Penyesalan Tak Mengubah Apapun

Pagi itu, Naya berdiri di depan rumah kontrakan Bintang, menghela napas panjang. Bintang berdiri di samping motornya, mengenakan jaket denim dan helm yang sudah disiapkan untuk Naya. Senyum di wajah Bintang tak pernah surut, meski Naya sudah menolak tawarannya berkali-kali. Namun ajakan bintang tetap tidak terbantahkan.

"Naya, ayolah," kata Bintang, masih dengan nada penuh semangat. "Udah, naik aja. Aku nggak terima penolakan lagi, nih."

Naya memeluk tasnya erat, matanya menatap trotoar. "Kak Bintang, aku bisa naik angkot. Nggak perlu repot-repot," ujarnya, berusaha sekuat tenaga terdengar tegas. Tapi dalam hati, ia merasa sungkan. "Kalau aku diantar kamu, nanti malah bikin gosip di sekolah."

Bintang tertawa pelan. "Gosip? Ah, biarin aja. Mereka mau bilang apa sih? Toh aku cuma ngantar temen lama."

Naya mendesah. “Kamu nggak ngerti, Bintang. Anak-anak di sekolah suka bikin gosip aneh. Lagipula... kamu kan alumni yang dulu terkenal di sana. Bikin masalah aja.”

Bintang memiringkan kepalanya, menatap Naya dengan serius. “Aku ngerti, Naya. Tapi jujur, aku nggak peduli sama gosip-gosip itu. Aku cuma mau pastiin kamu aman sampai di sekolah.” Dia meraih helm cadangan dan menyerahkannya ke Naya. “Please, sekali ini aja.”

Naya menatap helm itu ragu-ragu. Namun, melihat ketulusan di mata Bintang, ia menyerah. “Baiklah,” gumamnya, mengambil helm tersebut dan memakainya. Dia naik ke motor, mencoba untuk menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan punggung Bintang.

“Pegangan, ya,” kata Bintang sambil menoleh ke belakang. Naya mengangguk pelan, tangannya terulur ragu, akhirnya memegang ujung jaket Bintang.

Motor melaju melewati jalanan yang ramai, dan sepanjang perjalanan, Naya terus memikirkan bagaimana reaksi orang-orang di sekolah nanti. “Ya Tuhan, semoga nggak ada yang melihat nanti,” gumamnya pelan, menutup matanya sejenak, merasa dadanya berdegup kencang.

...***...

Begitu mereka tiba di depan gerbang sekolah, beberapa siswa yang sedang berkumpul langsung menoleh. Mata mereka membesar, dan bisikan-bisikan mulai terdengar.

“Eh, itu 'kan Kak Bintang? Alumni yang dulu jago main basket?”

“Kok dia ngantar Naya? Deket dari kapan, sih?”

Naya merasakan pipinya memanas. Dia segera turun dari motor dan melepas helmnya. “Makasih, Kak Bintang,” katanya cepat, berusaha menghindari tatapan orang-orang.

Bintang mengangguk, masih dengan senyum cerah. “Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, kabarin aku.”

Naya mengangguk dan berbalik, melangkah cepat ke dalam sekolah. Bisikan-bisikan masih terdengar di sekitarnya, dan dia merasa seperti pusat perhatian. “Kenapa harus seperti ini?” pikirnya, merasa semakin ingin menghilang dari pandangan orang-orang.

Saat Naya berjalan menuju kelas, dia berusaha menghindari anak-anak band Starry. Mereka berkumpul di koridor, bercanda dan tertawa. Dahulu, mereka adalah teman-teman terdekatnya, terutama saat ia masih menjadi drummer band tersebut. Tapi kini, mereka seperti orang asing.

Aiden, yang dulu menjadi vokalis, memalingkan wajah saat melihat Naya. Wajahnya masih penuh dengan rasa kecewa yang tak pernah ia sembunyikan. Liam dan Jimi hanya menatap singkat sebelum melanjutkan obrolan mereka.

Naya menunduk, berusaha tetap berjalan tanpa memperlambat langkah. “Dulu, aku adalah bagian dari mereka,” pikir Naya, menggigit bibir bawahnya. “Sekarang... rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.”

Jimi, yang memperhatikan Naya dari kejauhan, menghela napas panjang. Dia memandang Aiden dan Liam, yang masih menyimpan dendam. “Kalian nggak capek?” tanya Jimi dengan nada lirih. “Dia udah cukup menderita, tahu.”

Aiden mengerutkan kening, menoleh pada Jimi. “Kamu masih bela dia, Ji? Dia yang bikin kita kalah di kompetisi itu. Karena dia, semua kerja keras kita menjadi sia-sia.”

Jimi menghela napas lagi. “Aku tahu, Aiden. Tapi nggak adil kalau kita terus-terusan bersikap seperti ini. Naya udah kehilangan banyak... lebih dari yang kita bayangkan.”

Liam menepuk bahu Jimi. “Kita semua kecewa, Ji. Tapi aku nggak bisa begitu saja melupakan semua itu.” Dia menatap Naya yang sudah menghilang ke dalam kelas, lalu mengalihkan pandangannya.

Jimi hanya bisa menatap dengan rasa iba yang semakin besar.

...***...

Saat pelajaran berlangsung, Naya duduk di sudut kelas, berusaha fokus. Tetapi rasa perih di perutnya mulai muncul, membuatnya semakin sulit berkonsentrasi. Dia meraba tasnya, mencari obat yang seharusnya ia minum tadi pagi. Namun saat membuka botolnya, ia menyadari sudah kehabisan persediaan.

"Kenapa aku bisa lupa, sih?" Naya bergumam, menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Keringat dingin membasahi keningnya, dan tubuhnya mulai gemetar.

Guru matematika, Pak Arif, yang sedang menjelaskan materi di depan kelas, memperhatikan perubahan pada wajah Naya. Dia menghentikan penjelasannya dan menatap Naya dengan khawatir.

“Naya, kamu kenapa? Kelihatan pucat,” tanya Pak Arif.

Naya mencoba tersenyum, meski bibirnya terasa kaku. “Nggak apa-apa, Pak,” jawabnya dengan suara lemah. Tapi tubuhnya jelas tidak setuju, dan dia merasakan sakit semakin kuat.

Pak Arif melangkah mendekat. “Kamu kelihatan nggak sehat. Lebih baik ke UKS sekarang, ya.”

Beberapa teman Naya memperhatikan dengan cemas, tapi tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya dialami Naya. Mereka hanya mengira Naya terkena GERD atau sakit perut biasa.

Dengan susah payah, Naya berdiri dari kursinya, berusaha tetap stabil meski pandangannya mulai berkunang-kunang. Dia berjalan pelan menyusuri koridor sekolah, langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah adalah perjuangan.

"Jangan pingsan, jangan pingsan," Naya berulang kali berkata dalam hati. Ia tahu dirinya harus tetap bertahan, setidaknya sampai ia berada di ruang UKS.

Begitu tiba di UKS, seorang anak PMR yang sedang berjaga, Alya, langsung membantunya. “Naya, kamu kenapa?” tanya Alya dengan nada khawatir, membantu Naya duduk di tepi matras.

Naya menunduk, memegangi perutnya yang terasa perih. “Aku butuh obat penghilang rasa sakit... di lemari obat, mungkin ada,” ujarnya lirih.

Alya mengangguk cepat. “Oke, tunggu di sini. Aku cari dulu.”

Naya menutup matanya, merasakan sakit yang seperti api membakar tubuhnya dari dalam. "Aku harus kuat," pikirnya, meskipun dia tahu bahwa rasa sakit ini berbeda. Lebih parah, lebih mengerikan.

Tak lama, Alya kembali membawa obat yang diminta. “Ini, Naya. Aku ambil dari lemari,” katanya sambil menyerahkan obat tersebut.

Naya menerima obat itu, meski ia tahu obat ini hanya sementara meredakan rasa sakitnya. Dengan tangan gemetar, ia meminumnya, berharap rasa sakit akan berkurang, setidaknya sedikit.

“Apa aku kelihatan sangat buruk?” Naya bertanya, berusaha melontarkan lelucon kecil.

Alya tersenyum kaku. “Kamu cuma terlihat lelah. Mungkin istirahat di sini sebentar, ya?”

Naya mengangguk, meskipun di dalam hatinya, ia tahu betul kondisi tubuhnya tidak sepele. "Satu tahun lagi," batinnya. "Mungkin aku tidak akan sempat merasakan semua ini lebih lama."

Sementara itu, di luar UKS, Jimi yang lewat kebetulan melihat Naya sedang duduk lemah di dalam. Hatinya mencelos. Dia mendekati pintu UKS dan berdiri di sana, memegang handle pintu dengan ragu.

“Naya,” gumam Jimi, melihat gadis yang dulu menjadi bagian penting dari hidup mereka kini tampak rapuh. Sesuatu dalam dirinya ingin melangkah masuk, ingin memeluk Naya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi bayangan Aiden dan Liam terus membayangi pikirannya, menahan langkahnya.

"Apa aku pengecut kalau aku nggak bantu dia?" Jimi bertanya pada dirinya sendiri. Egonya, persahabatan mereka yang rumit, dan rasa bersalah bercampur jadi satu, membuatnya tak bisa bergerak maju.

Naya, yang masih berusaha bertahan dengan rasa sakit, merasakan keheningan yang mencekik. "Aku harap... ada yang masih peduli," pikirnya, tanpa tahu

Jimi akhirnya melangkah masuk ke UKS, meskipun hatinya masih ragu. Dia menghampiri Naya yang tampak lemah, berbaring dengan tangan memegang perut. Melihat kondisi Naya dari dekat, rasa bersalah di dadanya kian menguat. Dia tahu Naya jauh dari sekadar "baik-baik saja."

“Hai, Naya,” sapa Jimi dengan suara pelan. Dia duduk di kursi di sebelah matras, berusaha memberikan senyuman yang menenangkan.

Naya membuka matanya perlahan, sedikit terkejut. “Jimi?” gumamnya, suaranya lemah. “Ngapain di sini?”

Jimi menundukkan kepala, menggosok tengkuknya dengan canggung. “Aku... aku kebetulan lewat dan lihat kamu di sini. Aku kira... mungkin kamu butuh teman bicara.”

Naya terdiam, menatap Jimi dengan pandangan tak percaya. Mereka jarang bicara sejak insiden kompetisi band itu, dan kehadiran Jimi di sini membuatnya bingung. “Kamu nggak perlu repot-repot. Aku baik-baik aja,” kata Naya, meski nada suaranya terdengar jauh dari yakin.

Jimi menghela napas panjang. “Naya, aku tahu kamu nggak baik-baik aja.” Ia menatap Naya dengan ekspresi penuh rasa penyesalan. “Aku tahu kami semua... aku, Aiden, Liam.... bersikap nggak adil sama kamu. Tapi aku... aku beneran khawatir sekarang.”

Air mata hampir jatuh dari mata Naya. Mendengar kata-kata Jimi menyentuh sesuatu yang sudah lama dia pendam. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. “Kalian punya hak buat marah, Ji. Aku yang menghancurkan impian kita semua,” kata Naya, suaranya gemetar.

Jimi menggeleng pelan. “Itu cuma kompetisi, Naya. Kita bisa coba lagi kalau kita mau. Tapi kehilangan kamu... aku nggak pernah nyangka itu bakal lebih menyakitkan.”

Naya menatap Jimi, hatinya dipenuhi rasa campur aduk. Seandainya Jimi tahu yang sebenarnya. bahwa waktunya tak banyak lagi, bahwa ia akan segera pergi selamanya. “Kalian nggak pernah tanya kenapa aku... kenapa aku gagal waktu itu,” bisik Naya, air mata mengalir di pipinya. “Kalian cuma marah.”

Jimi menghela napas, rasa bersalah menusuk dadanya. “Kami semua egois, Nay. Kami cuma mikir soal impian dan kemenangan. Aku... aku nyesel.”

Sejenak keheningan mengisi ruangan. Naya memalingkan wajah, menatap langit-langit UKS. “Aku nggak tahu kalau penyesalan itu bisa mengubah apapun sekarang,” gumamnya. “Aku hanya ingin merasa damai, meski cuma sebentar.”

Jimi terdiam, memproses kata-kata Naya yang terdengar seperti perpisahan. “Apa maksudnya?” pikirnya. “Kenapa kedengarannya seolah... seolah dia akan pergi jauh?” batin jimi menatap wajah Naya dengan intens

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!