Menghargai Momen-Momen Kecil

Naya memandangi frame foto masa kecilnya bersama Nuri, ibunya. Jemarinya menyusuri tepi frame yang berdebu, dan hatinya kembali terasa kosong, seperti rumah tanpa penghuni. Di dalam potret itu, dia tampak bahagia. Senyum lebarnya memantulkan sinar hangat yang saat ini terasa asing dalam dirinya. Namun, kebahagiaan masa kecil itu memudar seiring waktu. Nuri, ibunya, kini telah menemukan kebahagiaan lain dalam keluarga barunya. Sementara Naya? Ia tetap terjebak di masa lalu yang penuh kenangan yang mulai memudar.

“Ah, kalau saja waktu bisa kembali,” gumam Naya pelan, menghela napas panjang. Dia meletakkan frame itu di meja belajarnya, menyesap sisa nostalgia yang masih menggantung di udara.

Saat Naya sedang berusaha menata pikirannya, Mbak Stella masuk ke kamarnya, membawa nampan berisi beberapa buah yang sudah dipotong-potong. Matanya melebar melihat koper dan kotak-kotak yang bertebaran di lantai.

"Naya, ini... kamu sudah mau pergi sekarang?" tanya Mbak Stella dengan nada terkejut.

Naya menoleh, tersenyum kecil. “Iya, Mbak. Aku udah bilang ke Mama dan Papa, mereka setuju aku pindah lebih awal,” jawab Naya, berusaha terdengar yakin. Tapi di dalam hatinya, ia merasakan kekosongan yang tak bisa dia ungkapkan.

Mbak Stella meletakkan nampan di meja, memandang Naya dengan sorot mata penuh kekhawatiran. "Tapi... persiapanmu kelihatan terburu-buru, Nay. Apa kamu yakin nggak mau tunggu mereka pulang dulu?"

Naya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Mbak Stella. Aku harus segera mulai mandiri. Lagipula...” Naya menggigit bibirnya, menahan perasaan yang tiba-tiba mendesak di tenggorokannya. “Aku sudah mengabari mereka, dan mereka juga sudah setuju.”

Mbak Stella menahan napas, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk pulang, ya. Rumah ini selalu terbuka buatmu.”

Naya tersenyum getir. “Iya, Mbak. Terima kasih untuk semuanya.” Dia memberikan pelukan hangat, yang entah mengapa terasa seperti perpisahan terakhir.

Mbak Stella membantu Naya membawa beberapa kotak ke depan rumah. Sambil menunggu taksi online yang sudah dipesan, mereka berdiri dalam keheningan yang canggung. Angin sore berhembus lembut, seakan ingin membisikkan kata-kata yang tak sempat diucapkan.

“Naya...” Mbak Stella akhirnya memecah keheningan. “Jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi Mbak.”

Naya menatap perempuan yang sudah merawatnya saat ibunya dan keluarga itu mengabaikan dirinya, menahan air mata yang ingin segera tumpah. “Mbak Stella... aku akan baik-baik saja,” ucapnya, walau jauh di dalam hati, ia tahu itu adalah sebuah kebohongan.

Tak lama kemudian, taksi yang dipesannya tiba. Dengan berat hati, Naya melangkah masuk ke dalam mobil, melambaikan tangan terakhir kepada Mbak Stella setelah beberapa barangnya sudah tertata rapi di bagasi mobil. “Aku akan sering berkunjung kalau ada waktu,” katanya, meski ia tahu kesempatan itu mungkin tidak akan pernah ada.

...***...

Perjalanan ke rumah kontrakan Bintang memakan waktu sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan, Naya memandang ke luar jendela, pikirannya melayang. Tubuhnya lemah, dan ada ketakutan yang semakin membesar di dalam dirinya. Waktu Itu yang selalu menghantuinya. "Setahun", pikirnya. Hanya tersisa setahun. Dia mencoba melawan rasa takut, tetapi bayangan kematian tetap berputar di benaknya, menghantuinya setiap detik.

Begitu sampai Bintang, Denny, dan Josua langsung menyambut kedatangan Naya dengan senyuman hangat. Bintang, dengan semangat yang khas, menghampirinya lebih dulu.

“Naya! Akhirnya kamu sampai juga. Biar kami bantu, ya,” ucap Bintang ceria. Dia meraih salah satu kotak dari tangan Naya. “Selamat datang di rumah kami!”

Naya tersenyum kecil, mengangguk. “Makasih, Kak Bintang, Kak Denny, Kak Josua. Aku nggak tahu harus bilang apa.”

“Cukup bilang kalau kamu nggak menyesal tinggal di sini,” goda Denny sambil mengambil koper besar Naya. “Kita janji nggak akan berisik... palingan cuma main game sampai pagi, hehehe.”

Naya tertawa kecil. “Kalian memang nggak pernah berubah, ya,” katanya, merasa sedikit lebih ringan.

Bintang memandang Naya dengan penuh perhatian. Ada kehangatan di matanya, tapi juga rasa khawatir yang sulit disembunyikan. “Kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu, ya. Serius, Naya. Rumah ini nggak cuma buat bersenang-senang. Kami di sini untuk kamu.”

Naya menunduk, menghindari tatapan Bintang. “Aku tahu, Kak Bintang. Terima kasih banyak sudah mau menolong aku.”

Mereka membantu Naya membawa barang-barangnya ke dalam kamar kecil yang akan menjadi tempat tinggalnya. Setelah itu, Bintang dan teman-temannya membiarkan Naya menyusun barang-barangnya sendiri, sementara mereka beralih ke dapur untuk mempersiapkan makan malam.

Naya duduk di ranjang kecil yang masih kosong, matanya menatap koper dan kotak-kotak di sekitarnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka koper, mengeluarkan beberapa pakaian, dan mulai menatanya ke dalam lemari kecil di sudut kamar.

“Kenapa aku merasa sepi padahal aku dikelilingi banyak orang?” pikir Naya, menahan isak yang hampir pecah.

Ia berhenti sejenak, mengusap wajahnya yang mulai terasa panas. “Aku harus kuat,” bisiknya, meyakinkan dirinya sendiri. Tapi bayangan rumahnya, senyum ibunya, dan masa kecilnya yang bahagia terus menghantui. Semua terasa seperti mimpi yang tak bisa diulang.

Dari dapur, terdengar suara Bintang dan yang lainnya bercanda. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, menciptakan suasana yang hangat. Naya menoleh, tersenyum tipis. Ia tahu Bintang berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya nyaman.

“Kamu nggak tahu, Kak Bintang,” gumam Naya, “kalau aku cuma punya waktu setahun. Apa kamu masih akan sehangat ini kalau tahu kenyataan itu?”

...***...

Sementara itu, di dapur, Bintang memasukkan bahan-bahan ke dalam panci, sesekali melirik ke arah kamar Naya. Josua yang sedang memotong sayuran memerhatikannya, lalu tertawa pelan.

“Eh, Bintang, jangan curi-curi pandang terus. Naya butuh waktu, tahu,” ujar Josua sambil mengangkat alis.

Bintang tersipu. “Aku cuma... ingin memastikan dia baik-baik saja. Itu saja,” ujarnya, berusaha terdengar tenang. Tapi dalam hatinya, dia tahu ada lebih dari sekadar rasa khawatir. Dia tidak tahu kenapa, tetapi ada sesuatu tentang Naya yang membuatnya ingin melindunginya.

“Loh, kok mukanya jadi merah?” Denny menggoda. “Wah, wah. Kamu ini nggak berubah, ya. Masih aja suka Naya dari dulu.”

Bintang menghela napas, meletakkan sendok kayu yang dipegangnya. “Bukan soal suka atau nggak suka, Den. Aku cuma... Naya kelihatan sedih, tahu. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku ingin dia bahagia di sini.”

Josua menepuk bahu Bintang. “Pelan-pelan saja. Yang penting, kita ada buat dia.”

Bintang mengangguk, hatinya diliputi harapan dan ketakutan. Dia tahu waktunya di Indonesia hanya tersisa sebelas bulan. Tapi dia ingin membuat setiap bulan itu berarti, terutama jika bisa menghabiskannya dengan Naya.

...***...

Setelah makan malam siap, Bintang, Denny, dan Josua mengajak Naya untuk makan bersama. Mereka duduk di ruang makan sederhana, di mana cahaya lampu menghangatkan suasana.

“Naya, sini makan. Kamu pasti lapar,” panggil Denny sambil menyodorkan piring.

Naya duduk di kursi yang telah mereka sediakan. Melihat makanan yang terhidang, ia merasa terharu. Meskipun sederhana, kehangatan yang mereka berikan lebih dari cukup.

“Terima kasih, kalian. Aku... nggak tahu harus bilang apa,” ucap Naya, matanya berkaca-kaca.

Bintang tersenyum lebar. “Kita keluarga sekarang, Naya. Kita di sini untuk satu sama lain.”

Naya menahan air matanya, menyadari bahwa dalam kegelapan hidupnya, masih ada sinar kecil yang mencoba menerangi jalannya. Walaupun waktu terus berjalan, dan batas hidupnya semakin dekat, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menghargai momen-momen kecil ini. Sesederhana apa pun itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!