancurkan perusahaan saya sampai tak tersisa. Saya jahat, saya berdosa, tapi apa harus kamu menyiksa saya sebegininya. Demi Tuhan saya akan bertanggung jawab tapi kamu sama sekali tidak mau lagi melihat saya. Lantas setelah tiga tahun lamanya kamu kembali, datang tanpa rasa bersalah dan hidup dalam kebahagiaan. Selamat karena pria itu masih mau menerima kamu. Dan gadis kecil itu? Apakah kamu mengadopsinya untuk melengkapi kebahagiaan kalian?"
"Iya, aku mengadopsinya untuk membuat hidupku semakin bahagia." Bukan, bukan ini yang ingin Amanda katakan. Tapi rasanya sungguh kesal mendengar ucapan Radewa yang seolah memojokannya.
"Selamat. Semoga hidup kamu selalu berada dalam kebahagiaan." Radewa tak sanggup mendengar apapun lagi, meski ingin meminta maaf, tapi dia urungkan niatnya itu dan kembali memutar tubuhnya.
"Begitu pula denganmu, semoga kebahagiaan terus bersamamu. Aku Telah berdamai dengan masa lalu." Amanda kembali menahan.
"Senang mendengarnya meski di sini saya terus merasa bersalah. Mungkin malam ini tidur saya akan sedikit lebih tenang. Terima kasih atas doamu, Saya juga mendambakannya."
"Tunggu, bagaimana dengan Omah. Aku juga sudah memaafkannya."
"Dia menitipkan maaf yang tidak akan bisa dia katakan sendiri padamu. Dia pasti senang mendengarnya di atas sana."
"Maksudmu apa Dewa!"
"Omah pergi setelah mendengar kehancuran perusahaannya. Tenang saja, dia tidak menyalahkan siapapun, dia menyalahkan dirinya sendiri dan merasa pantas untuk mendapatkan tuai dari apa yang telah dia tabur. Maaf, saya tidak bisa berlama-lama. Di pertemuan yang lainnya, anggaplah kamu tidak melihat saya, begitu pula dengan saya. Maaf jika kehadiran saya membuatmu terganggu." Untuk sekejap Dewa berbicara sembari memberikan senyum sebelum akhirnya dia pergi tanpa harus dicegah lagi. Hilang begitu cepat dari pandangan mantan istrinya itu.
Amanda tertegun, lemas rasanya mendengar penuturan Radewa. Harga atas rasa sakitnya adalah kehancuran dan juga nyawa. Benar-benar tidak sebanding, terlebih kebohongannya membawa rasa sakit yang begitu dalam untuk Radewa.
"Manda, ada apa?" Santika kaget melihat putrinya yang terdiam dengan pandangan kosong.
"Tidak apa-apa Ma, Manda hanya sedang memikirkan ingin membeli apalagi." Manda berbohong, tidak mau mengacaukan rencana, terlebih setelah ini mereka akan malam bersama. Tentang Radewa dia akan memikirkannya lagi. Dia jelas salah, terus menerus menyampaikan kebohongan pada pria itu.
***
TBC
Dukung Author dengan like, komen dan follow. Jangan lupa berikan penilaian supaya author semakin semangat. Terima kasih ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments