Pagi itu, seperti biasa, Bintang sudah menunggu di depan kontrakan untuk mengantar Naya ke sekolah. Naya yang masih sedikit mengantuk keluar dari rumah sambil membawa tas sekolahnya. Bintang menatap adiknya dengan senyuman lembut.
"Udah siap?" tanya Bintang sembari membetulkan posisi tas di motor.
Naya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya, Kak. Maaf udah bikin Kak Bintang nunggu.”
“Nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak telat saja ke sekolah,” sahut Bintang sambil memasang helm di kepala Naya. “Ayo, kita segera berangkat.”
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Bintang mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan. Ia tahu akhir-akhir ini Naya tampak lebih sering melamun. Kadang ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi ia juga tidak mau memaksa adiknya untuk bercerita.
...***...
Setibanya di depan gerbang sekolah, Naya turun dari motor dan melepas helmnya. Ia mengucapkan terima kasih kepada Bintang yang masih duduk di atas motor, lalu mulai berjalan masuk ke area sekolah.
Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara motor yang familiar. Ia menoleh, dan benar saja, itu Aiden dengan motor sportnya. Tapi kali ini perhatian Naya langsung tertuju pada perempuan di jok belakang, Sintia. Mereka tampak berbicara sambil tersenyum sebelum Aiden membantu Sintia turun dari motor.
Naya hanya bisa berdiri kaku, memperhatikan mereka dari kejauhan. Tatapan sinis Sintia yang sesaat mengarah padanya membuatnya segera memalingkan pandangan. "Kenapa harus Sintia?" pikir Naya, hatinya terasa sedikit nyeri meski ia berusaha untuk tidak peduli.
“Kenapa, Nay? Ada yang aneh?” tanya Bintang yang memperhatikan perubahan ekspresi adiknya.
Naya menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan perasaannya. “Enggak apa-apa, Kak. Aku masuk dulu, ya.”
“Baik. Kalau ada apa-apa, segera kabarin aku yah,” pesan Bintang sebelum melambaikan tangan.
...***...
Di koridor sekolah, Naya mendengar bisikan beberapa siswa yang membicarakan Aiden dan Sintia.
“Mereka cocok banget, ya. Sintia kan cantik, cocok sama Aiden yang populer.”
“Iya, mereka kayak pasangan dari dunia lain.”
Naya hanya tersenyum kecil mendengar komentar itu. "Mungkin ini memang yang terbaik," pikirnya. "Kalau Sintia ada di samping Aiden, aku nggak akan terlalu diingat. Kalau aku pergi nanti, mereka nggak akan terlalu sedih."
Namun, ada bagian kecil dalam diri Naya yang tetap berharap. Berharap ia masih bisa bersama teman-temannya, bermain drum, dan menjalani hari-hari seperti biasa. Tapi kenyataan yang terjadi sekarang selalu menepis harapannya.
...***...
Ketika bel istirahat berbunyi, Naya awalnya berniat pergi ke kantin. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar beberapa siswa berbicara tentang Aiden, Liam, Jimi, dan Sintia yang sedang duduk bersama di sana. Naya menghela napas panjang, mengurungkan niatnya.
“Lebih baik aku ke perpustakaan saja,” gumamnya pada diri sendiri.
Di perpustakaan, Naya mengambil beberapa buku acak dan memilih tempat duduk di sudut yang jarang terlihat. Ia berharap bisa menghilang sejenak dari segala keramaian. Namun, pikirannya tetap dipenuhi oleh bayang-bayang Aiden dan Sintia.
"Aku nggak punya hak untuk cemburu. Lagipula, aku ini apa buat mereka?" pikir Naya, sambil memandangi buku di hadapannya tanpa benar-benar membaca.
...***...
Sepanjang hari itu, Naya terus berusaha menghindari Aiden, Liam, dan Jimi. Ia takut jika bertemu, perasaannya akan semakin kacau. Ketika bel pulang berbunyi, Naya memutuskan memesan taksi online untuk pulang. Ia mengirim pesan kepada Bintang agar tidak perlu menjemputnya. Namun, ia tidak mengatakan niat sebenarnya.
"Aku harus bilang ke mama. Cepat atau lambat, hal ini harus aku lakukan," pikirnya sambil memandangi jalanan dari balik kaca mobil.
Setibanya di rumah yang baru dia tinggalkan beberapa waktu itu, Naya merasa hatinya berdebar. Ia ragu-ragu melangkah masuk, tetapi sapaan hangat Mbak Stella, asisten rumah tangga keluarganya, membuatnya merasa sedikit nyaman.
“Wah, Naya! Udah lama nggak ke sini,” sambut Mbak Stella sambil mengelap tangannya dengan celemek. “Masuk, Nay. Ada yang mau diminum?”
Naya menggeleng sambil tersenyum tipis. “mama ada, Mbak?”
Namun, senyum Stella mengendur. “ibu tadi pagi ke rumah sakit, Nay. Aleta lagi demam tinggi, jadi Ibu buru-buru bawa dia ke dokter.”
“Oh…” Naya mencoba menutupi kekecewaannya. “mama pasti panik tadi dengan keadaan Aleta, ya?”
“Iya, soalnya Aleta tiba-tiba panasnya tinggi banget. Ibu langsung nggak tenang.”
Mendengar cerita itu, Naya merasakan sesuatu mencengkeram hatinya. Ia merasa tidak punya tempat dalam kehidupan baru ibunya. Meski ia tahu itu tidak adil, rasa sedih tetap menguasainya.
“Kalau gitu, saya pulang dulu, Mbak. Terima kasih,” ujar Naya dengan nada lembut.
“Kok buru-buru? Nggak mau nunggu Ibu pulang?” tanya Stella.
Naya hanya tersenyum kecil. “Nggak usah, Mbak. Mungkin lain kali baru aku akan berkunjung kembali.”
...***...
Setibanya di rumah kontrakan, Naya langsung menuju kamarnya. Ia melemparkan tasnya ke atas tempat tidur, lalu duduk termenung di meja belajarnya. Tangannya meraih buku diarinya, tempat di mana ia selalu menuangkan semua perasaan yang tak bisa ia ungkapkan kepada siapa pun.
[Hari ini aku merasa seperti angin, hanya lewat tanpa arti,] tulisnya. [mama mungkin sudah punya keluarga baru, dan aku hanya tambahan kecil dalam hidupnya kini. Aku tahu ini egois, tapi aku merasa sudah kehilangan mama. Dia bukan lagi sosok yang bisa memberi pelukan hangat dan menenangkan saat tubuh ini tergerogoti rasa sakit.]
Tetesan air mata membasahi halaman buku itu. Naya terus menulis, berharap rasa sakitnya bisa sedikit mereda.
Tak lama, pintu kamar diketuk perlahan. “Naya, kamu udah pulang?” suara Bintang terdengar dari luar.
Naya buru-buru menutup bukunya dan menghapus air matanya. “Iya, Kak. Aku di dalam.”
Bintang masuk dan duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan adiknya yang tampak lelah. “Kamu nggak cerita tadi kenapa nggak mau aku jemput. Ada apa, Nay?”
Naya hanya menggeleng, berusaha tersenyum. “Nggak apa-apa, Kak. Aku cuma pengen sendiri tadi.”
Bintang menatap Naya dengan penuh perhatian, lalu menghela napas. “Nay, kalau ada yang kamu rasain, cerita ke aku, ya. Jangan dipendam sendiri.”
“Iya, Kak,” jawab Naya pelan. Tapi dalam hati, ia tahu belum siap menceritakan apa pun.
Malam itu, Naya berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar. "Kenapa semuanya terasa makin berat?" pikirnya sebelum akhirnya dia berusaha tertidur dengan pikiran yang masih dipenuhi kekhawatiran.
Bintang menatap layar laptopnya dengan pandangan yang mulai buram karena lelah. Tumpukan tugas skripsi di depannya membuat pikirannya terus berpacu. Ia ingin segera menyelesaikan semuanya agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Naya. Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuatnya berhenti mengetik.
“Naya? Ada apa? Kok ke sini?” tanyanya heran ketika melihat adiknya berdiri di depan pintu kamarnya.
Naya hanya tersenyum tipis, ragu-ragu melangkah masuk. “Aku nggak bisa tidur, Kak. Boleh nggak malam ini aku tidur di sini?”
Bintang mengernyitkan dahi. Ini bukan kebiasaan Naya. Biasanya, adiknya itu lebih suka menyendiri di kamarnya jika ada masalah. Tapi ia tidak ingin terlalu banyak bertanya.
“Tentu boleh. Tapi aku lagi ngerjain skripsi. Kamu nggak bakal terganggu?” tanyanya sambil menunjuk laptop di mejanya.
Naya menggeleng sambil berjalan menuju tempat tidur Bintang. “Nggak kok. Aku cuma butuh tempat yang beda. Nggak mau tidur di kamar sendiri malam ini.”
Bintang mengangguk, lalu bangkit untuk merapikan selimut di tempat tidurnya. Ia memastikan semuanya nyaman untuk Naya. “Kalau gitu, kamu tidur aja. Aku bakal kerja di sini.”
Naya hanya menjawab dengan gumaman pelan sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur. Ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, mencoba menenangkan diri. "Aku nggak mau Kak Bintang tahu. Dia udah cukup repot dengan masalah skripsinya sekarang."
...***...
Suasana kamar menjadi hening, hanya terdengar suara ketikan keyboard dari meja Bintang. Meski matanya tertutup, Naya tidak benar-benar tidur. Pikirannya terus melayang pada kejadian di rumah ibunya siang tadi. Betapa ia ingin memberitahu Nuri tentang penyakitnya, tetapi sepertinya Tuhan juga tidak ingin dia mengungkapkan hal itu kepada ibunya.
"Aku nggak mau mama merasa bersalah karena meninggalkanku. Aku nggak mau membebani hidup mama yang sudah bahagia sekarang." pikirnya sambil memejamkan mata lebih erat, berharap perasaan sedihnya segera hilang.
“Naya, kamu udah tidur?” suara pelan Bintang memecah keheningan.
Naya membuka matanya perlahan, menoleh ke arah kakaknya yang masih sibuk di depan laptop. “Belum, Kak. Ada apa?”
Bintang berbalik, menatapnya dengan serius. “Kamu baik-baik aja, kan? Tadi kamu tiba-tiba pulang tanpa bilang apa-apa. Kamu juga nggak mau aku jemput. Kamu nggak ada masalah di sekolah 'kan?”
Naya menghela napas panjang. “Aku baik-baik aja, Kak. Cuma… aku kepikiran aja. Tentang mama.”
Bintang mendekat dan duduk di tepi tempat tidurnya. “Mama? Maksudnya apa? Kamu udah mau kasih tahu mama?”
Naya terdiam sejenak, mencoba memilih kata-kata. “Iya rencananya seperti itu kak, Tapi aku juga mikir, mungkin ini lebih baik. mama udah punya keluarga baru, dan dia udah bahagia. Aku nggak mau ganggu kebahagiaan itu.”
“Naya…” Bintang menatapnya dalam-dalam, mencoba memahami isi hati adiknya. “Kamu bukan gangguan buat siapa pun. mama itu tetap mama kamu juga. Dia punya hak tahu apa yang kamu alami sekarang.”
Naya menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak mau dia sedih, Kak. Aku udah cukup bikin repot kamu. Aku nggak mau nambah beban Mama lagi.”
Bintang menggenggam tangan Naya dengan erat. “Nay, dengerin aku. kita itu keluarga. Nggak ada kata ‘merepotkan’ buat keluarga. Kalau kamu nggak mau bilang ke mama sekarang, aku ngerti. Tapi jangan terus-terusan nyimpen semuanya sendiri.”
Air mata Naya mulai mengalir di pipinya. “Tapi aku takut, kak. Aku takut ngeliat mama nangis karena aku.”
Bintang menarik Naya dalam pelukannya. “Aku ngerti, Nay. Tapi kamu nggak sendiri. Ada aku, ada kita semua yang sayang sama kamu. Jangan pernah lupa itu.”
...***...
Setelah beberapa saat, Naya akhirnya tertidur di kamar Bintang. Tapi Bintang tidak langsung kembali ke tugasnya. Ia duduk di kursinya, memandangi wajah adiknya yang terlihat begitu tenang dalam tidur.
"Aku tahu kamu sedang berjuang, Nay. Aku janji akan selalu ada buat kamu, apapun yang terjadi." pikirnya sambil menghela napas panjang. Ia kembali ke laptopnya, mengetik lebih cepat. Skripsinya harus selesai secepat mungkin.
...***...
Di pagi hari, saat Bintang terbangun, ia menemukan Naya masih tidur nyenyak. Wajah adiknya terlihat sedikit lebih cerah dibanding semalam. Ia memutuskan untuk membiarkannya tidur lebih lama.
Bintang berjalan ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana. Ia tahu hari-hari ke depan akan penuh tantangan, tapi ia juga tahu bahwa ia harus tetap kuat. Demi Naya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments