Berusaha Menahan Diri

Siang itu, Naya melangkahkan kaki memasuki sebuah kafe yang tidak jauh dari sekolahnya. Ia duduk di salah satu kursi kosong di sudut ruangan, tempat yang cukup tenang untuk menunggu kedatangan Bintang. Hari ini, Bintang, Josua, dan Denny sedang sibuk di kampus, sehingga Naya harus menunggu sendirian di tempat yang direkomendasikan oleh Bintang.

Seorang pelayan perempuan datang menghampiri dengan senyum ramah. "Selamat siang, Kak. Mau pesan apa?" tanyanya sopan, menyodorkan buku menu.

Naya membuka menu dan membaca daftar makanan dan minuman dengan seksama. Setelah mempertimbangkan beberapa pilihan, akhirnya ia memutuskan untuk memesan sepotong cake vanila dan segelas jus jeruk. Pelayan itu mencatat pesanannya dengan cekatan, lalu meninggalkannya sendiri.

Naya meraih ponselnya dan mulai asyik berselancar di media sosial, tenggelam dalam dunia maya tanpa menyadari kehadiran seseorang yang mendekatinya dengan langkah cepat dan penuh ketegasan. Tiba-tiba, ponselnya direnggut dengan paksa dari tangannya.

"Mama?" Naya terperanjat, mendongak dan melihat ibunya, Nuri, berdiri di depannya dengan wajah penuh amarah. Mata orang-orang di kafe mulai tertuju pada mereka.

Sebelum Naya sempat mengucapkan sepatah kata pun, tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan, membuat beberapa pengunjung menoleh dengan ekspresi terkejut. Beberapa dari mereka bahkan mengangkat ponsel, siap merekam kejadian itu.

Naya terhuyung ke belakang, lalu jatuh ke lantai. Pipinya terasa panas dan nyeri, tapi lebih dari itu, hatinya terasa hancur. Ia menahan air matanya, mencoba mempertahankan sisa-sisa harga diri yang masih tersisa. Dengan perlahan, ia mengangkat kepalanya dan menatap ibunya dengan mata nanar.

"Apa kau sudah cukup bermainnya?" suara Nuri terdengar sarkastik, matanya menyala penuh emosi. "Mama dengar kau sering bolos sekolah dan diantar oleh laki-laki yang berbeda-beda! Apa semua pengorbanan Mama tidak cukup untuk membuatmu menjadi anak yang patuh?"

Naya berusaha berdiri, meski lututnya gemetar. Ia mengepalkan tangannya, berusaha meredam emosinya sendiri. "Mengapa Mama hanya percaya pada kata orang lain? Kenapa Mama tidak pernah mau mendengarku sedikitpun? Atau bahkan memberiku waktu menjelaskan semua" suaranya bergetar, namun matanya tetap tajam menatap ibunya.

Nuri menghela napas berat, tapi sorot matanya tetap penuh kekecewaan. "Mama malu, Naya. Teman-teman Mama bercerita banyak hal tentangmu. Apa yang harus Mama katakan pada mereka?"

Sebuah senyum sinis terbit di bibir Naya. "Setelah lama tak bertemu, hal pertama yang Mama berikan adalah tamparan, bukan pelukan." Ia merogoh tasnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya di meja. "Aku memang membuat Mama malu, tapi Mama juga membuatku malu dengan kejadian ini," lanjutnya, matanya mengedar ke sekeliling, menyadari tatapan para pengunjung yang masih menyaksikan mereka.

Naya meraih ranselnya dan ponselnya kemudian menatap ibunya untuk terakhir kali. "Aku benci Mama," katanya pelan, namun penuh luka. Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari kafe, meninggalkan Nuri yang berdiri terpaku, menyadari konsekuensi dari perbuatannya.

Di dalam taksi, Naya segera mengirimkan pesan singkat kepada Bintang, mengatakan bahwa dirinya tidak perlu dijemput. Ia beralasan akan langsung pergi ke studio untuk latihan. Tak lama, ponselnya bergetar—Bintang menelpon, mungkin dia ingin memastikan keadaannya. Namun, Naya langsung menolak panggilan itu. Ia tak mungkin berbicara dalam keadaan menangis tersedu-sedu; hal itu hanya akan membuat kakaknya semakin khawatir dan segera menyusul dirinya.

Untuk menghindari lebih banyak pertanyaan, Naya mengirim pesan lain, berdalih bahwa dirinya sedang bersama Jimi, mengendarai sedang motor sehingga tidak akan baik jika mengangkat panggilan kakaknya. Mengetahui adiknya bersama Jimi, Bintang pun bisa sedikit lega. Sementara itu, Naya justru meminta sopir taksi mengarahkannya ke taman kota. Ia butuh waktu sendiri, tempat di mana ia bisa meluapkan segala kesedihannya tanpa seorang pun tahu.

Setibanya di taman, Naya duduk di gazebo yang terletak di sudut taman menghadap danau kecil, tempat yang jarang dijamah pengunjung lain. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang masih basah oleh air mata. Ia mendesah panjang, berusaha menenangkan diri. "Kenapa selalu begini... Kenapa mama nggak pernah mau dengar aku..." gumamnya pelan, suaranya bergetar menahan sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, mencoba menahan kepedihan yang terus menghantam hatinya.

Di sisi lain, Jimi sedang berada di koridor sekolah, berusaha membujuk Liam dan Aiden agar tetap ikut serta dalam kompetisi musik yang akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan. Namun, diskusi mereka semakin memanas. Liam menatap Jimi tajam, wajahnya penuh kekecewaan.

"Jimi, kita bukan anak kecil lagi. Kita paham kok kalau lo lebih peduli sama Naya daripada kita. Tapi lo juga harus ngerti perasaan kita. Dari dulu kita selalu bareng-bareng, tapi sekarang lo kayak—kayak cuma peduli sama dia doang!" ujar Liam dengan nada yang penuh tekanan.

"Iya, Ji. Kita bukannya benci Naya, tapi kita juga punya batas sabar. Dia menghilang, nggak pernah latihan, terus tiba-tiba lo bawa dia balik gitu aja? Kita nggak mau band ini cuma jadi tempat lo main perasaan," tambah Aiden, nada suaranya penuh frustrasi.

Jimi mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk membentak balik. Ia menatap kedua temannya dengan mata yang mulai memerah. "Gue ngerti. Tapi kalian harus percaya sama gue. Gue nggak cuma mikirin perasaan gue sendiri, gue mikirin kita semua. Gue janji, setelah kompetisi ini selesai, gue bakal jelasin semuanya," ucapnya dengan suara bergetar.

Liam menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya sendiri. "Kalau gitu, lo harus buktiin, Ji. Bukan cuma janji kosong. Kita bakal ikut kompetisi ini, tapi setelah itu, kalau lo nggak bisa kasih penjelasan yang masuk akal, jangan harap kita bisa balik kayak dulu lagi."

Jimi terdiam. Ada sesuatu yang mencubit hatinya mendengar kata-kata Liam. Ia mengangguk perlahan. "Gue ngerti... Dan gue harap, nanti pas kalian tahu yang sebenarnya, kalian nggak nyesel," katanya lirih.

Dalam hati kecilnya, Jimi ingin sekali berteriak kepada kedua sahabatnya yang bodoh itu, ingin mengatakan keadaan Naya yang sebenarnya. Mengungkapkan bahwa gadis itu sedang berjuang melawan penyakit kanker pankreas yang diam-diam menggerogoti tubuhnya. Ia ingin memberitahu mereka bahwa semua ketidakhadiran Naya di sekolah bukan karena malas atau sekadar bermain-main, melainkan karena ia harus menjalani kemoterapi yang melelahkan. Dia juga ingin mengatakan bahwa alasan sekolah tidak memberikan hukuman padanya bukan karena mereka memihak, tapi karena mereka tahu—hari-hari ketika Naya absen adalah saat ia harus menjalani kemoterapi.

Namun, ia tetap diam. Masih belum waktunya.

Liam dan Aiden saling bertukar pandang. Dalam hati, mereka hanya ingin Naya kembali seperti dulu—bukan seseorang yang mereka anggap semakin jauh dan terjerumus dalam lingkungan yang salah. Mereka tidak menyadari bahwa selama ini mereka salah paham. Namun, mereka membiarkan kesepakatan itu berlaku, dengan pemikiran bahwa setelah kompetisi berlalu, mereka masih bisa meminta Naya kembali kapan pun mereka mau. Tanpa tahu bahwa mungkin, waktu itu tidak akan pernah ada.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!