"Hai, Om."
"Om...."
"Om nggak dengar aku yah!"
Radewa mencoba abai, namun gadis kecil yang terus memanggilnya itu tak pantang menyerah. Dia menarik ujung baju olahraganya hingga tertarik kuat. Mau tidak mau, dia harus menunduk dan melepas earphonenya.
"Ada apa?" tanya Dewa, acuh. Gadis kecil bernama Azura itu menggemaskan sebenarnya, namun rasanya bukan prioritas untuk mendekatinya karena Dewa masih bisa merebut hati Manda tanpa perantara siapapun.
"Om lagi apa?"
"Menurut kamu?"
"Olahraga."
"Nah itu tau, kenapa nanya-nanya."
"Om ini ada masalah apa sih sama aku. Kenapa cuek begitu." Azura melingkarkan kedua tangannya di dada.
"Perasaan biasa saja. Kamu saja yang menganggap Om cuek."
"Ih, tidak ya. Aku itu bisa bedakan mana yang ramah sama cuek tau!"
"Apa bedanya?"
"Kalau ramah, pas aku tanya pasti aku ditanya balik. Kalau cuek, pasti cuma jawab doang terus jawabnya dikit banget."
"Sok tahu."
"Aku memang tahu."
"Ya terserah. Sudah sana masuk ke rumah, nanti dicariin."
"Aku mau ikut Om olahraga. Om mau lari-lari pagi kan."
"Tidak boleh. Jangan ikuti saya, nanti orang tua kamu marah!" Tegas Dewa memperingati, namun alih-alih takut, gadis kecil bernama Azura itu malah semakin mendekat.
"Aku mau ikut Om lari. Titik!"
"Keras kepala sekali. Tidak boleh ya tidak boleh. Saya bukan pengasuh kamu!"
"Aku mau ikut!"
Dewa menghela nafas. "Baik, kamu boleh ikut. Tapi ijin dulu sama orang tua kamu sana."
"Janji ya, Om!"
"Janji!"
Azura berlari menyeberang jalan, dengan cepat masuk ke dalam rumah. Kesempatan itupun digunakan Dewa untuk kabur dari intilan gadis itu. Tubuhnya sudah panas, sudah siap untuk berlari di hari minggu pagi yang cerah ini.
Dewa berlari cepat pada mulanya, menghilangkan diri di balik kelokan komplek untuk menghindar. Setelahnya dia mulai berlari santai, menikmati udara pagi. Untuk pertama kalinya setelah tiga tahun dia bisa berolahraga dengan tenang.
Misinya memang merebut Amanda kembali, namun jika tidak berhasil, setidaknya dia tidak lagi merasa bersalah seperti dulu. Dia nikmati saja nikmat Tuhan yang mempertemukan dan mendekatkan mereka sekarang.
"Dasar Om pembohong!"
Radewa terhenti, pantatnya baru saja ditepuk oleh Azura. Entah sejak kapan gadis itu berada di belakangnya. Kehadirannya benar-benar membuat terkejut. "Kamu. Kenapa tiba-tiba di sini!"
"Ikutin Om lah. Aku itu tau kalau Om bakal tinggalin aku, jadi aku tidak ijin, tapi bersembunyi dibalik pintu. Terus aku ikutin Om deh. Cape tau, Om lari kencang sekali..." Azura mengusap peluh di dahinya.
Dewa menyugar rambut, terkekeh kecil lantas berkacak pinggang. "Dasar bocah nakal. Ayo balik!" ajaknya. Tidak mau Dewa menanggung resiko lebih, takut dia akan dituduh menculik Azura.
"Tidak mau!" Azura menyilangkan tangan.
"Ya sudah kalau tidak mau." Dewa meninggalkan, tapi bukannya mengikuti, Azura malah menangis meraung-raung sambil terduduk di jalanan. Mau tidak mau Dewa berbalik kembali.
"Ngapain nangis!" paniknya.
"Om pelit, aku kan cuma mau olahraga, masa tidak boleh. Kalau Om balik, aku nangis makin kenceng nih."
"Keras kepalanya kaya kenal. Persis kaya Manda," gumam Dewa menggeleng kecil. Tak habis pikir bisa-bisanya Amanda mendapatkan anak adopsi yang serupa sifatnya dengan dia.
"Terserah kamu lah. Kalau ada apa-apa jangan salahin saya!" Dewa berdiri, ancang-ancang, menunggu Azura mengusap air matanya.
Dilihat jika gadis kecil itu sudah siap, dia pun mulai melangkahkan kaki, berlari kecil dengan posisi di sebelah kanan, melindungi Azura. Meski berkata tidak akan bertanggung jawab, mau tidak mau dia memang harus menjaganya. Mau ditinggalkan begitu saja juga tidak mungkin. Apa kata orang nanti, apalagi yang sedang berolahraga juga bukan hanya mereka.
Niat hati Dewa ingin berkeliling di keseluruhan komplek agar dia lebih mengenal sekitarnya, tapi karena ada Azura, dia hanya melewati dua jalan dan memutar kembali ke jalan tepat di depan rumah mereka. Langkahnya pun kecil, mengimbangi langkah Zura.
"Om, mau ke taman tidak. Di sana ada mainan loh," celetuk gadis kecil itu.
"Saya mau olahraga, bukan main."
"Tapi ada yang buat olahraga juga loh, Om. Ayo ke sana. Ajarin aku olahraga yang diangkat ke tiang. Kemarin aku lihat ada yang seperti itu."
"Sama Papa kamu kan bisa. Ngapain sama saya."
"Papa kan tidak tinggal di sini. Papa juga belum datang. Kalau ada Om kenapa harus Papa."
"Kamu punya Kakek. Sama Mama kamu juga bisa."
"Opah sudah tua, angkat aku berat. Mama kan perempuan, kasian tau kalau angkat-angkat aku."
"Yaudah tinggal tunggu Papanya datang."
"Kan ada, Om."
Dewa diam saja. Sepuluh meter lagi mereka sampai. Menanggapi Azura hanya akan membuat perdebatan lain. Gadis kecil itu, meski masih kecil, pintar sekali menimpali perkataan orang lain.
Dari arah berlawanan sebuah mobil datang. Berhenti di titik yang sama dengan berhentinya Dewa dan Zura.
"Papa!!" teriak Azura riang. Dia adalah Justin.
"Sayang, kenapa kamu di luar sendirian. Bahaya." Justin langsung menggendong gadis kecil itu, waspada pada Dewa yang acuh.
"Aku sama Om ini, tidak sendirian kok."
"Tetap tidak boleh. Kamu kan tidak kenal Om ini. Harus ada Sus atau Mama kalau keluar." Justin membawa Azura pergi, menuju kediaman Amanda dengan tatapan curiga pada Dewa.
Radewa hanya menghela nafas, malas juga menanggapi atau membuat pembelaan, pria itu tidak akan percaya bahwa sesungguhnya dialah yang diikuti Azura, bukan sebaliknya. Dewa pun berlari kembali, sesi olahraganya belum selesai, dengan tidak adanya gadis kecil itu, dia merasa tenang sekarang.
Sementara itu Justin melangkah dengan kesalnya menuju lantai dua. Dia teriaki suster yang mengasuh Azura.
"Sus... Suster!!" teriaknya kencang.
"Ada apa, Justin. Kenapa berteriak." Amanda keluar dari kamar.
"Kamu pecat saja suster Azura, dia lalai. Masa tadi Zura keluar sendirian."
"Hah!" Kaget Amanda, "benar, sayang?"
"Tidak, Mama. Tadi Zura bareng Om yang tinggal di depan. Zura minta ikut Om itu lari. Jadi Zura tidak sendirian. Om itu juga sudah larang Zura ikut, tapi Zura maksa. Zura nangis-nangis, terus boleh deh."
Semakin kaget Amanda mendengarnya. Dia ikut memanggil suster yang rupanya ada di lantai satu. "Sust, kamu ke mana. Kenapa Zura sendirian."
"Loh, Bu. Tadi Zura sama Opah, saya titipin soalnya saya disuruh urut leher Omah yang sakit. Maaf, Bu. Saya lalai, harusnya saya bawa Zura ke Ibu saja."
"Pecat saja dia. Fatal sekali kesalahannya!" tekan Justin.
"Maaf, Pak. Saya memang salah, tapi jangan pecat saya."
"Kesalahan kamu itu fatal sekali. Zura jadi keluar sama..."
Amanda mencegah Justin untuk semakin marah. Selain karena takut Azura menjadi takut, kesalahan suster pun bukan murni kesalahannya. Ada Baron yang lebih lalai karena tidak menjaga Zura dengan baik.
"Sudah. Ini cuma salah paham," kata Manda, mengambil Azura dari gendongan Justin dan memberikannya pada Suster, "lain kali kalau keluar harus sama sus. Mengerti!"
"Mengerti, Mama."
"Yasudah sekarang kamu mandi, habis itu sarapan bareng Mama dan yang lainnya. Sana." Manda membiarkan suster membawa Zura ke kamarnya.
"Aku tau kamu khawatir, tapi jangan berlebihan. Azura baik-baik saja," kata Amanda pada Justin.
"Tapi itu lalai sekali. Kalau Dewa nekad bagaimana!"
"Tidak mungkin. Di sini keamanannya terjamin."
"Terserah lah. Saya tunggu di bawah." Justin menuruni anak tangga dengan raut cemberut.
Amanda menghela nafas. Dia paham khawatirnya Justin, tapi rasanya ini terlalu berlebihan. Padahal Zura sendiri yang mengatakan jika dia yang memaksa ikut. Namun karena mungkin masih pagi, masih ada sisa kantuk semalam, makannya Justin bersikap lebih agresif.
Amanda akan menunggu sedikit, dia akan turun bersama putrinya dan yakin jika keadaan akan jauh lebih tenang nantinya.
***
Maaf baru bisa update!!
tbc
dukung author dengan like, komen dan follow ya. terima kasih ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments