Aku melepaskan cintaku padamu dalam bentuk kisah yang abadi dalam tulisan, aku pernah mencintai ketidak mungkinan diantara kita. Biarlah semua kenangan manis, pahit getir itu terbingkai dalam bait-bait indah sebagai pertanda akhir dari kisah kita. Dalam ketidak mungkinan dan juga rindu yang tersemat diantara harapan dan kenyataan, aku berharap tidak akan lagi ada temu dalam bentuk apapun diantara kita di masa yang akan datang. Ayzel sedang membaca ulang buku antalogi yang dia tulis dan kini sudah terbit di Indonesia.
“Aku tidak pernah menyesal dengan ketidak mungkinan yang sudah terjadi antara kita Nathan. Dan semua tentangmu aku tutup,” gumamnya lirih sambil melihat pemandangan dari dalam restoran dukkan galat, Ayzel menghela napas panjang. Dia sudah terlalu lama ternyata duduk di restoran.
Ayzel menutup macbooknya dan bangkit dari duduknya, di lihatnya jam yang ada di dinding dukkan galata. Tak terasa sudah beberapa jam duduk di sana, waktu seolah berjalan dengan cepat untuk Ayzel. Langit sudah berubah warna menjadi jingga, sudah saatnya kembali ke apartemennya selama di Istanbul.
“Teşekkür ederiz, çok lezzetliydi!” Ayzel keluar dari dukkan galata setelah menyapa pelayan restoran tersebut dengan mengatakan terimakasih, ini sangat lezat. Dia memang sering datang ke sana jadi sudah hal biasa antara Ayzel dengan pemilik resto maupun pelayan yang ada di sana saling bertukar sapa.
“Rica ederim Ayzel. İyi günler dilerim!” Pelayan resto membalas dengan jawaban terimakasih Ayzel, selamat siang sambil melambaikan tangan padanya.
Ayzel berjalan menikmati pemandangan langit senja galata sore itu, dia berjalan menuju “Otobüs Durağı” semacam halte tempat pemberhentian bus untuk menuju tempat tinggalnya. Ayzel tinggal di Kawasan Arnavutköy yang tidak terlalu ramai namun masih dapat di jangkau dengan jalan kaki menuju kampusnya. Selain itu biaya sewa apartemen (1+1) di Kawasan itu masih terbilang dapat Ayzel jangkau dengan tunjangan hidup dan beasiswa penuh untuk kuliahnya.
Karena Ayzel mengambil jurusan S2 Guidance Psikologi and Conseling (English) jadi dia mendapatkan beasiswa penuh plus tunjangan hidup 4000TL per bulan atau setara 20 juta rupiah, dia hanya perlu memikirkan biaya keperluan sehari-harinya. Untuk sewa apartemen Ayzel mengeluarkan uang sebesar 3500TL per bulan, masih ada 500TL tersisa dari tunjangan.
“Sepertinya besok akan menjadi hari yang panjang, semangat untuk diriku.” Ayzel bermonolog dengan dirinya sendiri.
Ayzel saat ini juga sedang magang di sebuah perusahaan IT yang mengembangkan sebuah aplikasi Kesehatan, selain untuk menambah wawasannya juga karena magang di sana mendapatkan gaji tentunya. Dengan sisa tunjangan tentu tidak akan cukup untuk biaya hidup selama satu bulan, Ayzel mengeluarkan kurang lebih total biaya hiudup 7000TL per bulan atau setara hampir 39 juta rupiah sudah termasuk asuransi Kesehatan karena dia tinggal di sana lebih dari satu tahun. Dengan catatan dia sudah berhemat dan memilih apartemen yang bisa di jangkau dengan jalan kaki menuju kampusnya.
Setidaknya butuh sekitar 4000-5000TL lagi untuk bisa bertahan hidup di Istanbul, bersyukur karena dia magang di perusahaan IT jadilah dia mendapatkan gaji maksimal untuk karyawan magang sebesar 6000TL. Cukuplah untuk menutup biaya hidup selama satu bulan.
Ayzel sudah sampai diapartemennya, dia merebahkan dirinya setelah seharian berjibaku dengan artikel dan jurnal tugas kuliahnya. Belum lama dia merebahkan diri ponselnya berbunyi.
“Ayzel besok usahakan ke kantor lebih pagi! CEO dari korea datang, kamu tidak ada kelas pagi kan?” Ayzel mendapatkan pesan dari Athaya, beliau adalah salah satu HRD dari perusahaan tempat Ayzel magang.
“Baik bu Athaya. Saya usahakan datang lebih pagi, jadwal kuliah saya masih bisa terkondisikan bu.” Ayzel menarik slimutnya, memilih untuk segera tidur karena besuk harus bangun lebih pagi.
Ayzel sudah siap dengan tas ranselnya, untuk menghemat waktu hari ini dia berangkat ke kampus langsung dari kantornya. Sesuai instruksi dari Athaya semalam, hari ini Ayzel berangkat satu jam lebih pagi dari sebelumnya. Dia sudah berada dalam bus sambil mendengarkan musik kesukaannya dengan airpodnya.
Perusahaan tempat Ayzel magang adalah sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI yang juga mengembangkan VR untuk terapi psikologis yang berlokasi di Besiktas. Banyak aktivitas bisnis dan perusahaan di distrik tersebut, jarak dari kantor ke kampus Ayzel juga tidak terlalu jauh dan dapat di tempuh dalam waktu 15-20 menit dengan busa atau metro.
“Merhaba Shahnaz, günaydın,” Ayzel sudah sampai di kantor sedang menyapa rekan satu timnya. Mengucapkan selamat pagi pada Shahnaz.
“Günaydın Ayzel,” Shannaz meminta Ayzel untuk segera duduk di tempatnya. Sekarang sudah terbiasa baginya untuk mendengarkan rekannya itu berceloteh ria, selalu saja ada bahan untuk Shahnaz bercerita.
Saat ini Ayzel menduduki posisi karyawan magang bagian Penelitian Psikologi (Psychology Research Intern) yang berfokus membantu tim riset untuk menguji dan mengumpulkan data dan Pengembangan Program Terapi Digital (Digital Therapy Program Intern) yang berfokus merancang dan membuat konsep terapi digital.
“Ayzel sudah dengar belum? Hari ini ada CEO yang datang dari korea,” Shahnaz dengan cerianya bercerita padanya.
“Semalam bu Atha memintaku untuk datang lebih awal karena itu,” Ayzel mulai membuka macbooknya. Hari ini dia harus menyerahkan beberapa hasil uji yang sudah dia lakukan untuk tim riset perusahaan.
“Hari ini sampai jam berapa?” tanya rekan lain yang satu ruangan dengan mereka.
“Jam satu kak. Aku ada kelas jam dua siang” jawab Ayzel.
“Langsung ke kampus?” Shahnaz yang bertanya.
“Eumm … menghemat waktu,” mereka menyudahi perbincangan pagi itu dan mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Sementara semua staff HRD bersama manajer sibuk mempersiapkan penyambutan CEO dari korea, dari yang Ayzel dengar dia masih muda dan Istanbul menjadi perusahaan ke empat yang dia miliki. Ayzel tak terlalu perduli dengan hiruk pikuk yang terjadi saat ini, selain dia yang harus fokus pada tugasnya saat ini juga karena dia hanya karyawan magang jadi pihak perusahaan tidak terlalu melibatkannya dalam kegiatan resmi perusahaan. Bagi Ayzel justru menguntungkan mengingat dia yang tidak terlalu suka dengan keramaian atau hal-hal yang mengharuskan dia berinteraksi dengan banyak orang, semua itu membuat energinya cepat habis.
“Ayzel … Ayzel, kamu ngapain? Berhenti dulu,” bu Athaya memanggil Ayzel karena hanya dia yang masih di ruangannya fokus dengan pekerjaannya, sementara yang lain ternyata sudah ke depan untuk menyambut kedatangan CEO.
“Baik bu Athaya,” Ayzel terlalu fokus jadi dia tidak tahu kalau semua sudah keluar dan hanya tinggal dia sendiri di ruangan. Dia menutup macbooknya dan bergegas berjalan di belakang mengekori bu Athaya.
Mereka semua sudah berjajar rapi siap menyambut kedatangan CEO utama, Ayzel juga sudah berada dalam barisan itu. Tepat pukul 10 siang waktu Istanbul terlihat seorang asisten membukakan pintu mobil, seorang pria dengan setelan jas hitamnya keluar dari sebuah mobil Volkswagen Passat berwarna hitam.
Sudah pasti dialah CEO yang jadi bahan pembicaraan di kantor mereka selama beberapa hari ini, bagaimana mungkin tidak terpesona jika CEO nya seperti itu. Pria dengan tinggi 181 cm, berkulit putih bersih, postur tubuh yang proporsional dengan rambut hitam natural ditambah dengan cara jalannya yang tenang semakin membuat dia berkharisma.
“Pantas saja jadi bahan pembicaraan. Baru keluar mobil saja auranya bersinar,” gumam Ayzel lirih saat melihat CEO dari korea yang baru sampai.
Dia adalah Kaivan Alvaro Jajiero, CEO muda dengan beberapa perusahaan Tech Startup dalam bidang psikologi yang berpusat di Korea. Entah apa yang membawanya sampai ke sini dan untuk berapa lama dia di sini taka da satupun staff yang tahu.
Ayzel merasa sedikit tidak asing dengan CEO tersebut, dia merasa pernah berjumpa dengannya tapi di mana. Mereka semua sudah kembali ke ruangan masing-masing dan melanjutkan bekerja setelah menyambut kedatangan atasan mereka.
“Ayzel, CEO kita keren banget” Shahnaz seolah terbuai dengan ketampanan atasan mereka.
“Eumm …iya Shahnaz, tapi lebih keren lagi kalau kamu cepat selesaikan tugasmu!” Ayzel memintanya untuk segera menyelesaikan pekerjaan karena dia harus segera menemui tim riset dan tim digital theraphy. Ayzel harus buru-buru ke kampus hari itu.
“Ih … iya ini aku beresin,” Shahnaz mencebik membuat Ayze dan beberapa rekan satu ruangan mereka tersenyum.
Beberapa staff langsung melakukan meeting dengan CEO mereka yang baru datang, termasuk tim riset dan tim digital theraphy. Meskipun Ayzel adalah anak magang namun kinerjanya diakui oleh senior-seniornya di perusahaan, karena itu untuk sementara dia ada dalam dua divisi yang berbeda.
“Ayzel sudah selesai?” salah satu seniornya terlihat sangat gugup saat keruangan Ayzel.
“Sudah kak. Sebentar lagi saya antar ke ruang meeting,” Ayzel sedang merapikan berkas yang sudah dia copy untuk di bagikan pada tim yang melakukan meeting.
“Aku tunggu di ruang meeting,” Ayzel mengangguk.
Ayzel membawa map-map yang berisikan berkas-berkas hasil riset juga print out konsep terapi sementara, Shahnaz juga ke ruang meeting membantunya membawa map-map lain.
“Permisi. Saya mengantarkan hasil riset dan konsep sementara,” Ayzel masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu, suasana tampak tegang padahal meeting belum mulai.
“Silahkan masuk Ayzel. Bagikan sesuai dengan divisi masing-masing, berikan pada pak Alvaro dan asistennya juga” titah bu Athaya pada Ayzel.
“Baik bu Athaya,” dia berjalan membagikan map-map sesuai dengan divisinya. Sampai pada saat dia memberikan map pada Alvaro, Ayzel masih berpikir seperti pernah berjumpa dengan pria itu tapi lupa di mana. Dia sedikit melamun dan sedikit terkejut saat Alvaro membuka suara.
“Saya memang keren, tapi kamu tidak perlu sampai tergkagum seperti itu,” Ayzel mengerjap kaget, tentu saja dia merasa malu karena ada banyak orang saat itu dan dia hanya bisa tersenyum mendengar perkataan atasannya.
