Keteledoran yang Membuka Fakta

Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Naya diperbolehkan pulang. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ia berusaha menjalani aktivitasnya seperti biasa, kembali mengenakan seragam putih abu-abunya dan pergi ke sekolah. Namun, pagi ini ada yang berbeda.

Bintang, yang biasanya mengantar Naya, harus berangkat lebih pagi ke kampus. Sebagai gantinya, Josua, sahabat baik Bintang, menawarkan diri untuk mengantar Naya.

Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hangat. Tidak seperti biasanya, Josua lebih banyak bicara, sesekali melontarkan candaan ringan yang membuat Naya tersenyum.

"Jangan lupa minum obatmu tepat waktu," ujar Josua, melirik sekilas ke arah Naya. "Gue nggak mau ada kejadian kayak kemarin lagi."

Naya mengangguk kecil. "Iya, aku tahu, Kak Jo. Aku nggak akan lalai lagi."

Josua hanya mendengus pelan. Ia memang bukan orang yang banyak bicara, tapi entah kenapa, melihat kondisi Naya beberapa hari lalu membuatnya ingin lebih peduli.

Sesampainya di gerbang sekolah, Josua menghentikan mobilnya, lalu turun untuk membukakan pintu bagi Naya.

"Tidak perlu, Kak. Aku bisa sendiri," ucap Naya, merasa sedikit canggung dengan yang perbuatan Josua.

"Tidak apa-apa," balas Josua singkat. "Belajarlah dengan baik." lanjut josua dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

Naya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah memastikan Josua pergi lebih dulu, ia masih berdiri di tempatnya, menatap mobil Josua yang semakin menjauh.

Dari kejauhan, Liam mengamati kejadian itu dari atas motornya.

Sebuah pemikiran aneh bermunculan dalam kepalanya membuat dadanya terasa sesak. Liam tahu Naya bukan orang yang mudah terbawa arus, tapi adegan yang baru saja ia lihat membuat pikirannya bercabang.

Selama ini, ia tidak ingin percaya bahwa Naya berubah. Ia yakin Naya bukan gadis yang tidak bermoral seperti yang Aiden tuduhkan di studio. Tapi sekarang? Ia melihatnya sendiri. Seorang pria mengantar Naya, bersikap perhatian, bahkan membukakan pintu mobil layaknya pasangan yang sudah lama bersama.

Liam menghela napas panjang. Perasaannya berkecamuk.

"Apa benar Naya sudah bukan lagi gadis yang mereka kenal?"

...***...

Di tempat lain, Nuri tengah menyiram tanaman kesayangannya di halaman belakang rumah. Namun, tiba-tiba ia menghentikan kegiatannya.

Sebuah pertanyaan muncul di kepalanya.

"Bukankah Naya bilang dia akan berkunjung beberapa waktu lalu?"

Dengan alis berkerut, Nuri berbalik, lalu berjalan ke dalam rumah. Ia memanggil asisten rumah tangganya, Mbak Stella.

"Stella, beberapa waktu lalu Naya bilang mau datang. Tapi kenapa dia nggak jadi ke sini?"

Mbak Stella yang sedang sibuk di area dapur memalingkan pandangannya. "Naya memang sempat datang, Bu. Tapi begitu dia tahu Ibu sedang membawa Aleta ke rumah sakit, dia langsung pulang."

Mata Nuri membulat mengetahui sesuatu yang dia lewatkan. "Kenapa kamu nggak kasih tahu saya?"

Mbak Stella tampak sedikit panik dengan pertanyaan Nuri yang seakan menuntut penjelasan lebih darinya. "Saya sudah kasih tahu Tuan lewat telepon, Bu. Katanya beliau yang akan menyampaikan ke Ibu, karena waktu itu Ibu masih sibuk di rumah sakit."

Nuri menghela napas, merasakan sedikit kekecewaan.

Ia tahu Naya mungkin merasa diabaikan. Meski mereka kini jarang bertemu, Naya tetap anak kandungnya. Jika saja ia tahu Naya datang hari itu, ia pasti akan melakukan sesuatu agar bisa bertemu dengannya.

Tiba-tiba, perasaan tak enak menggelayuti hatinya. Ia segera mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Naya melalui panggilan suara.

Beberapa kali panggilan itu tersambung tanpa jawaban yang berarti hingga panggilan yang kesekian membuat perasaan Nuri lega, Namun yang menjawab bukanlah suara putrinya.

"Halo?"

Sebuah suara laki-laki yang asing di telinganya membuat Nuri tercekat, membuatnya terdiam sejenak sebelum kembali menguasai dirinya.

"Halo, ini siapa?" tanya Nuri dengan ragu.

"Maaf! Saya Bintang, Naya sedang di sekolah." jawab Bintang dengan berusaha mengendalikan intonasi suaranya.

Nuri terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan itu.

"Bintang?" ulangnya, nyaris berbisik namun tetap mampu Bintang dengar dengan baik di seberang sana.

"Iya, Ponsel Naya tadi ketinggalan."

Sejenak, Nuri merasa lega. tetapi pikirannya kembali dipenuhi banyak pertanyaan.

Namun, ia memilih untuk tidak langsung bertanya. Dia akan menanyakan hal itu langsung kepada Naya saat mereka sudah bertemu nanti.

"Kalau begitu, tolong sampaikan ke Naya agar dia menghubungi saya setelah pulang sekolah nanti yah," ujar Nuri akhirnya.

"Baik, akan saya sampaikan pada Naya," jawab Bintang singkat.

Setelah panggilan berakhir, Bintang menghela napas panjang.

Tangannya masih memegang ponsel Naya, menatap nomor yang baru saja menghubungi. Sudah lama ia tidak berbicara dengan ibu kandungnya.

Tadi, suaranya terdengar sedikit ragu, seolah tidak menyangka bisa berbicara dengan Bintang.

Bintang menimbang-nimbang. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya? Haruskah ia memberi tahu Nuri bahwa kondisi Naya semakin memburuk?

Namun, akhirnya ia menggeleng pelan.

Ia percaya, adiknya memiliki keberanian untuk menghadapi ibunya, seperti bagaimana ia berani menghadapi kenyataan tentang dirinya sendiri.

Dan Bintang hanya bisa berharap, ketika hari itu tiba, Naya tidak perlu lagi menghadapi semuanya sendirian.

...***...

"Bagaimana kesehatan kamu Nay?" tanya Jimi yang mengisi kursi kosong di samping Naya. Perempuan yang awalnya sibuk dengan beberapa buku di atas meja segera menoleh.

"aku sudah baik-baik saja sekarang" jawab naya dengan senyum simpulnya kemudian kembali melanjutkan aktifitasnya yang sempat dia hentikan.

Seketika hening menyelimuti mereka tidak ada lagi percakapan yang terdengar, mereka hanya sibuk dengan pemikiran-pemikiran mereka.

Banyak hal yang ingin Jimi bahas dengan Naya namun urung di ucapkan. Bahkan dia ingin memeluk tubuh ringkih perempuan itu sekarang namun tertahan oleh egonya.

Ingatannya kembali berputar pada pertemuan keluarga di rumahnya kemarin, kesempatan yang mempertemukan dirinya dengan dokter hebat di dalam keluarga mereka. Dokter Aldrian.

Pertemuan keluarga besar kemarin masih membekas dalam benaknya, terutama percakapannya dengan Dokter Aldrian.

Saat itu, rumah keluarga besarnya ramai dengan obrolan dan tawa. Para saudara berkumpul, berbincang tentang kehidupan mereka masing-masing. Di tengah keramaian itu, Jimi justru tertarik berbincang dengan seseorang yang jarang ia temui—Dokter Aldrian, sepupunya yang berprofesi sebagai dokter spesialis onkologi.

"Kamu kelihatan kurang fit, Jim," ujar Aldrian sambil menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian.

Jimi terkekeh kecil. "Biasa, Bang. Tidur nggak teratur, makan juga asal-asalan."

Aldrian menggeleng pelan. "Kamu masih muda, Jim. Tapi bukan berarti tubuhmu bisa terus dipaksa. Jaga pola hidup, makan yang sehat, dan jangan lupa cek kesehatan rutin. Kesehatan itu investasi, bukan sesuatu yang bisa kamu anggap sepele."

Jimi mengangguk, walau dalam hati ia tahu dirinya belum tentu akan benar-benar mengubah kebiasaannya.

Percakapan mereka berlanjut, hingga entah bagaimana, topik berubah ke arah pasien-pasien yang pernah Aldrian tangani.

