Setelah mengumpulkan banyak keberanian diri, Naya melangkah keluar dari kamarnya. Bergabung dengan keluarganya di meja makan untuk menikmati sarapan bersama.
"Naya, ada sesuatu yang ingin kami sampaikan" ujar Nuri membuka percakapan, suasana yang awalnya hening seketika menjadi tegang. perasaan khawatir seketika menghantam Naya yang sejak awal hanya terdiam sambil berusaha menghabiskan sarapannya secepat mungkin.
"Ada apa ma?" tanya Naya mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap Nuri yang sudah meletakkan sendok di atas piring. Menandakan pembicaraan yang lebih serius dari sekedar basa basi belaka.
"Karena sebentar lagi kamu akan sibuk mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan, mungkin lebih baik kalau kamu tinggal di asrama dekat sekolah" ungkap Nuri berusaha mengucapkan setiap kata dengan pelan, berharap ucapannya tidak akan menyinggung perasaan Naya.
Naya hanya bisa menghela napas dengan berat, berusaha menguatkan dirinya agar tidak menangis di depan keluarganya. Rasanya begitu berat menghadapi diagnosis dokter kemarin kini perasaannya semakin terbebani dengan keputusan orang tuanya.
"Kami memutuskan begini, juga untuk kebaikan kamu. Setidaknya jika jarak sekolah lebih dekat dengan tempat tinggalmu, maka kamu bisa lebih fokus belajarnya" ujar Rudi membantu istrinya untuk memberi pemahaman pada Naya, dirinya tidak ingin istrinya memiliki pandangan yang buruk padanya mengingat keputusan tersebut bermula dari keinginannya.
Dengan tangan yang terkepal kuat di bawah meja, naya berusaha menciptakan senyum di wajahnya kemudian berkata "jika kalian sudah memutuskan yang terbaik untukku, maka aku akan mengikuti keputusan kalian" setiap katanya terdengar begitu lancar keluar dari mulut Naya meski harinya bergetar menahan pilu.
"Mengapa begitu sakit terasa" batin Naya berusaha menahan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya, berusaha menahan agar tidak terlihat sedih di hadapan keluarganya.
"Ayah, apa Aleta juga harus pergi ke asrama?" tanya Aleta dengan wajah lesu dan air mata yang mengembun. Menatap sedih pada pria yang duduk bersebelahan dengannya.
"Tidak perlu sayang, 'kan Aleta masih kecil, Aleta masih butuh ayah dan mama untuk menjagamu" kata Rudi mengusap lembu rambut Aleta yang terurai indah. kata penghibur itu segera membuat Aleta menghapus air matanya menggantinya dengan senyum manis.
"Terima kasih ayah, aku sayang sama ayah" ucap Aleta segera memeluk pinggang Rudi yang tentu saja mendapat balasan pelukan yang hangat.
"Kalau sama mama sayang nggak?" tanya Nuri membuat semua tatapan yang berbeda teralih padanya.
"Tentu saja sayang, mama yang terbaik di dunia" kata Aleta dengan polos berlari memeluk Nuri yang menyambutnya dengan merentangkan kedua tangannya. Memberi beberapa kecupan singkat di kepala anaknya itu.
"apa kehadiranku hanya dianggap menjadi penghalang kebahagiaan keluarga kecil ini" batin Naya menatap iri cara orang - orang yang sedang berbagi kebahagiaan di depannya.
"Kasihan sekali kamu, Nay" monolog Mbak Stella mengintip kejadian tersebut dari balik sekat kayu yang memisahkan ruang makan dengan area dapur.
"Kalau begitu Naya berangkat dulu yah, ma" ucap Naya segera bangkit dari duduknya, menyambar tas ranselnya. Dirinya harus segera pergi dari tempat yang menciptakan rasa iri di dalam hatinya. Membuatnya tidak bisa lagi menahan tangis kesedihannya, meski sempat memiliki keinginan untuk mendapat sedikit kasih sayang dari keluarganya agar bisa menguatkan diri menjalani pengobatan. Tapi niatan itu kini telah menguar ke udara, pergi menjauh tanpa naya ingin raih kembali.
"Apakah akan lebih baik jika aku mulai menjauh dari semua orang yang aku sayangi" monolog Naya mengingat rentetan kejadian yang memberikan kejutan di dalam kehidupannya akhir - akhir ini
Dari kejadian di hari kompetisi yang membuat hubungannya dengan teman - temannya menjadi renggang. Diagnosisi Dokter yang memberinya pukulan keras sepanjang hidupnya. Kini orang tuanya menyarankannya untuk tinggal jauh dari rumah. Di saat dirinya sangat membutuhkan dukungan agar bisa kuat menghadapi penyakit mengerikan itu, dirinya seolah dibuat jatuh kedalan jurang oleh keputusan dan perbuatan keluarganya.
"Ma, aku sangat merindukan pelukan hangat yang dulu bisa menenangkan Naya saaat sedang bersedih, apa tidak ada lagi cara untuk kembali ke masa - masa indah dulu. Saat mama masih milik Naya seorang" batin Naya meninggalkan rumah sederhana dan terkesan klasik itu dengan tangisnya yang kembali pecah tanpa ingin Naya tahan lebih lama lagi.
...****************...
"Sudah, jangan terlalu dipikirin" tutur Josua menepuk kuat bahu Bintang yang selasai menceritakan pertemuannya dengan Naya di taman kota.
Rasanya terlalu sulit untuk mendekatkan diri pada Naya setelah melepaskan banyak kesempatan saat mereka masih satu sekolah dulu.
"Iya, masih banyak waktu yang bisa kamu gunakan untuk mendekat dan membuat Naya bisa mengenalmu" kata Denny berusaha membangkitkan kembali semangat juang temannya yang kini tampak sudah ingin menyerah.
"hmmm, aku juga berharap begitu" ungkap Bintang berusaha menegakkan kembali bahunya, keinginannya hanya satu yaitu agar bisa menghabiskan sisa waktunya di negara tersebut untuk membantu Naya.
"Tenang saja, kami akan ikut membantumu mendekati Naya" ucap Josua dengan senyumnya, menunjukkan tekadnya yang kuat dalam membantu sahabat karibnya itu.
"Tentu, kita akan berusaha sampai saat kau pergi nanti Naya juga ikut mengantar kepergianmu di bandara" ucap Denny menimpali perkataan Josua, membuat Bintang segera mengembangkan senyum simpul kemudian merangkul kedua temannya.
"Aku sangat beruntung memiliki kalian" imbuh Bintang mengenang kebersamaan mereka yang mampu membuat perasaannya jauh lebih baik.
"Kami yang beruntung mengenalmu" ucap Josua dan Denny bersamaan. Mengingat kehidupan mereka yang mulai berubah sejak berteman dengan Bintang. Bahkan kekhawatiran mereka mengenai biaya pendidikan bisa mereka atasi dengan bantuan dari keluarga bintang yang berada di luar negeri.
...****************...
"harusnya bisa lebih baik, tapi mengapa semua terasa semakin rumit dan membebaniku begitu berat" monolog Naya melipat kedua tangannya di dada, duduk menyendiri di bawah pohon yang sangat rindang di samping sekolah. Memikirkan kehidupannya yang kini terasa hancur tanpa bisa dia perbaiki satu - satu kembali.
"apa Tuhan memang terkadang acuh dengan kehidupan ciptaannya?" keluh Naya menutup matanya membiarkan air matanya yang awalnya terbendung kini mengalir begitu saja. Membiarkan rasa sakit di hatinya mengalahkan prinsip kebaikan yang selalu diajarkan kepada anak - anak sejak usia dini.
"mereka bahkan bisa tetap tertawa bahagia tanpa diriku" ucap Naya dengan senyum tipis dan air mata yang masih membasahi pipinya. menatap keakraban Jimi, Liam serta Aiden dari kejauhan membuat perasaan terasingkan kini menyeruak ke dalam hatinya.
"bodoh banget sih, Nay. Kalau sesuatu sudah tidak berguna lagi sudah pasti akan di buang dan dilupakan begitu saja. Mengapa masih tidak sadar juga" ucap Naya kembali dengan tatapan sendu ke segela arah, menyaksikan setiap siswa/siswi yang saling bercengkrama satu dengan yang lainnya. Membuatnya tersadar dengan keadaan dirinya yang kini tidak lagi memiliki banyak nilai apapun.
Perasaan Naya semakin tertekan menyadari akhir hidup yang akan dia lewati dengan kesendirian tanpa bahu untuk bersandar, tanpa telinga yang akan mendengarkan keluh kesahnya dan tanpa pelukan yang bisa menghangatkan hatinya dari kesedihan yang membekukan setiap senyum bahagianya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments