Jimi yang sudah berpenampilan rapi dengan seragam sekolah berdiri di depan pintu rumah. Ia menarik napas pelan sebelum mengetuk pintu, mencoba menenangkan dirinya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, menampilkan sosok Bintang yang langsung mengamati penampilan Jimi dari atas hingga ke bawah.
"Pagi, Kak Bintang," sapa Jimi dengan ramah. "Naya sudah siap?" tanyanya kembali
Bintang membalas sapaan itu dengan anggukan kecil, lalu menyilakan Jimi masuk. "Dia masih siap-siap. Duduk dulu. Mau minum sesuatu?"
Jimi menggeleng dengan sopan. "Tidak usah repot-repot kak. Terima kasih, Kak. Saya tunggu di sini saja."
Bintang pun berjalan menuju kamar Naya dan mengetuk pintunya. "Naya, Jimi sudah datang."
Dari dalam kamar terdengar suara gaduh, seperti seseorang yang sedang terburu-buru. Tak lama, pintu terbuka, dan Naya keluar sambil memasukkan buku-buku ke dalam ranselnya. Matanya tampak sedikit sembab, mungkin karena kurang tidur. Ia melirik sekilas ke arah Bintang.
"Aku berangkat dulu," katanya singkat.
"Semua sudah dibawa? Termasuk obatmu?" Bintang memastikan dengan suara pelan diakhir katanya, tatapannya sedikit khawatir.
Naya mengangguk. "Sudah, tenang saja kak"
Jimi yang melihat interaksi itu hanya diam, tetapi dalam hati ia bertanya-tanya sejak kapan Naya terlihat setertutup ini, bahkan terhadap kakaknya sendiri. Setelah berpamitan, mereka pun melaju dengan motor menuju sekolah.
Saat mereka tiba di gerbang sekolah, tatapan Naya terpaku. Matanya membulat ketika melihat sosok yang berdiri di sana—ibunya, Nuri.
Jimi yang juga melihat perempuan itu, menghentikan motor dan menoleh ke arah Naya. "Sepertinya ibumu ingin bicarakan sesuatu denganmu. Aku masuk dulu, ya?"
Naya hanya mengangguk pelan sebelum turun dari motor. Jimi menyapa Nuri dengan ramah sebelum berlalu, meninggalkan mereka berdua dalam suasana yang mendadak kaku. Nuri menatap putrinya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
"bagaimana keadaan kamu, Nay?" tanya Nuri akhirnya.
Suara Naya kecil, hampir tidak terdengar. "Aku baik."
Hening sejenak. Tidak ada lagi kata-kata yang terucap. Hanya kebisuan yang menggantung di antara mereka.
Naya akhirnya memutuskan untuk pergi, tetapi sebelum ia sempat melangkah, Nuri berkata, "mama ingin kamu datang ke acara ulang tahun Aleta."
Naya menegang. Pikirannya langsung dipenuhi bayangan tentang kebahagiaan Aleta—adik tirinya—yang akan dikelilingi kasih sayang, sesuatu yang dulu ia dambakan dari ibunya sendiri.
"Aku pikir kita bisa bicara lebih banyak di sana nanti," lanjut Nuri.
Naya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Baik. Aku akan menyempatkan waktu untuk datang."
Nuri tersenyum tipis, sementara Naya berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Ia tahu, menghadiri ulang tahun Aleta hanya akan mengingatkannya pada luka lama. Tapi bagaimana pun juga, Aleta hanyalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya ia membencinya.
Hari itu di sekolah, seperti biasa, Naya membatasi interaksinya dengan teman-temannya. Namun, Jimi tampaknya bertekad untuk mengubah keadaan.
Ia dengan setia menunggu Naya di depan kelas, lalu mengajaknya ke kantin. Saat mereka duduk bersama, Jimi mulai berbicara tentang hal-hal sepele.
"Kamu tahu nggak, aku yakin mi ayam kantin ini punya formula rahasia. Kok rasanya nggak pernah berubah, ya?" ujar Jimi sambil mengaduk mangkuk mi ayamnya.
Naya meliriknya sekilas. "Mungkin bumbu instan."
Jimi mendecak. "Ah, masa? Kalau iya, berarti aku udah ketergantungan sama bumbu instan."
Naya hanya mengangkat bahu. Jimi tidak menyerah, ia melanjutkan, "Terus, tadi pas pelajaran matematika, sumpah deh, aku kayak kena serangan langsung. Kenapa sih rumus-rumus itu harus sekompleks itu? Bukannya dunia ini sudah cukup sulit tanpa integral dan limit?"