"Ada satu pasien yang bikin aku benar-benar terenyuh," kata Aldrian tiba-tiba, suaranya sedikit lebih lirih. "Seorang gadis yang tampak kuat di luar, selalu tersenyum, tapi di dalamnya... dia begitu rapuh."

Jimi mengernyit. "Kenapa, Bang?"

Aldrian menghela napas. "Dia terkena kanker pankreas. Penyakit yang kejam. Meski dia selalu berusaha tegar, aku bisa melihat ketakutan di matanya. Perlahan, dia mulai kehilangan semangat untuk melawan. Padahal dulu dia sangat ceria."

Jimi merasakan jantungnya berdebar aneh. Entah kenapa, cerita itu terasa begitu familiar.

"Kamu tahu?" lanjut Aldrian. "Kadang aku berpikir, yang lebih menyakitkan dari penyakitnya bukan hanya rasa sakit secara fisik, tapi juga kesepian yang dia rasakan. Dia merasa dunia semakin menjauh darinya. Dan itu yang paling berbahaya."

Jimi menelan ludah, mendadak merasa gelisah.

Kemudian, tanpa sadar, Aldrian menyebutkan sebuah nama.

"Naya."

Jimi sontak membeku.

Mata Aldrian melebar sedikit, sadar bahwa ia baru saja melakukan kesalahan.

"Apa tadi Abang bilang... Naya?" suara Jimi terdengar serak, seakan tenggorokannya mendadak kering.

Aldrian diam, tampak ragu.

Dengan cepat, Jimi mengeluarkan ponselnya, membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto. Di sana ada dirinya, Liam, Aiden, dan... Naya.

"Abang bicara tentang dia?" tanyanya, suaranya bergetar.

Aldrian menatap layar ponsel itu, lalu menutup matanya sesaat, seolah menyesali keteledorannya.

"Jim, aku nggak bisa—"

"Tolong, Bang," potong Jimi. "Aku cuma ingin tahu kebenarannya."

Aldrian menatapnya lekat, lalu menghela napas panjang.

"Maaf, Jim. Aku nggak bisa membicarakan kondisi pasienku lebih jauh. Itu melanggar sumpah profesiku."

Tapi Jimi sudah mendapatkan jawabannya. Ia tidak membutuhkan konfirmasi lebih lanjut. Dari ekspresi Aldrian saja, ia sudah tahu bahwa firasatnya benar.

Naya sakit.

Dan bukan sekadar sakit maag biasa.

Kanker.

Kata itu bergema di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.

Tiba-tiba, potongan-potongan kejadian mulai menyatu dalam pikirannya.

Naya yang sering tampak pucat.

Naya yang tiba-tiba kehilangan semangatnya akhir-akhir ini.

Naya yang menahan rasa sakitnya saat mengira tidak ada yang melihat.

Naya yang semakin hari semakin diam, seolah kehilangan sinarnya.

Bagaimana bisa ia tidak menyadari semua itu lebih awal?

"Jim..." suara Aldrian terdengar pelan.

Jimi mendongak, tatapannya masih kosong.

"Aku tahu ini berat," lanjut Aldrian. "Tapi kalau benar dia temanmu, jangan buat dia merasa semakin sendirian."

Jimi mengepalkan tangannya. Ingin rasanya ia langsung berlari menemui Naya saat itu juga, memastikan dia baik-baik saja, memastikan bahwa dia tidak sendiri dalam menghadapi semua ini.

Tapi di saat yang sama, ia juga merasa takut.

Takut bahwa ketika ia menemui Naya, ia akan melihat ketakutan yang sama seperti yang Aldrian lihat.

Dan itu akan menghancurkan hatinya.

Jimi mengusap wajahnya, kembali ke masa kini, masih duduk di samping Naya yang sibuk dengan catatan-catatan di atas meja perpustakaan

Kini ia tahu.

Kini ia mengerti mengapa Naya berubah.

Dan kini, ia harus memutuskan apa yang akan ia lakukan.

Haruskah ia berpura-pura tidak tahu dan menunggu Naya sendiri yang mengatakannya?

Atau haruskah ia langsung mengatakan bahwa ia ada di sini untuknya?

Jimi menghela napas panjang, Bingung menghadapi situasi yang seakan sulit untuk dia hadapi sendiri.

Hanya ada satu hal yang pasti.

Ia tidak akan membiarkan Naya menghadapi ini sendirian.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!