Ketakutan Mengalahkan Keberanian

Sore itu, udara di taman ibu kota terasa sejuk. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat oranye keemasan yang membingkai langit. Bintang berjalan di sisi Naya, sesekali melirik adiknya dengan wajah penuh kecemasan yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tipisnya.

“Apa kamu yakin nggak mau aku yang bicara ke mama?” tanya Bintang, memecah keheningan di antara langkah mereka. Suaranya pelan, seakan tak ingin membuat suasana semakin berat.

Naya menggeleng pelan sambil tersenyum. “Aku sudah bilang, kak. Aku sendiri yang akan bicara. Kasih aku waktu, ya?” jawabnya lembut, mencoba menenangkan.

Bintang menghela napas panjang. "Tapi, Nay... kita nggak tahu berapa banyak waktu yang kamu punya." Ucapannya terdengar lirih, namun ada ketegasan di dalamnya. Sorot matanya menyiratkan rasa takut yang beberapa hari ini ia pendam.

Naya berhenti melangkah, menatap Bintang dengan mata yang berkaca-kaca. "Kak, aku tahu kamu khawatir. Tapi, aku nggak mau mama tahu dari orang lain. Dia sudah bahagia dengan keluarga barunya. Aku nggak mau menjadi alasan dia kembali bersedih." Suaranya bergetar, namun ada kekuatan dalam tekadnya.

Bintang menatap Naya dalam-dalam, ingin menolak, tapi tak sanggup. Bagaimana pun, ini adalah keinginan adiknya. “Baiklah. Tapi kalau kamu butuh aku, aku selalu ada, ya?” katanya akhirnya.

Naya mengangguk, merasa lega meskipun tahu beban ini masih berat untuk dipikul sendiri. "Makasih, Kak."

Mereka melanjutkan langkah, berjalan menyusuri jalan setapak taman yang dipenuhi pasangan muda-mudi dan keluarga kecil. Bintang, yang ingin mengalihkan perhatian Naya dari suasana hati yang mendung, menunjuk sebuah gerobak penjual es krim di ujung taman. "Kayaknya kita butuh yang manis-manis buat bikin sore ini lebih ceria. Mau?"

Naya terkekeh kecil. “Kak, tahu nggak, umurku udah 17 tahun, tapi kamu masih aja anggap aku anak kecil yang selalu senang kalau ditawarin es krim.”

Bintang tertawa. “Ya, mau umur kamu 17 atau 24, kamu tetap adikku. Jadi, mau es krim nggak?”

Naya mengangguk, senyumnya lebih cerah dari sebelumnya. Mereka berjalan ke arah penjual es krim itu, tanpa sadar ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka dari kejauhan.

...***...

Di bangku taman, Aiden duduk bersama Jimi. Keduanya sama-sama terdiam, memperhatikan interaksi hangat antara Naya dan Bintang. Aiden menunduk, hatinya terasa berat melihat kebahagiaan itu dari kejauhan.

"Berat yah, melihat orang yang dulu sangat dekat kini terasa menjadi asing?" tanya Jimi, mencoba memecah suasana.

Aiden menggeleng. "nggak juga Ji, toh semua ini terjadi karena kesalahan Naya sendiri."

Jimi mengerutkan kening. "kamu masih saja terlalu keras kepala, kenapa nggak kita coba perbaiki ini semua bersama. sebelum Naya benar-benar pergi tanpa bisa kita gapai lagi"

Aiden terdiam sejenak, lalu berdiri. “kamu ngomong apa sih Ji, kalaupun semua ini bisa diperbaiki kembali harusnya Dia yang berusaha. Bukannya dia menjadi asing dengan kita dan dekat dengan orang yang dulu asing baginya.”

Tanpa menunggu jawaban dari Jimi, Aiden melangkah pergi, meninggalkan taman dengan langkah tergesa-gesa. Jimi hanya menghela napas panjang, menggeleng pelan. “Dasar pengecut,” gumamnya, lalu berdiri dan berjalan ke arah Naya dan Bintang.

...***...

Ketika Jimi mendekat, Bintang langsung menyadarinya. Sorot mata Bintang yang awalnya lembut berubah menjadi tajam. Namun, Naya yang lebih dulu menyapa Jimi dengan senyum lebar.

"Jimi! Kok kamu di sini?" tanyanya antusias.

Jimi tersenyum lebar. "Kebetulan banget, ya. Aku lagi jalan-jalan aja, nggak nyangka ketemu kalian di sini."

"Sendirian?" tanya Naya, lalu mengambil es krim yang diberikan Bintang.

"Iya, tadi sama Aiden, tapi dia udah pulang duluan," jawab Jimi sambil melirik ke arah Bintang yang terlihat tak suka dengan kehadirannya. "Kalian lagi ngapain?"

“Cuma jalan-jalan aja. Kak Bintang ngajak aku cari angin segar,” jawab Naya, lalu menggigit es krimnya. “Kamu mau ikut?”

Bintang langsung menoleh, memasang ekspresi tak setuju. "Nay, bukannya kita mau balik sebentar lagi?"

Naya menatap Bintang dengan alis terangkat. “Kok buru-buru sih, kak? Aku masih mau di sini sebentar lagi.”

Jimi tersenyum kecil, tahu bahwa kehadirannya membuat Bintang sedikit terganggu. "Kalau nggak keberatan, aku ikut aja, ya. Lagi pula udah lama kita nggak ngobrol, Nay."

Bintang hanya mendengus, tetapi tidak berkata apa-apa. Naya, yang tidak menyadari ketegangan itu, mengajak Jimi berjalan bersama mereka.

...***...

Saat mereka bertiga berjalan, Bintang lebih banyak diam. Di sisi lain, Jimi berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Naya mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari pekerjaan, rencana masa depan, hingga kenangan masa lalu yang membuat Naya tertawa kecil.

“Nay, kamu masih inget nggak waktu kita dulu kena hukuman bareng gara-gara telat masuk kelas?” tanya Jimi sambil tertawa.

Naya langsung tertawa, hampir menjatuhkan es krimnya. "Inget banget! Kamu yang nyuruh aku ikut kabur ke kantin duluan, tapi malah aku yang dimarahin sama Bu Ida."

"Itu karena kamu yang lebih kelihatan panik," balas Jimi, tertawa lebih keras. “Padahal aku udah bilang jangan sampai ketahuan!”

Bintang, yang berjalan di belakang mereka, menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia merasa cemas melihat kedekatan Naya dengan Jimi. "Apa Jimi tahu soal penyakit Naya? Kalau tahu, kenapa dia masih bisa bercanda seperti ini?" pikirnya. Namun, ia menahan diri untuk tidak berkata apa-apa, demi menjaga perasaan Naya.

...***...

Ketika mereka tiba di area taman yang lebih sepi, Naya tiba-tiba menghentikan langkahnya. Wajahnya berubah serius, berbeda dari sebelumnya. "Ji, aku mau bilang sesuatu," ucapnya pelan.

Jimi mengerutkan kening. “Bilang apa?”

Bintang langsung menoleh, merasa khawatir. Ia tahu apa yang akan Naya katakan.

“Ji, aku... aku mau minta maaf,” kata Naya, suaranya mulai bergetar. “Aku tahu akhir-akhir ini kita jarang ngobrol atau ketemu. Aku bukannya nggak mau berusaha memperbaiki semua kembali, tapi ada hal-hal yang bikin aku... intinya aku mau minta maaf karena semua ini terjadi karena kesalahanku sendiri.”

Jimi terdiam, menatap Naya dengan sorot mata penuh perhatian. “Nay, nggak usah minta maaf. Kalau kamu sibuk atau ada masalah, aku ngerti kok. Aku cuma pengen kamu tahu, aku akan berusaha untuk selalu ada buat kamu.”

Naya tersenyum tipis, tapi matanya masih berkaca-kaca. Sebelum ia bisa berkata apa-apa lagi, Bintang tiba-tiba memotong pembicaraan. "Nay, aku rasa kita udah cukup lama di sini. Kamu nggak mau terlalu capek, kan?"

Naya menatap Bintang dengan ekspresi bingung, lalu mengangguk pelan. “Iya, Kak. Mungkin kita harus segera pulang.”

Jimi menatap keduanya dengan raut penasaran, tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Kalau gitu, aku antar kalian ke gerbang taman, ya."

...***...

Saat mereka berjalan kembali ke gerbang taman, pikiran Naya dipenuhi berbagai hal. Ia tahu waktunya semakin sedikit. Rasa lelah yang mulai sering ia rasakan, nyeri yang kadang tak tertahankan, semuanya adalah pengingat bahwa ia harus segera bersiap. Namun, ia masih belum tahu bagaimana caranya menghadapi kesedihan orang-orang yang ia cintai.

"Apa aku kuat melihat wajah Ibu menangis? Apa aku bisa tetap tegar di depan mereka semua?" pikirnya sambil menggenggam tangan Bintang yang ada di sampingnya.

Bintang, yang merasakan genggaman itu, menoleh dan tersenyum lembut. “Kamu nggak sendirian, Nay,” ucapnya pelan.

Naya hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit lebih kuat. Meskipun ia tahu jalan yang harus ia tempuh akan sulit, ia percaya bahwa ia bisa melewati semuanya selama ada orang-orang yang mencintainya di sisinya.

Di depan gerbang taman, mereka bertiga berpisah. Jimi melambaikan tangan sambil tersenyum. "Nay, jangan lupa kabarin aku kalau kamu butuh sesuatu, ya."

Naya mengangguk. "Iya, Ji," jawab Naya sambil tersenyum kecil. "Makasih udah mau jadi teman buat aku, ya." bisik Naya hampir tak terdengar, mungkin hanya bintang yang berdiri di sampingnya yang bisa mendengarnya dengan samar.

"sampai ketemu di sekolah," balas Jimi sebelum akhirnya melangkah pergi.

Bintang menatap kepergian Jimi dengan tatapan penuh tanda tanya, lalu mengarahkan pandangannya kembali ke Naya. “Kamu yakin nggak mau cerita ke Jimi?” tanyanya pelan setelah memastikan Jimi sudah cukup jauh.

Naya menunduk, menggenggam erat tas kecil yang ia bawa. "Enggak, Kak. Aku nggak mau Jimi atau siapa pun tahu sebelum aku siap. Aku bahkan belum cerita ke Ibu. Rasanya... aku masih terlalu takut.”

Bintang menghela napas panjang, mencoba memahami. “Aku ngerti, Nay. Tapi jangan terlalu lama menyimpan semuanya sendiri. Aku khawatir kamu jadi makin kepikiran.”

Naya menatap Bintang, matanya berkaca-kaca. "Aku cuma nggak mau mereka semua sedih gara-gara aku. Aku nggak mau jadi beban buat siapa pun."

Bintang meraih bahu adiknya, menatapnya dalam-dalam. “Kamu itu bukan beban, Nay. Kita semua sayang sama kamu. Kalau kamu terbuka, itu bukan berarti kamu menyusahkan orang lain. Justru, itu bikin kita semua bisa bantu kamu.”

Kata-kata Bintang membuat Naya terdiam. Ia ingin percaya, tapi rasa takutnya masih lebih besar. Ia hanya bisa tersenyum tipis, mencoba menenangkan hati Bintang.

“Ya sudah, ayo kita pulang,” kata Bintang akhirnya. Ia tahu memaksa Naya hanya akan membuatnya semakin tertekan.

...***...

Di perjalanan pulang, Naya memandang keluar jendela mobil, melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri, mengenang saat-saat ia masih sehat, bebas menjalani hari tanpa bayang-bayang penyakit ini.

"Andai waktu bisa berhenti sejenak... aku ingin lebih lama bersama mereka semua." Monolog itu terus terngiang di benaknya.

“Kak,” panggil Naya tiba-tiba, suaranya lirih.

Bintang meliriknya sekilas sambil tetap fokus mengemudi. "Iya, kenapa?"

"Kalau aku udah nggak ada nanti, kamu janji, ya, tetap jagain mama," ujar Naya dengan suara bergetar.

Bintang langsung menginjak rem, menghentikan mobil di pinggir jalan. Ia menatap Naya dengan mata yang mulai memerah. “Jangan ngomong kayak gitu, Nay! Kamu belum pergi ke mana-mana. Kita masih punya waktu buat berjuang.”

Naya menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan tangis. "Tapi aku harus siap, Kak. Aku nggak mau ninggalin kalian tanpa pesan."

“Dengar, ya,” ujar Bintang tegas. “Aku nggak peduli seberapa berat penyakit ini. Aku nggak bakal nyerah. Kamu juga nggak boleh nyerah, Nay. Kita jalanin ini sama-sama.”

Air mata akhirnya mengalir di pipi Naya. Ia tahu Bintang benar, tapi kenyataan tetap tak bisa ia abaikan. Ia hanya bisa mengangguk sambil berusaha menahan isakannya.

...***...

Sesampainya di rumah, Naya langsung masuk ke kamarnya. Ia merasa lelah, bukan hanya fisik, tapi juga emosinya. Ia menatap meja kecil di samping tempat tidurnya, di mana ada foto dirinya bersama nuri saat mereka masih kecil.

“mama pasti kecewa kalau tahu aku nyerah,” gumam Naya. Ia meraih foto itu, memeluknya erat. Dalam hati, ia berjanji akan segera memberanikan diri untuk bicara dengan Ibunya, meski itu akan menjadi salah satu momen tersulit dalam hidupnya.

Sementara itu, Bintang duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Ia merasa tak berdaya, melihat adiknya berjuang melawan sesuatu yang tak bisa ia lawan. "Bagaimana caranya aku bisa bantu Naya lebih dari ini?" pikirnya.

...***...

Keesokan harinya, Naya memutuskan untuk menepati janjinya kepada dirinya sendiri. Ia menghubungi Ibu melalui telepon.

"Halo, ma?" suaranya terdengar pelan.

"Iya, Nay. Ada apa?" jawab Nuri, suara ibunya terdengar hangat di seberang.

“Aku mau ketemu mama. Ada yang mau aku omongin,” ujar Naya, mencoba terdengar tenang.

Nuri terdiam sebentar sebelum menjawab, “Tentu, Nay. kebetulan mama masih stay di rumah. Kamu kapan mau ke rumah?”

“Besok, besok setelah Naya pulang sekolah, naya akan singgah di rumah,” kata Naya.

“Baiklah. mama tunggu, ya,” jawab Nuri dengan lembut.

Setelah telepon ditutup, Naya merasa lega sekaligus takut. Ia tahu ini adalah langkah pertama untuk membuka segalanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!