Ayzel menahan rasa malunya, dia ingin segera keluar dari ruangan itu setelah memberikan map pada Alvaro dan Asistennya. Ayzel bersama Shahnaz berjalan menuju pintu untuk keluar dari ruang meeting, namun Ayzel di hentikan oleh seseorang.
“Kamu berdua mau kemana?” merasa menjadi yang di maksud jadilah Ayzel dan Shahnaz berbalibadan. Shanaz sudah dengan kringat dinginnya, sementara Ayzel sebenarnya menahan kesal karena malu.
“Kami mau kembali ke ruang kerja pak,” ucap Ayzel.
“Mereka anak magang pak Alvaro, jadi tidak setiap hari harus ikut meeting. Jam kerja mereka juga menyesuaikan kuliah mereka,” Athaya menjelaskan pada Alvaro.
Alvaro mengangguk mengerti dengan penjelasan Athaya, dalam hati Ayzel merasa lega. Tapi sesaat kemudian belum sempat dia membalik badan Alvaro sudah mengeluarka ucapan yang membuat hari-hari Ayzel kedepan sepertinya menjadi lebih sibuk.
“Kamu! Mulai besok menjadi asisten saya selama saya di sini,” Alvaro menunjuk pada Ayzel. Ayzel tertegun mungkin saja dia salah dengar, matanya membulat sempurna tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Kemudian Ayzel menatap pada Athaya meminta pertolongan.
“Mohon maaf pak Alvaro. Tapi Ayzel adalah anak magang, dia tidak bisa full di perusahaan karena masih menempuh pendidikan S2 nya di Bogazici. Spesialisasinya juga bukan di bidang administrasi untuk menjadi asisten pak Alvaro karena dia calon Spikolog,” Athaya menjelaskan pada Alvaro dan menawarkan orang lain untuk menjadi asistennya.
“Saya tetap mau dia. Siapa nama lengkapnya?” Alvaro tetap menunjuk Ayzel.
Ayzel tidak berkutik, rasanya ingin menghilang saat itu juga. Membayangkan jadi asisten CEO? Bagaimana hari-harinya nanti jika itu benar terjadi.
“Lunara Ayzel Devran Zekai pak,” Athaya menjawab pertanyaan Alvaro. Sementara Ayzel masih mencerna semuanya, tidak bisa berkutik karena atasannya langsung yang berbicara.
“Emm … baiklah Ze besok kamu jam 7 pagi sudah harus sampai kantor,” Ayzel merasa sial hari ini bertemu dengan CEO yang membuat rekan-rekan perempuannya terpesona.
“Ze siapa pak?” merasa bingung tentunya siapa yang di maksud jadilah Ayzel bertanya.
“Kamulah. Siapa lagi,” Ayzel menahan emosinya. Bisa-bisanya dia di panggil Ze oleh Alvaro, yang boleh memanggilnya Ze hanya Humey adik sepupunya. Dia merasa kesal kenapa Alvaro punya pemikiran memanggilnya dengan sebutan Ze, dia juga merasa kesal tiba-tiba menjadi asisten pribadi.
Ayzel kemudian ijin pamit karena waktu sudah menunjukkan jam satu siang, dia sudah harus berangkat ke kampus karena ad akelas jam dua siang. Athaya mengijinkannya dan menyuruhnya bergegas untuk keluar sebelum Alvaro atasannya itu berulah. Tanpa Ayzel tahu, Alvaro tersenyum melihat Ayzel yang menahan kesal karena ulahnya.
Saat ini Ayzel masih berada dalam bus menuju kampusnya, dia masih memikirkan tentang dirinya saat ini yang tiba-tiba menjadi asisten pribadi atasannya. Ayzel menghembuskan napas kesal saat melihat arlojinya, dia jadi terlambat masuk kelas gara-gara atasannya.
“Ayzel, sampai mana? Kelas sudah mau di mulai,” Ayzel mendapatkan pesan dari teman satu kelasnya.
“Masih dalam perjalanan, lima menit lagi baru sampai. Tolong carikan aku tempat duduk,” Ayzel sudah turun dari bus dan saat ini sedang berjalan menuju gedung fakultas tempat dia kuliah dengan sedikit berlari.
Dia masuk dengan mengendap-ngendap agar tidak ketahuan dosen, beruntung pintu masuk ke ruang kuliah dari belakang jadi dosen tidak terlalu memperhatikannya. Ayzel sedang mencari Naira teman satu kelasnya yang tadi mengirimkan pesan, Ayzel mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Pssttt ... sini,” Naira memanggil Ayzel begitu melihat temannya itu tampak mencarinya.
“Thanks Nai,” Naira mengangguk dan Ayzel segera membuka macbooknya dan fokus pada penjelasan dosen.
Sore itu Ayzel memutuskan untuk pergi ke perpusatakaan kampus sebelum pulang, dia akan meminjam beberapa buku sebagai bahan referensi tesisnya. Saat ini dia masih bersama Naira, mereka berencana untuk makan malam bersama.
“Mau makan apa Nai?” tanya Ayzel pada temannya tersebut.
“Bagimana kalau pide?” pide merupakan sejenis pizza turki yang di lipat dan memanjang sehingga berbentuk seperti daun.
“Boleh Nai, aku lagi ingin makan menemen” menemen adalah sejenisa makanan turki dengan bahan utamanya telur mirip scramble egg namun dengan rasa yang lebih kaya. Mereka menuju cafe terdekat dari kampusnya.
Mereka memilih duduk di luar sambil menikmati pemandangan malam sekitar bogazici.
“Kenapa muka di tekuk?” Naira melihat Ayzel nampak lesu.
“Pusing membagi waktu,” Ayzel menceritakan tentang CEO tempat dia magang yang tiba-tiba memintanya menjadi asisten pribadi selama dia ada di Turki. Dia harus mengatur ulang semua jadwalnya agar tidak bentrok.
“Dia asli korea atau bagaimana? Jangan-jangan suka sama kamu dia Zel,” Naira mulai menyantap pide nya.
“Tidak tahu, wajahnya sih orang korea. Tapi dari namanya seperti bukan,” Ayzel baru ingat nama atasannya itu bukan menunjukkan orang korea melainkan seperti nama orang asia.
“Hah? Memang siapa namanya?” Ayzel mendengus sebal karena temannya terus mencecarnya.
“Ish ... penasaran banget kamu sama atasanku Nai, Kaivan Alvaro Jaziero. Itu nama dia,” Ayzel menyantap menemennya. Dia sudah sangat lapar, siang tadi hanya sempat makan sedikit.
“Hemm ... keturunan darah campuran mungkin dia,” ucapan Naira memang ada benarnya menurut Ayzel.
Ayzel sampai diapartemen jam 9 waktu setempat, rasanya dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur dan tidur. Tapi dia tetap harus mandi karena tubuhnya sudah sangat lengket setelah seharian bekerja dan kuliah. Dia memutuskan untuk mandi lebih dulu agar tubuhnya lebih segar, setelah itu biasanya dia akan membaca atau mengerjakan tesisnya.
“Ayzel besok tolong berangkat lebih awal, kita akan breefing dulu dengan pak Kim” Ayzel melihat ponselnya yang berbunyi, dia tidak langsung membukanya. Hanya melihat notif dari siapa pesan tersebut.
“Baik bu Athaya,” pesan tersebut ternyata dari HRD yang memiberitahu bahwa dia harus breefing dengan pak Kim yang tak lain adalah asisten sekaligus sekretaris pak Alvaro yang datang dari korea bersamanya.
Sebenarnya saat ini Ayzel sedang fokus untuk persiapan menyelesaikan tesisnya, kuliahnya juga sudah tidak sepadat dulu. Dia hanya tinggal satu mata kuliah lagi setelah itu akan lebih fokus pada revisi dan persiapan sidang tesisnya, sepertinya rencana yang sudah dia susun akan sedikit terhambat dengan situasinya saat ini.
Ayzel hanya membolak balik halaman buku yang sedang dia baca, dia sama sekali tidak dapat berkonsentrasi. Dia masih merasa kesal dengan kejadian tadi siang saat di ruang meeting.
“Hiih ... kenapa terbayang terus sih,” dia bergumam pada dirinya sendiri. Masih merasa kesal dengan ucapan atasannya tadi siang.
Ayzel memutuskan untuk menyudahi aktivitas membacanya, karena percuma dia juga tidak bisa konsentrasi lagi. Dia beranjak menuju kasur, merebahkan tubuhnya untuk tidur.
Pagi ini Ayzel sudah ada di kantor, masih belum banyak karyawan yang datang karena memang masih terlalu pagi. Dia sedang merancang konsep untuk model chatbot terbaru yang sedang di kembangkan perusahaan Alvaro.
“Ayzel, di minta ke ruangan bu Athaya sekarang” Ayzel mengalihkan fokusnya pada salah satu staff HRD yang memanggilnya. *mereka berbicara menggunakan bahasa turki ya guys*
“Baik kak,” Ayzel segera menuju ruangan bu Athaya, tak lupa dia membawa ipadnya kalau di perlukan untuk mencatat sesuatu.
“Affedersiniz pardon,” Ayzel mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk dan mengucapkan permisi pada Athaya.
“Evet, buyurun(uz)” ya, silahkan. Athaya mempersilahkan Ayzel untuk masuk ruangan.
“Tesekkur ederim,” Ayzel masuk dan mengucapkan terimakasih.
Di dalam ruangan sudah ada pak Kim asisten utama pak Alvaro yang sedang berbicara dengan bu Athaya, saat ini Ayzel duduk berhadapan dengan pak Kim. Mereka memulai breefing mereka saat ini, tentu tujuan utamanya adalah Ayzel yang mulai hari ini akan menjadi asisten pak Alvaro.
“Baiklah Ayzel, saya akan menjelaskan beberapa hal yang harus kamu tahu tentang kegiatan pak Alvaro.” Pak Kim membuka ipadnya dan mulai menjelaskan satu persatu jadwal harian Alvaro, dari jam berapa dia bangun sampai dengan jam tidurnya.
“Maaf pak,” Ayzel sedikit bingung dan memutuskan bertanya pada pak Kim.
“Ya, silahkan Ayzel. Ada apa?” Ayzel sterlihat mengehla napas.
“Apa saya harus mengetahui semua jadwal pak Alvaro dari beliau bangun sampai tidur malamnya?” Ayzel benar-benar tak mengerti, bukankah dia hanya akan menjadi asisten pribadi Alvaro selama di kantor. Seharusnya tak perlu dia tahu kapan atasannya itu bangun dan akan tidur kembali.
“Tentu kamu harus tahu. Karena itu adalah salah satu hal yang penting, agar kamu tahu apa yang harus di lakukan saat pak Alvaro menghubungimu dan butuh sesuatu” Ayzel melihat pada Athaya, berharap dia bisa membantunya. Kepalanya sudah terasa pening padahal belum memulai tugas barunya.
“Tapi status Ayzel adalah karyawan magang. Sesuai ketentuan dia hanya akan bekerja setengah hari saja,” Athaya mencoba menjelaskan pada sekertaris Alvaro bahwa Ayzel membagi waktunya untuk kerja dan kuliah.
“Ayzel bisa menjelaskan pada pak Alvaro sendiri nanti. Saya rasa cukup penjelasannya, pak Alvaro sudah menanti kita. Ayzel kamu ikut saya bertemu beliau,” pak Kim keluar dari ruangan Athaya. Ayzel mau tidak mau mengikutinya dari belakang.
Pikiran Ayzel menerawang jauh, diantara sekian banyak karyawan yang ada di perusahaan kenapa justru dia yang di pilih Alvaro. Dia tetap merasa entah di mana bertemu dengan Alvaro, Ayzel masih merasa tidak asing dengannya.
“Silahkan masuk Ayzel,” pak Kim meminta Ayzel untuk masuk lebih dulu ke ruangan Alvaro.
“Pagi pak Alvaro,” Ayzel masuk menyapa dengan menggunakan bahasa turki. Ayzel sejenak berpikir tentang percakapannya kemarin dengan Naira, bisa jadi memang benar dia tidak 100 persen berdarah korea. Mengingat namanya sama sekali tidak berbau korea melainkan campuran Asia dan Turki.
“Ayzel bisa kemari?” pak Kim memanggil Ayzel yang sedang termenung, dia langsung mendekat menuju pak Kim dan Alvaro yang terlihat sedang sibuk dengan macbooknya.
“Iya pak Kim,” pak Kim memberikan beberapa map yang isinya adalah beberapa jadwal Alvaro yang harus dia pelajari dan dia hafalkan. Ayzel menerimanya dan akan pamit keluar untuk kembali ke ruangannya dan mempelajari semua jadwal yang di berikan pak Kim.
“Saya permisi pak Alvaro, pak Kim,” Ayzel hendak pergi namun di cegah.
“Mulai hari ini ruanganmu ada di depan sana,” pak Kim menunjuk meja yang ada di depan agak jauh dari meja pak Alvaro. Ayzel hanya termangu tak bisa berkata-kata.
“Haa ... maksudnya di ruangan ini pak?” tanyanya pada pak Kim.
“Hmm ... betul, semua sudah siap. Kamu hanya tinggal memindahkan beberapa barangmu ke sini,” pak Kim berpamitan pada pak Alvaro untuk menyelesaikan tugasnya yang lain. Sementara Ayzel masih tertegun bingung dengan semua hal yang serba mendadak itu.
Dia masih termangu melihat pak Kim keluar yang bahkan sudah tidak lagi terlihat dari pandangan matanya. Canggung yang dia rasakan berada di ruangan itu, tidak tahu harus memulai percakapan seperti apa dengan atasannya tersebut. Ayzel tidak dapat membayangkan hari-harinya akan berada satu ruangan dengan atasannya, meskipun jarak meja mereka tidak terlalu dekat. Namun tetap saja itu membuatnya sedikit tidak nyaman, apalagi mereka adalah pria dan wanita dewasa yang bukan mahram.
“Tunggu apa lagi?” Ayzel masih diam berdiri di tempatnya sampai Alvaro mengeluarkan sepatah kata.
“Iya pak Alvaro, kenapa?”
“Cepat ambil barang-barangmu untuk pindah ke meja itu. Saya butuh kamu cepat, lima menit dari sekarang” Ayzel yang terkejut kemudian bergegas untuk memindahkan barang-barangnya. Saking tergesa dia sampai menabrak sofa yang ada di ruangan Alvaro.
“Hati-hati, jangan sampai luka” Ayzel menoleh pada Alvaro saat mendengar pria itu mengatakannya dalam bahasa Indonesia. Ayzel memastikan apakah dia yang salah pendengaran atau memang atasannya itu bicara dalam bahasa Indonesia, tapi Alvaro tampak sibuk dengan macbooknya.
“Ah ... sepertinya tidak hanya pikiranku tapi telingaku juga ikut tidak beres,” Ayzel bergumam dalam bahasa Indonesia lirih namun masih dapat di dengar oleh Alvaro.
“Kamu tidak salah dengar Ze. Waktu lima menitmu sudah hampir habis,” Ayzel benar-benar terkejut mendapati Alvaro bisa berbahasa Indonesia. Dia menelan salivanya dan bergegas keluar dari ruangan itu sambil berlari. Alvaro tersenyum tipis melihat tingkah Ayzel.
“Kenapa? Seperti lihat hantu saja,” Shahnaz bertanya saat melihat Ayzel yang terengah-engah langsung duduk dan menenggak air minum dalam tumblernya sampai tandas.
“Ini lebih dari hantu,” Ayzel mencoba menjelaskan pada rekan satu tim maganggnya itu sambil mulai membereskan barang-barangnya.
“Yah ... gak bisa bergosip sama Ayzel lagi dong kita,” rekan mereka yang lain berkomentar mendengar Ayzel pinah ruangan.
“Bagus dong Ayzel. Bisa satu ruangan sama CEO yang keren,” satu rekannya lagi ikut berkomentar sementara Shahnaz mencebik.
“Kalian saja kalau mau, aku dengan suka rela bersedia di gantikan” Ayzel sudah hampir selesai memasukkan dalam dus semua barangnya.
“Gak mau, bakal mati kutu kayaknya kalau satu ruangan sama boz gak sih?” rekan-rekannya menganggukkan kepala setuju atas perkataan rekan lainnya.
“Shahnaz sudah gak usah cemberut. Istirahat makan siang kan masih bisa ketemu,” Ayzel menenangkan rekan setimnya itu. Dia berpamitan pada rekan seruangannya dan berlalu pergi menuju ruangan barunya.
Ayzel sudah ada dalam ruangan barunya sekarang, dia sedang merapikan dan menata mejanya. Menaruh beberapa pajangan kecil agar mejanya tak terlalu polos dan terlihat hidup untuk dia pandang. Anggaplah sebagai penyemangat kerja untuk Ayzel.
“Sudah siap? Kita akan menggunakan bahasa Indonesia saat bicara di ruangan ini” Tiba-tiba Alvaro bersuara, membuat Ayzel menghentikan aktifitasnya.
“Iya pak Alvaro,” meskipun sedikit aneh bagi Ayzel. Tapi bicara menggunakan bahasa Indonesia tentu lebih menyenangkan baginya.
“Kemari bawa ipad dan berkas yang tadi pak Kim berikan padamu,” Ayzel mengangguk dan duduk di kursi yang ada di depan meja Alvaro. Saat ini mereka duduk berhadap-hadapan.
Alvaro menjelaskan beberapa hal terkait dengan jadwal-jadwal hariannya, mana yang harus menjadi prioritasnya dan hal-hal yang bisa di tunda. Ayzel dengan seksamamendengarkan dan terlihat sesekali mencatat hal yang di rasa penting.
“Ada yang mau kamu tanyakan?” ucap Alvaro padanya.
“Bagiamana dengan jam kerja saya pak? Sekedar mengingatkan saya masih harus sambil kuliah,” Ayzel harus tetap menanyakan hal tersebut. Bagaimanapun saat ini fokusnya jadi akan terpecah-pecah, belum lagi persiapan tesisnya sudah masuk tahap revisi.
“Eumm ... saya yakin kamu bisa mengatasinya. Untuk jam kamu bisa menyesuaikan dengan jam kuliahmu, tapi pastikan semua pekerjaan yang berhubungan dengan saya semua sudah kamu selesaikan.” Alvaro meminum espresso yang ada di depanya.
“Baik akan saya usahakan,” Ayzel tampak membereskan berkas yang tadi di bawanya ke meja Alvaro. Ayzel sadar saat itu Alvaro sedang tersenyum menatap dirinya, hal itu membuat Ayzel merinding sebadan-badan.
“Ze ... Ze?” Ayzel merinding mendengar atasannya memanggilnya seperti itu, padahal mereka duduk berhadapan.
“Iya pak? Ada yang di butuhkan lagi? Kalau tidak say kembali ke meja dulu,” Alvaro menggeleng dan Ayzel beranjak dari tempatnya duduk. Dia sudah membalik badan dan berjalan baru selangkah sebelum akhirnya Alvaro memanggilnya lagi.
“Ze ...” Ayzel sebenarnya gerah dengan kelakuan atasnnya itu, tapi tidak dapat berbuat apapun.
“Iya pak Al? Maksud saya pak Alvaro,”
“Kamu benar tidak ingat saya?” Alvaro sambil tersenyum, senyuman indah dengan dua lesung pipi di kanan dan kiri.
“Tidak pak, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Ayzel memang merasa familier dengan Alvaro, namun sampai saat ini dia tidak ingat kalaupun pernah berjumpa di mana mereka bertemu.
“Oke ... silahkan diingat-ingat kembali. Kalau sudah ingat beritahu saya,” lagi-lagi Alvaro tersenyum dengan senyuman yang bisa membuat siapapu meleleh. Ayzel hanya menganggukan kepala dan membalas senyum pada Alvaro sebelum dia kembali ke mejanya untuk mempelajari semua jadwal Alvaro.
Ayzel sangat fokus dengan apa yang sedang dia lakukan saat ini, hari ini dia tidak ada jadwal kuliah maupun bimbingan untuk tesisnya. Menjadi asisten pribadi adalah hal baru untuknya saat ini, bagaimana tidak kalau dia saja adalah lulusan psikolog dan sedang berusaha meraih gelar S2 nya untuk mendapatan lisensi sebagai psikolog agar dapat membuka lembaga praktik.
Alvaro tersenyum melihat betapa fokusnya asisten barunya itu, dia terlihat mempesona dalam balutan hijab berwarna pastel. Terlebih saat fokus dengan apa yang di kerjakannya.
“Pak Alvaro butuh bantuan?” Ayzel menyadari sedang di tatap oleh Alvaro.
“Kamu benar tidak ingat saya?” pertanyaan itu lagi yang keluar dari mulut atasannya.
“Maaf pak, tapi saya benar-benar tidak ingat” Ayzel menahan untuk tidak tertawa melihat Alvaro yang mencebik mendengar jawabannya.
“Ya sudahlah. Lanjutkan pekerjaanmu,” mereka berdua kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing.
Kini gantian Ayzel memperhatikan aktivitas Alvaro yang tak sedikitpun meninggalkan meja kerjanya kecuali urusan kamar mandi, ponsel di dekatnya selalu berbunyi. Bahkan dia menjawab dengan bahasa yang berbeda-beda, seperti yang rekan-rekannya bicarakn bahwa perusahaannya berdiri di beberapa negara berbeda.
Ayzel masih terus memperhatikan atasannya itu, kali ini dia mondar mandir ke kanan dan ke kiri sambil berbicara entah dengan siapa di ujung telepon. Ayzel langsung mengalihkan pandangannya saat terlihat Alvaro bahwa dia sedang memperhatikan atasannya.
Ayzel benar-benar gugup saat ketahuan memeperhatikan Alvaro dari mejanya, saking gugupnya membuat dia cegukan. Dia segera minum untuk menghilangkan cegukannya, tiba-tiba Alvaro sudah duduk di kursi yang ada di depan meja Ayzel. Ayzel tersedak minumannya karena terkejut sampai terbatuk-batuk.
“Pelan-pelan Ze,” Alvaro mengambil tisu dan di berikannya pada Ayzel.
Ayzel mengambil tisu dari tangan Alvaro. “Trimakasih pak Alvaro”
“Tidak perlu sembunyi-sembunyi kalau mau memandang saya. Saya tidak ke mana-mana,” Alvaro menopang dagunya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja Ayzel. Dia menatap Ayzel dalam sambil tersenyum menampilkan ke kedua lesung pipinya yang dapat menghipnotis semua karyawan perempuan di sana.
“Hmm ... bukan seperti itu pak,” Ayzel berusaha menjelaskan. Meskipun di dalam hati saat ini dia sedang mengumpat untuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia mengulang ke bodohan yang sama seperti saat di ruang meeting waktu itu.
“Hari ini ada kelas?” Alvaro pindah duduk di sofa yang ada di ruangannya.
“Tidak ada pak,” Ayzel kembali fokus mulai mencatat beberapa jadwal Alvaro dalam journal digital miliknya.
Alvaro melihat arlojinya kemudian berdiri dari sofa. “Bereskan barang bawaanmu, ikut saya sekarang”
Baru hari pertama dia menjadi asisten, Ayzel merasa sudah sangat sibuk. Padahal setengah hari ini dia hanya di ruangan atasannya dan membaca semua jadwal kegiatan harian Alvaro.
“Baik pak,” Ayzel memasukkan macbook dan ipadnya ke dalam tas. Tak lupa dia juga membawa berkas yang berisi semua jadwal harian Alvaro beserta dengan orang-orang penting yang akan di jumpai Alvaro selama di Turki.
Ayzel membawa berkas itu pulang untuk dia pelajari sepenuhnya, tidak akan cukup jika dia hanya membaca di kantor sementara dia akan di kejar deadline. Belum lagi dia akan ada ujian mata kuliah terakhirnya, memastikan jadwal konsultasi tesisnya tidak akan bentrok dengan tanggung jawab barunya.
“Mau ke mana?” Shahnaz mendekat dan berbisik saat melihat Ayzel berjalan di belakang atasannya.
“Tidak tahu, aku di minta ikut dengan pak Alvaro. Özür dilerim,” Ayzel minta maaf pada Shahnaz karena tidak jadi makan siang bersamanya.
“Tamam. Kolay gelsin,”Shahnaz menjawab ok dan menyemangati Ayzel dengan mengatakan semoga pekerjaanmu lancar. Dia tahu Ayzel tidak bisa menolak karena mungkin saja pak Alvaro mengajaknya bertemu dengan klien penting.
“Teşekkür ederim,” terima kasih ucap Ayzel dan dia berlalu pergi mengekori Alvaro.
Ayzel kira Alvaro menggunakan supir pribadi seperti biasanya, ternyata hari ini dia menyetir sendiri. Pak Kim juga tidak ikut dengan mereka berdua, entah kemana dia karena sampai saat ini dia belum terlihat lagi setelah tadi pagi pamit pergi untuk melakukan tugas lain pada Alvaro.
“Duduk di depan, saya bukan supir kamu Ze” Alvaro protes pada Ayzel yang sudah membuka pintu mobil bagian belakang.
“Maaf pak,” Ayzel menutup kembali pintu mobil belakang, kemudian berpindah duduk di depan samping kemudi. Alvaro menjalankan mobilnya, suasana hening karena ke duanya menjadi canggung. Ayzel memberanikan diri bertanya untuk memecah ke heningan diantara mereka.
“Maaf pak Alvaro, kita mau ke mana ya?” ucap Ayzel sedikit ragu, takut kalau Alvaro tidak suka dengan apa yang di lakukan.
“Makan siang,” jawaban singkat padat dari Alvaro cukup membuat Ayzel menelan salivanya sendiri. Tak habis pikir dengan kelakuan atasannya, belum ada satu hari ada saja hal yang membuat Ayzel merasa sedang berada di atmosfir yang berbeda dengan kesehariannya.
“Saya kira pak Alvaro akan bertemu klien,” Ayzel akhirnya mulai mengerti. Sepertinya butuh cara khusus menghadapi atasannya, sejenak dia lupa siapa dirinya sendiri. Bukankah dia calon psikolog, harusnya dia bisa menghadapi situasi seperti ini dengan mudah.
“Kita akan makan siang. Setelah itu saya antar kamu pulang,” Ayzel memijat ke dua pelipisnya kali ini setelah mendengar ucapan atasannya itu.
“Tidak perlu pak, saya bisa pulang sendiri” ucap Ayzel
“Tidak ada penolakan. Kamu sekarang asisten saya Ze, saya harus tahu di mana kamu tinggal dan kamu harus tahu di mana saya tinggal. Saya tidak menerima bantahan,” ucap Alvaro tegas.
“Baik pak,” Ayzel mengiyakan setelah mendengar ucapan tegas dari Alvaro. Hening itu yang terjadi setelah percakapan mereka berdua berahir dengan Ayzel yang tak berani menolak perkataan Alvaro. Ayzel bahkan tidak berani bertanya mereka akan makan siang di mana.
Setelah perjalanan beberapa waktu mereka sampai di tempat Alvaro mengajaknya makan, tempat itu tidak asing untuk Ayzel karena dia sering makan di tempat itu.
“Kita sudah sampai,” Alvaro melepas sabuk pengamannya setelah mematikan mesin mobil.
“Dukkan galata?” Ayzel memastikan pada Alvaro bahwa atasannya itu tidak salah tempat.
“Yes ... di sini kita akan makan. Bukankah kamu sering makan di sini juga?” pertanyaan yang cukup membuat Ayzel terkejut untuk ke sekian kalinya.
“I-iya pak,” jawab Ayzel dengan senyum kecut. Dia mulai overthingking bagaimana Alvaro bisa tahu tentang hal itu, mendengar hal tersebut Ayzel berpikir keras di mana sebenarnya mereka pernah bertemu. Siapa sebenarnya atasannya itu sampai dia tahu restonan yang mereka datangi saat ini adalah tempat Ayzel sering menghabiskan waktu.
Mereka berjalan masuk ke dalam restoran, karena Ayzel sering ke tempat itu tentu hampir semua karyawan terutama pemiliknya tahu. Tentunya mereka di sambut dengan hangat oleh pemiliknya yang kebetulan sedang berada di restoran.
“Lunara Zekai, kekasih?” pemilik resto memang selalu memanggil Ayzel dengan sebutan tersebut, karena namanya terlalu panjang jadi dia panggil nama depan dan belakang.
“Bukan, beliau ini ....” belum sempat Ayzel meneruskan ucapannya sudah di potong Alvaro.
“Saya bukan ke kasihnya,” Ayzel tersenyum lega mendengar jawaban lvaro.
“Tapi calon suaminya,” Ayzel dengan raut wajah kebingungan seketika menghela napas panjang mendengar ucapan atasannya. Alvaro terkekeh melihat raut wajah asistennya itu.
“Woooah, good job” pemilik resto meminta karyawannya untuk mengantar mereka berdua duduk di salah satu tempat dengan pemandangan yang lebih romantis dari tepat duduk yang lain.
Sementara Ayzel masih termangu dengan raut wajah bingung, Alvaro menarik lengan baju Ayzel agar dia berjalan mengikutinya. Karyawan resto membawa mereka masuk ke dalam ruangan yang sudah di dekorasi dengan cantik dan romantis, dengan pemandangan menghadap bagian luar restoran yang cantik.
“Pak Alvaro?” seolah paham apa yang akan di tanyak Ayzel, Alvaro berpindah posisi di mana Ayzel berdiri dan dia memutar tubuh Ayzel untuk menghadap sebuah tulisan yang ada di dekat pintu masuk.
Alvaro menunjuk tulisan itu, membuat Ayzel mengalihkan netranya ikut membaca tulisan tersebut.
“Lumayan dapat diskon,” Alvaro berbisik pada Ayzel.
Promo untuk hari ini, mereka yang datang dengan pasangannya cukup membayar 50% dari harga makanan yang mereka pesan. Kurang lebih seperti itu tulisan yang ada di dekat pintu masuk. Malu dan kesal itu yang ada dalam benak Ayzel, dia sudah berpikir terlalu jauh. Kalau bukan atasannya, mungkin Ayzel sudah akan meneriaki atau memukul Alvaro.
Mereka berusaha duduk dengan nyaman berusaha untuk tidak terlihat canggung, Alvaro yang tadinya duduk menghadap Ayzel berpindah menjadi di sampingnya.
“Kenapa pindah kemari pak?” protes Ayzel pada Alvaro.
“Kan kita calon suami istri, Ze sayang” Ayzel melotot pada Alvaro seolah tak perduli lagi kalau orang yang ada di sampingnya itu adalah atasannya.
“Pak Alvaro!” Ayzel menaikkan sedikit tone suaranya pada Alvaro.
“Biar terlihat seperti pasangan sungguhan,” Alvaro kembali terkekeh melihat ekspresi kesal Ayzel yang terlihat menggemaskan bagi Alvaro.
“Gak nyangka CEO seperti pak Alvaro tertarik dengan diskon?” Ayzel mulai tak canggung mengatai atasannya itu.
“Berhemat Ze, seperti kamu yang berhemat saat tinggal di sini. Meskipun saya CEO tapi ini bukan negara tempat saya di lahirkan,” Ayzel mengangguk meskipun tetap saja untuk CEO seperti dia rasanya tidak mungkin harus menghemat sampai sepeti itu.
Ternyata tak cukup sampai di situ, Alvaro mengeluarkan ucapan yang cukup membuat Ayzel tak habis pikir dengan kelakuan atasannya tersebut.
"Saya tertarik dengan kamu bukan dengan diskonnya,” Alvaro tertawa renyah setelah mengatakan hal tersebut. Alvaro seperti mendapat mainan baru melihat raut muka Ayzel yang merah karena kesal dan menahan marah padanya.
“Seandainya pak Alvaro bukan atasan saya, sepatu ini sudah melayang mengenai anda” Ayzel menunjuk sepatu yang dia pakai.
“Boleh, ayo silahkan! Dengan begitu saya ada alasan untuk istirahat, lagi pula saya tidak akan tugi. Justru kamu yang rugi karena harus bertanggung jawab merawat saya,” Ayzel sudah tidak bisa berkata-kata lagi mendengar jawaban atasannya itu. Tanpa di sadari mereka mulai lebih santai dan tidak canggung lagi satu sama lain.
Apakah Ayzel baper dengan ucapan dan tingkah Alvaro padanya? Tentu tidak, justru dia takut pada apa yang Alvaro lakukan padanya. Dia takut itu semua hanya semu, terlebih Alvaro adalah seorang CEO yang mungkin saja sudah punya seseorang yang spesial di hatinya. Ayzel telah mengunci rapat hatinya, dia takut untuk menaruh harapan pada siapapun. Dia memilih untuk fokus mengupgrade dirinya menjadi perempuan dengan kemampuan yang terus bisa dia kembangkan.
Alvaro maupun Ayzel menikmati makanannya, sperti biasa Ayzel memesan es latte, menemen cheese dan croissant plain. Sedangkan Alvaro memilih omelette cheese and avocado dengan minuam es americano.
“Trimakasih pak Alvaro sudah mengantar saya,” Ayzel turun dari mobil Alvaro.
“Hemm ... apartemen kamu yang mana?” Ayzel menunjuk salah satu bangunan yang termasuk masih lumayan baru dan cukup nyaman untuk di huni meskipun hanya studio (1+1).
“Hati-hati di jalan pak, saya masuk dulu pak Alvaro” Ayzel sudah akan pergi sebelum Alvaro memanggilnya kembali.
“Ze ...” Ayzel menoleh.
“Ya,” Alvaro memberikan ponselnya pada Ayzel.
“Saya belum punya no telepon kamu. Bagaimana kalau besok tiba-tiba harus menghubungimu,” Ayzel lupa kalau mereka belum bertukar nomor telepon. Alvaro melajukan mobilnya untuk pulang setelah mendapatkan nomor telepon Ayzel.
Seperti biasa setelah sampai apartemen Ayzel akan berberes rumah sebentar, biasanya dia lakukan malam hari. Tapi kali ini dia pulang masih sore dan tidak harus ke kampus, setelah berberes dia istirahat sebentar sebelum nanti malam dia menyempatkan diri untuk membaca atau menyelesaikan tesisnya.
Dia sudah membuat makan malam sederhana, nasi goreng dengan topping ayam dan telur dengan segelas jus strawberry. Ayzel membuka berkas yang dia bawa dari kantor, setelah ibadah isya’ dia mulai mensinkronkan jadwal Alvaro dengan jadwal aktivitas hariannya.
Ayzel mulai menulis jadwal-jadwal Alvaro pada journal digitalnya, dia mengatur ulang hampir semua jadwal hariannya. Ayzel menghela napas panjang, karena semua jadwal yang sudah tersusun dengan rapi tiba-tiba berubah dalam satu malam.
“Padat sekali jadwalku. Ah bukan, bukan jadwalku. Lebih tepatnya jadwal pak Alvaro,” gumamnya pada diri sendiri.
Ayzel tidak hanya harus membagi waktu untuk tesisnya tapi dia harus mulai mencari tempat untuk dia melakukan praktik lapangannya sebagai psikolog. Dia sudah harus memulai praktiknya sekitar lima bulan lagi untuk mendapatkan lisensi praktiknya jika tesisnya lolos.
“Sepertinya besok atau lusa aku harus bicara dengan bu Athaya terkait magangku. Aku juga harus bicara dengan pak Alvaro terkait jadwalnya,” Ayzel menyudahi aktivitasnya hari itu dan merebahkan dirinya di kasur. Semoga hari esok menjadi hari yang lebih baik, itu harapannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!