Naya menghela napas. "Itu dasar logika. Kalau nggak ada, dunia bisa jadi kacau."
Jimi tertawa. "Oh, aku rasa duniaku udah cukup kacau meski ada logika."
Senyum kecil nyaris terbentuk di wajah Naya, tetapi langsung memudar saat ia mendengar suara tawa dari meja lain. Ia melirik ke arah Liam, Aiden, dan beberapa teman mereka. Mereka sedang berbisik dan tertawa pelan, sesekali melirik ke arah Naya dan Jimi.
Berbeda dengan yang lain, Aiden dan Liam hanya diam. Tapi diamnya mereka sudah cukup bagi Naya untuk menyimpulkan bahwa mereka mungkin berpikir hal yang sama.
Jimi menyadari perubahan ekspresi Naya. Ia mengikuti arah pandangannya, lalu menatap Naya kembali. "Dengar, jangan terlalu dipikirkan, ya? Orang bebas berasumsi tentang kita. Selama nggak ganggu kita langsung, biarin aja."
Tanpa sadar, Naya menghela napas panjang. Masih banyak yang harus ia hadapi. Dan ia tidak yakin apakah ia cukup kuat untuk itu.
...***...
Denny dengan enngan mengambil tempat duduk di gazebo taman kampus, kemudian menyeruput minuman dingin yang ia beli dari kantin. Sesekali, matanya melirik ke arah dua temannya, Josua dan Bintang, yang masih sibuk dengan laptop mereka.
"Serius, kalian nggak pegal? Dari tadi duduk gitu terus," keluh Denny, menggoyangkan bahunya.
Josua hanya melirik sekilas sebelum kembali mengetik, sementara Bintang bahkan tidak mengangkat kepalanya. Denny mendesah, merasa bosan menunggu dosen pembimbingnya. Masih ada beberapa surat yang harus ia lengkapi tanda tangannya, tetapi dosen itu belum juga datang.
Dengan malas, Denny mengeluarkan ponselnya dan mulai menjelajahi media sosial. Jari-jarinya menggulir layar tanpa tujuan hingga tiba-tiba matanya menangkap sesuatu. Wajahnya berubah tegang. Napasnya tercekat saat ia melihat sebuah video.
"Sialan!" umpatnya kasar, hingga reaksinya berdiri dari duduknya membuat Josua dan Bintang terperanjat. Mereka menatap Denny dengan penasaran.
"Kenapa?" tanya Josua.
Denny tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada layar ponselnya, membaca kolom komentar yang penuh dengan spekulasi liar dan kata-kata menyakitkan. Video itu menampilkan kejadian di sebuah kafe, di mana Nuri dan naya sedang menjadi tontonan banyak orang.
"Denny, kasih lihat videonya," pinta Bintang rasa penasarannya begitu bergemuruh di dalam benaknya.
Tapi Denny masih sibuk membaca komentar yang menyudutkan Naya. Orang-orang dengan mudahnya menghakimi tanpa tahu kebenarannya. Jantungnya berdebar keras, amarah mulai membakar dadanya. Dengan suara tegang, ia menoleh ke Bintang.
"Naya baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan wajah serius.
Bintang mengerutkan kening. "Dia baik. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"
Denny menatap Bintang dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. "Apa Naya pernah cerita sesuatu ke kamu? Tentang pertemuannya dengan ibu kalian?"
Bintang terdiam sejenak, mencoba mengingat. "Nggak, dia nggak pernah cerita apa pun soal mama. Kenapa sih, Den?"
Tanpa menjawab, Denny menyerahkan ponselnya ke Bintang. Saat melihat video itu, mata Bintang membelalak. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat. Darahnya terasa mendidih saat menyaksikan ibunya sendiri memperlakukan Naya dengan kasar.
"Sial!" desisnya marah.
Tanpa pikir panjang, Bintang menutup laptopnya dengan kasar, memasukkannya ke dalam ransel, lalu berdiri. Tanpa mengatakan apa pun, ia berjalan pergi dengan langkah cepat.
"Bintang!" panggil Josua, tetapi pria itu tidak berhenti.
Josua segera mengemasi barang-barangnya dan menarik lengan Denny. "Ayo kita ikuti dia. Gue nggak mau dia kehilangan akal dan melakukan sesuatu yang bakal dia sesali. Terutama kalau itu menyangkut ibu mereka."
Denny mengangguk cepat. Mereka berdua segera berlari mengejar Bintang, takut jika amarahnya akan meledak di tempat yang salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments