Taruhan

"Bagaimana?" tanya Dewa.

"Kacau, Manda meminta kompensasi tiga milyar jika kontraknya batal. Dia sudah menolak kontrak brand sebelah demi kita. Dia tidak terima, Wa."

"Saya rugi waktu dan uang. Nama baik saya juga dipetaruhkan karena menolak brand itu demi kalian. Jika ingin batal, bayar saya sebesar tiga milyar!" Yang dibicarakan tiba-tiba muncul di ambang pintu yang lupa untuk ditutup, mengagetkan Ricard dan Dewa.

Sungguh di luar dugaan jika Amanda akan menyusul. Dewa pun terkejut dengan keberanian wanita itu. Apa dia tidak mendengar ucapannya yang lalu, yang meminta untuk bersikap seolah tidak mengenal saat semesta mempertemukan.

"Manda, kamu tunggu di ruangan tunggu saja ya," ajak Ricard. Dia takut sekali akan ada keributan di sana.

"Saya sudah sampai di sini, untuk apa kembali. Bukankah lebih baik berdiskusi langsung dengan pemilik." Manda menaikkan satu alisnya.

"Card keluar dan tutup pintunya. Biarkan dia masuk." Dewa menerima tantangan wanita itu.

"Tapi, Wa."

"Keluar, Card. Jangan biakan siapapun masuk sebelum diskusinya selesai!" Dewa menekan ucapannya dengan terus menatap Manda yang menatapnya.

Bulu kuduk Ricard merinding, dia bisa merasakan hawa tidak enak di ruangan itu. Atmosfernya menakutkan, seolah akan terjadi perang dunia ketiga.

Pintu ditutup pelan-pelan, kini menyisakan dua manusia yang terus beradu pandang.

Ketukan sepatu heels menggema, Amanda melangkah semakin dekat, tanpa mengubah caranya melihat Radewa.

"Ambil jalan tengah. Terima pembatalan kontraknya. Saya meminta baik-baik padamu." Radewa membuka percakapan.

"Tiga milyar atau meminta maaf dengan bersimpuh di kakiku dan cukup membayar seratus juta sebagai syarat, bagaimana?"

Seratus juta dan bersimpuh, dua hal yang sangat mudah. Dewa rela merendahkan dirinya untuk memutus interaksi bersama Amanda. Dia beranjak dari kursinya dan berdiri di depan wanita itu.

"Hanya itu kan?" Dewa memastikan, dia tidak mau terjebak pada syarat lain yang bisa saja diucapkan mendadak.

"Kamu benar akan melakukannya?" tantang Manda, "berhenti!" Manda mundur, Dewa benar hendak bersimpuh di depannya.

"Apa yang kamu lakukan. Di mana harga dirimu. Di mata martabat yang kamu dan keluargamu selalu banggakan!" sentak Manda. Dia hanya menggertak, tak berniat membuat Dewa sampai benar bersimpuh di kakinya.

"Mati bersama kehancuran yang telah berlalu. Mendekatkan lah, jika perlu saya bersujud sampai kaki ini patah asalkan kita tak perlu lagi bertemu. Saya mohon tidak perlu lagi untuk kamu melihat saya."

"Jangan mencari iba dariku. Kamu bukan Dewa yang aku kenal. Teruslah bersikap sombong seperti biasanya!"

"Tidak lagi padamu. Kemarilah, biarkan saya bersujud padamu. Berikanlah ampunanmu dan lepaskan saya dari rasa bersalah. Saya tidak menginginkan bahagia, saya hanya ingin lebih tenang. Saya mohon, batalkan saja kontraknya."

Manda tidak mau, dia angkat susah payah Radewa yang telah bersimpuh. "Apa yang hancur jika kamu masih bisa berdiri dengan tegak. Kamu tidak boleh merendahkan harga dirimu!" teriaknya mengguncang tubuh pria itu. Manda tidak mau dihantui rasa bersalah, tapi kelu baginya mengatakan tentang keadaannya yang sebenarnya, tentang anak mereka yang tumbuh menjadi gadis kecil cantik nan pintar.

"Aku mandul gara-gara kamu. Tanggung jawabmu bukan dengan cara seperti ini!" teriak Manda lagi.

"Lantas dengan apa!" Dewa ikut mencengkeram kedua lengan Amanda, "apa saya harus menyerahkan semua yang saya punya termasuk perusahaan ini. Perusahaan yang saya bangun dengan kerja keras saya sendiri tanpa dukungan siapapun. Apa masih belum puas kamu melihat saya menjadi sebatang kara. Bila perlu kamu bunuh saya saja dibandingkan saya harus hidup dengan rasa bersalah."

"Kamu bukan Dewa yang aku kenal. Kamu tidak mungkin punya rasa penyesalan."

"Tapi pada kenyataannya saya punya, Manda. Saya hampir gila mencari keberadaan kamu. Setiap malam saya selalu merasa bersalah pada kamu. Apa salahnya jika sekarang saya ingin tenang. Saya tidak mungkin bisa bahagia lagi dengan rasa bersalah ini!!"

"Saya berikan perusahaan ini pada kamu sebagai kompensasi atas kesalahan yang saya buat, tapi saya mohon, hiduplah dengan bahagia setelah ini dan jangan ganggu saya!" Dewa membuka brankas berisi setempel khusus miliknya, juga selembar kertas dan pena, "saya berikan semua harta yang saya miliki!"

Amanda membuang pena juga kertas yang akan dituliskan surat pernyataan Dewa. Dia sakit melihat bagaimana hancurnya pria itu sampai dia bahkan rela memberikan semua yang dia miliki demi untuk ketenangan. Tapi lagi-lagi Manda kelu untuk meminta maaf, untuk mengungkapkan kebohongan yang telah dibuatnya.

"Aku nggak butuh harta kamu, yang aku mau kamu bisa kembali seperti dulu. Aku sudah berdamai dan aku juga menginginkan kamu berdamai dengan masa lalu. Jangan buat aku menjadi pelaku. Kamu pikir aku juga tidak merasa bersalah atas meninggalnya Omah!" sentak Manda.

"Omah meninggal karena sudah waktunya, bukan karena kamu."

"Tentu ada aku sebagai penyebabnya. Jika aku tidak membuatmu kebingungan dengan sikapku yang labil, mungkin waktu itu tidak akan terjadi. Aku yang mengingkari perjanjian, akulah penyebab utamanya. Jadi aku mohon, berdamailah mulai saat ini. Hiduplah dengan lebih baik karena aku juga sama, aku merasa hancur mendengar kehancuran kamu!"

"Saya tidak perlu memiliki teman untuk kehancuran saya. Saya minta maaf jika kabar yang saya bawa merusak hidupmu. Abaikan, Manda. Hiduplah dengan bahagia bersama keluargamu kecilmu. Jika kamu tidak menginginkan harta saya, tolong bersikap kooperatif, batalkan kontraknya."

"Aku sudah kembali. Tidak perlu kita saling menghindar. Tetap lakukan kerja sama. Berikan aku semua keuntungan penjualan perhiasaan itu jika aku berhasil mengangkat nama brand ini. Aku janji, setelahnya aku tidak akan menganggapmu ada." Entah akan menjadi pilihan terbaik atau tidak, Amanda hanya ingin membantu Dewa bangkit dari terpuruknya. Dia akan melakukan yang terbaik agar perusahaan Dewa semakin dikenal banyak orang.

"Lantas jika gagal."

"Apa kamu meragukan bakatku?"

"Saya hanya menanyakan kemungkinan terburuk. Saya tidak tau apa niat kamu sebenarnya."

"Kamu mencurigaiku?"

"Tidak... hanya..."

"Katakan saja apa maumu jika aku gagal. Aku tidak takut bertaruh denganmu."

"Kembali pada saya."

Amanda tertegun. Seingin apapun Dewa menghindar, ternyata di relung hatinya menginginkan kembali atas dirinya. Namun Amanda juga berpikir satu dua hal lain, termasuk kesengajaan Dewa mengatakan hal yang mengerikan ini agar dia bisa berusaha sebaik mungkin dan membuat kerja samanya berhasil. Agar setelah kontraknya selesai, mereka tak perlu lagi saling bertemu.

"Baik. Aku terima taruhannya!" Dengan lantang Amanda mengatakannya. Bukan karena dia ingin kembali, tapi karena dia yakin dia akan berhasil. Dia hanya ingin membantu, itu saja.

***

TBC

Dukung author dengan vote, komen dan follow. Beri juga penilaian untuk cerita ini ya. Terima kasih ❤️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!